Jumat, 21 April 2017

Kajian Tasawuf Jilid II



Kajian Tasawuf Jilid II
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)

Sore ini tampak beberapa orang murabbi dan musyrifah Ma’had al-Jami’ah berkumpul di ruang kantor Ma’had al-Jami’ah. Sebelumnya pada pagi harinya dilaksanakan khatmil Qur’an Jum’at legi di kantor Ma’had. Tradisi ini diusahakan untuk istiqamah di jalankan agar barakahnya semakin banyak. Berkumpulnya para pengelola di sore ini adalah dalam rangka agenda rutin kajian tasawuf yang dilaksanakan tiap Jum’at sore.

Tema yang diangkat pada kesempatan kali ini adalah hal yang berkaitan dengan lembutnya tipu daya nafsu yang ada dalam diri manusia. Kelembutan nafsu seringkali tidak diwaspadai oleh seorang salikin yang menempuh perjalanan menuju hadhrah qudsiyah-Nya, Allah SWT.

Al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari mendawuhkan dalam kitabnya al-hikam:

إرادتك التجريد مع إقامة الله  إياك فى الأسباب من الشهوة الخفية وإرادتك اللأسباب مع إقامة الله إياك فى التجريد انحطاط عن الهمة العلية

Artinya: Keinginanmu untuk melakukan tajrid (meninggalkan usaha – usaha mencari rizki) sedangkan Allah mendirikanmu pada asbab (sebab musabab, melakukan usaha – usaha untuk mendapatkan rizki) adalah termasuk ke dalam syahwat yang tersembunyi. Dan keinginanmu untuk berkecimpung (di dalam asbab) sedangkan Allah mendirikanmu di maqam tajrid adalah satu penurunan dari himmah yang tinggi.

Dalam perjalanan menuju hadhrah qudsiyah-Nya, Allah adakalanya seseorang harus berusaha dengan usaha – usaha yang ditempuhnya baik dengan riyadlah, mujahadan dan serangkaian ibadah lain yang bisa menghantarkannya pada satu maqam tertentu. Tetapi adakalanya juga seseorang dikehendaki oleh Allah sehingga ia langsung diangkat pada maqam yang tinggi disisi Allah. Mereka yang harus menempuh perjalanan dengan usaha – usaha baik dhahir maupun bathin ini dinamakan salikin/muridin, sedangkan mereka yang dikehendaki oleh Allah dinamakan majdzubin/muradin.

Bagi seorang salikin yang menghendaki sampai pada hadhrah qudsiyah-Nya Allah, harus melakukan proses tazkiyat al-nafsi (penyucian hati) dari berbagai kotoran – kotoran hati. Hati sebagaimana sabda Rasulullah SAW adalah pusat gerak dari seluruh organ manusia. Jika hati baik, maka seluruh tubuh akan menjadi baik. Sebaliknya, jika hati jelek, maka seluruh tubuh juga akan menjadi jelek.

Karena itulah hati harus senantiasa dibersihkan agar darinya terpancar cahaya kebaikan yang akan terepresentasi dari perilaku dan perbuatannya. Untuk itu hati harus dibebaskan dari pengaruh – pengaruh nafsu dan syahwat yang bisa mengarahkannya pada hal – hal yang tidak diridlai Allah SWT.

Setelah proses penyucian hati it uterus menerus dilakukan maka setahap demi setahap seseorang akan diangkat derajatnya oleh Allah hingga mencapai maqam musyahadah kepada-Nya. Namun, tentunya hal ini memerlukan proses yang panjang dan keistiqamahan dari seorang murid.

Adakalanya seseorang masih ditempatkan oleh Allah dalam maqam asbab, adakalanya pula ia telah mencapai maqam tajrid. Maqam asbab adalah maqam di mana seseorang masih terikat dengan hukum sebab akibat. Artinya seseorang yang masih berada pada maqam yang apabila ingin memperoleh sesuatu maka ia harus berusaha meraihnya dengan usaha – usahanya.

Orang yang berada pada maqam asbab, bila ingin mendapatkan rizki, maka ia harus bekerja., bila ingin menjadi pandai, maka ia harus belajar, begitu seterusnya. Apabila masih berada dalam maqam ini, maka kehidupan seseorang masih terikat oleh hal – hal yang sifatnya duniawi. 

Bagi seseorang yang berada pada maqam ini, apabila di dalam hatinya terbesit keinginan untuk berada pada maqam tajrid, maka harus diwaspadai. Di sinilah sebenarnya pentingnya peran seorang guru mursyid yang kamil mukammil. Guru yang sempurna dan mampu menyempurnakan iman santrinya.

Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan bahwa keinginan seseorang yang masih berada pada maqam asbab untuk mencapai maqam tajrid termasuk bagian dari nafsu yang tersembunyi. Orang yang memiliki keinginan seperti ini tidak ikhlas amal ibadahnya. Ibadahnya bukan semata karena Allah melainkan ada maksut – maksut tertentu yakni bisa mencapai maqam tajrid. Padahal maqam tajrid pada hakikatnya adalah makhluk Allah. bila seseorang beribadah dengan tujuan maqam tajrid sama artinya menuhankan makhluk Allah, yakni maqam tajrid.

Lantas bagaimana seharusnya seorang beribadah? Seorang murid dalam beribadah seharusnya ikhlas murni karena Allah tidak mengharap apapun selain ridla-Nya.  Ia shalat semata menjalankan perintah Allah, begitu juga dengan puasanya, zakatnya, shadaqahnya dan sederetan ibadah lainnya semua dilakukan semata karena Allah bukan karena yang lainnya. Titik. Apabila masih ada keinginan yang lain maka perlu diwaspadai boleh jadi itu adalah bujukan nafsu syahwatnya.

Keinginan untuk keluar dari maqam asbab ini termasuk ke dalam syahwat yang tersembunyi. Mengapa? Karena ia tidak puas dengan apa yang dikehendaki Allah padanya. Hatinya masih merasa kurang dengan apa yang telah Allah takdirkan untuknya. Oleh karena itu hal ini harus diwaspadai oleh seorang murid karena kebanyakan di antara mereka tidak menyadari bahwa itu adalah syahwatnya belaka.

Demikian halnya bagi seorang yang telah diangkat derajatnya oleh Allah pada maqam tajrid. Maqam tajrid adalah maqam di mana seseorang yang menginginkan sesuatu, ia tidak lagi terikat oleh asbab/usaha – usaha untuk mencapainya. 

Orang yang berada pada mqam ini pada dasanya tugasnya hanya satu yakni selalu beribadah kepada Allah. Ia tidak perlu lagi bekerja dan berusaha karena dengan tanpa usaha, Allah telah memenuhi hajat dan kebutuhannya. Rizkinya telah dibuka oleh Allah dengan cara yang tidak disangka – sangka.

Terbukanya pintu rizki dengan tanpa disangka – sangka merupakan sebuah tanda bahwa orang tersebut di tempatkan oleh Allah pada maqam tajrid. Maqam ini adalah maqam yang tinggi di sisi Allah SWT. Apabila seseorang telah berada pada maqam ini, pada dasarnya tugasnya hanyalah satu yaitu beribadah kepada Allah bukan yang lainnya.

Namun, seringkali sifat manusiawi manusia selalu merasa tidak puas terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah kepadanya. Seorang pedagang akan beranggapan bahwa menjadi petani itu enak, petani beranggapan sebaliknya. Seorang buruh pabrik beranggapan bahwa menjadi pegawai pemerintah itu enak, begitu juga sebaliknya. Itulah sifat manusiawi yang sering menghinggapi seseorang.

Demikian halnya dengan seorang yang menempuh perjalanan menuju Allah. adakalanya ketika Allah telah menempatkan dirinya pada maqam tajrid, terbesit keinginan dalam dirinya untuk berkecimpung dalam maqam asbab.

Al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan kepada muridin agar senantiasa berhati – hati. Keinginan seseorang yang berada pada maqam tajrid untuk berkecimpung di maqam asbab adalah salah satu tanda akan turunnya ia dari himmah yang tinggi.

Maqam tajrid adalah maqam tinggi yang dikhususkan oleh Allah untuk orang – orang khusus dari hamba-Nya yang mengesakannya dan para ahli ma’rifat. Ketika seseorang berada pada maqam ini, tetapi terbesit dalam hatinya keinginan untuk menyibukkan diri pada maqam asbab, sesungguhnya hal itu merupakan tanda akan turunnya seseorang dari maqam yang tinggi ke maqam yang lebih rendah. Keinginan tersebut merupakan nafsu syahwat yang nyata,  bukan lagi samar, oleh karena maqam tajrid adalah maqam tinggi sementara asbab adalah maqam yang rendah.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Rabu, 19 April 2017

Siapa yang Terpilih, Pemenangnya Tetap Rakyat Indonesia



Siapapun yang Terpilih, Pemenangnya Tetap Rakyat Indonesia

Suhu politik yang memanas pada dekade terakhir sesaat sebelum pilkada DKI Jakarta kiranya masih terasa sampai saat ini, meski tensinya kini sudah menurun drastic tetapi setidaknya masih terasa bagaimana ruwetnya situasi saat itu sehingga menguras perhatian seluruh elemen bangsa. Tentu suatu keharusan bahwa dalam setiap kompetisi ada yang menang dan ada pula yang kalah.

Carut marutnya politik di negeri ini sebagai imbas dari pilkada Jakarta seolah selalu menjadi tranding topik yang menarik untuk dibahas. Tidak hanya dikalangan elit politik, akademisi bahkanmerambah ke masyarakat arus bawah yang kesibukan sehari harinya adalah sebagai buruh tani, perkebunan dan para pencari rumput. Seolah mereka tidak mau kalah dengan para elit politik, pakar dan akademisi dalam bidangnya masing – masing. Boleh jadi ini adalah satu kemajuan dari semakin cerdasnya rakyat dan masyarakat dalam memahami arus politik di negeri zamrud kathulistiwa ini.

Isu terbesar yang digulirkan oleh para elit politik terkait pilkada tentunya adalah isu SARA. Memang isu ini paling mudah digunakan untuk memengaruhi pandangan politik lawan. Imbasnya tentu sangat besar dan massif. Buktinya, ribuan orang berduyun – duyun datang ke Jakarta untuk menyatakan sikapnya, satu fenomena yang sesungguhnya –menurut penulis, terasa janggal karena ketidak sesuaian antara pengaruh dan kenyataannya. Tetapi ya itulah politik.

Saya bukan ahli politik, juga bukan pakarnya, tetapi bolehlah sedikit menyoal tentang politik. Tetapi sekali lagi saya tidak ingin membahas politik sebagai pure politik tetapi saya ingin mengambil ibrah dari situasi politik yang terjadi saat ini. Tentunya sekadar sesuai kapasitas saya, bukan yang lain.

Karena dalam sebuah kompetisi harus ada yang menang dan kalah, maka pilkada DKI mau tidak mau, suka maupun tidak suka harus ada yang terpilih dan yang tak terpilih. Bagi yang terpilih, hendaknya bersyukur dan berusaha untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk melaksanakan amanah yang sebentar lagi dipikulnya. Sebaliknya pihak yang tidak terpilih seyogyanya bisa menerima dengan ikhlas dan berusaha untuk sebisa mungkin membantu pasangan terpilih untuk keberhasilan mengemban amanah rakyat ke depan.

Menarik kiranya apa yang disampaikan oleh mantan Presiden ke-3 RI, Prof. DR. Baharudin Yusuf  Habiebie, saat telewicara bersama Najwa Shihab di acara Mata Najwa malam ini. Beliau mengatakan, “Siapapun yang terpilih, yang menang adalah rakyat Indonesia”. Satu ungkapan yang menunjukkan kebesaran hati dan kenegarawanan yang hebat. 

Seorang negarawan besar akan memiliki jiwa besar. Ia akan menunjukkan sikap arif dan bijaksana dalam setiap tindakan yang dilakukannya. Ia sadar betul bahwa apa yang dilakukannya akan menjadi sorotan dan dijadikan panutan setiap orang.

Tentu dalam kompetisi secara rasional ada pihak yang merasa terluka karena mengalami kekalahan, dan ada pula yang merasa gembira karena memperoleh banyak suara.tetapi seyoogyanya semua perasaan demikian itu harus dihilangkan. Terlepas dari mereka yang pro dan kontra, sesungguhnya kemenangan itu bukan pada calon yang terpilih, sebaliknya bukan pula pada calon yang kalah, tetapi kemenangan itu adalah milik semua rakyat Indonesia. Oleh karenanya mereka yang kalah, janganlah berkecil hati, nikmati dan sadari bahwa ini adalah proses demokrasi. Sebaliknya bagi yang terpilih, jangan hanya bangga dengan apa yang diperoleh, ingat pekerjaan sudah menanti.

Baharuddin mengatakan, “Siapapun yang menang keduanya adalah kader bangsa ini”. Keduanya adalah orang – orang besar yang telah menorehkan namanya dalam tinta emas sejarah bangsa ini. Oleh karenanya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Semuanya adalah kader bangsa. Yang tetap harus dijaga dan dirawat adalah semangat persatuan dan kesatuan bangsa di tengah masyarakat Indonesia yang kental dengan kebhinekaan dan pluralitas.

Memang harus diakui kemenangan Anies Sandi atas petahan Ahok Djarot nampaknya adalah hal yang tidak disangka – sangka, apalagi saat beberapa lembaga survey tidak berpihak kepadanya beberapa waktu yang lalu. Tetapi inilah kenyataan yang harus diterima oleh siapapun. Silahkan anda yang tetap suka dan mencintai Ahok, tetapi ingat, bahwa Allah menentukan lain untuknya hari ini. Sebaliknya anda yang suka dan mencintai Anies, jangan terlalu larut dalam kegembiraan karena pekerjaan telah menanti anda. Kemengan tidak hanya ketika keunggulan suara telah diperoleh, lebih dari itu apa yang bisa anda lakukan dan anda buktikan kepada mereka yang telah anda yakinkan dengan janji – janji manis saat kampanye. Ingat saat ini amanat rakyat ada di pundak anda.

Bila kita mencoba untuk kembali melihat kebelakang, Umar ibnu Abdul Azis menangis semalaman manakala ia terpilih menjadi seorang khalifah. Ia sadar betul bahwa kini ia harus memikul beban berat di pundaknya. Lantas bagaimana dengan pasangan terpilih saat ini?

Pilkada telah menunjukkan tanda – tanda akan berpamitan. Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari peristiwa besar ini? Yang harus kita ambil pelajaran adalah bahwa proses demokrasi semakin menunjukkan ke arah yang positif. Artinya kedewasaan rakyat dalam berpolitik kian hari semakin menunjukkan arah yang signifikan, meski tetap saja masih ada hal – hal yang mesti diperbaiki. Perbedaan pandangan dalam berpolitik jangan sampai menyebabkan tindakan – tindakan anarkis yang bisa mengarah pada tindakan melawan hukum yang berlaku di negeri ini. Bedakan urusan syariat dan politik, jangan dicampur adukkan. Silahkan memilih sesuai dengan keyakinan, tetapi hargai juga mereka yang berkeyakinan lain yang ingin memilih calonnya. Jadilah orang yang selalu adil dalam bersikap, meski kepada lawan yang hendak menjatuhkan anda, jangan berlaku curang padanya, karena kecurangan itu menunjukkan sikap kemunafikan yang ada pada dirimu. Meski berbeda tetaplah menjaga semangatt persatuan bangsa karena bangsa ini tidak didirikan oleh satu kelompok keyakinan, tetapi dari berbagai kelompok keyakinan yang bahu membahu melawan kedlaliman penjajah.

Semoga berakhirnya pilkada ini menjadikan semua elemen bangsa semakin dewasa memaknai kebhinekaan, menjadikan mereka semakin menyadari akan arti pentingnya persatuan dan kesatuan. Semoga bangsa ini menjadi bangsa yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Amin…

Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam...

Selasa, 18 April 2017

Radikalisme Vs Liberalisme



Radikalisme Vs Liberalisme

Dua istilah populer yang saling berhadapan namun memiliki kesamaan –setidaknya menurut saya. Kedua istilah ini sangat populer di tengah kehidupan masyarakat kita. Seringkali kedua istilah ini dihadapkan dan diperlawankan satu dengan lainnya.

Istilah pertama, radikalisme merujuk pada kelompok Islam garis keras, yang kerap kali dalam menjalankan aksinya untuk menegakkan syariat, menggunakan cara – cara kekerasan. Bahkan tidak jarang dalam melakukan aksinya mereka juga menggunakan simbol – simbol agama. Harus diakui mereka kelewat berani dalam bersikap hingga dalam pandangannya mati dalam berjihad –tentunya dalam versi mereka, jaminannya adalah surga.

Kelompok dengan tipe semacam ini di Indonesia tidak seberapa banyak. Ada tapi tidak banyak, mungkin karena iklim masyarakat Indonesia tidak sesuai dengan model kelompok semacam ini. Di samping itu naluri tiap insane pasti mendambakan kedamaian, hidup berdampingan tanpa ada percekcokan. Inilah yang lebih disukai masyarakat, sikap toleran yang berujung pada kehidupan damai, aman dan sejahera. Lagi pula, Negara ini bukanlah Negara Islam sebagaimana Timur Tengah. Negara ini dibangun di atas semangat kebhinekaan, beragam tetapi tetap satu jua. Tidak ada alasan menyerang kelompok lain, terutama agama lain yang dianggap melanggar syariat Islam. Hukum yang ada di Negara inipun bukanlah hukum Islam, tetapi hukum positif yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Di sisi lain, ada kelompok yang menamakan dirinya sebagai kelompok liberal. Bila kelompok radikal memiliki tipe temperamental, keras, dan kaku, kelompok liberal justru bersikap sebaliknya. Kelompok ini bersikap sangat toleran bahkan toleransinya kelewat berlebihan. Bagaimana tidak, semua agama dianggap sama. Semua memiliki tujuan yang sama. Bahkan kadang – kadang kelompok ini juga membela kelompok – kelompok yang secara nyata sudah menyimpang dengan alasan pluralism dan semangat humanism.

Dalam sejarah Islam klasik kelompok radikal ini terepresentasikan oleh kelompok khawarij. Kelompok yang keluar dari barisan khalifah Ali yang berkeyakinan bahwa mereka yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah pelaku dosa besar, kafir dan wajib dibunuh. Suatu sikap yang ekstrim yang berakibat pada terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib.

Sementara di sisi lain saya menganggap bahwa kaum liberal identik dengan mu’tazili, kelompok umat Islam yang mendewakan akalnya. Kebenaran lebih banyak diukur dengan pemikiran – pemikiran rasional. Kelompok ini bahkan berani mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk yang bisa disejajarkan dengan teks – teks sastra lain pada umumnya. Pandangan ini pula yang kemudian mengantarkan pada wacana pendekatan pemahaman al-Qur’an dengan menggunakan metode interpretasi hermeneutika, termasuk di antaranya terjadinya pengusiran Nashr Hamid Abu Zaid dari Mesir karena mencoba menawarkan pendekatan pemahaman al-Qur’an dengan metode ini.

Bagi saya, kedua kelompok ini memiliki persamaan yang bisa membahayakan umat khususnya kaum awam. Berbeda dengan para akademisi, umumnya mereka bisa mendudukkan sesuatu pada tempatnya, terbiasa dengan berbagai kajian, sehingga lebih bisa bersikap moderat dalam menghadapi persoalan yang mencuat ke permukaan.

Kelompok pertama berbahaya bagi kaum awam karena nyatanya kaum awamlah yang paling mudah terprovokasi oleh orasi – orasi yang disuarakan atas nama ketuhanan. Tidak jarang mereka yang ikut serta dalam kelompok – kelompok ini di dominasi oleh mereka yang kurang belajarnya dalam hal ilmu agama di pesantren. Oleh karenanya begitu mereka menerima informasi yang masih belum utuh mereka mudah terprovokasi dan ikut larut di dalamnya.

Selain itu kelompok ini seringkali menyebabkan Islam terpojokkan oleh karrena Islam dianggap sebagai agama pedang yang intoleran. Fakta di lapangan menunjukkan berapa banyak korban swipping yang dilakukan oleh kelompok – kelompok semacam ini. Bila hal ini terjadi boleh jadi dakwah Islam justru akan terhalang lantaran perbuatan mereka yang dinilai kejam dan meresahkan.

Di sisi lain kelompok kedua juga memiliki bahaya yang sama dengan kelompok pertama. Letak bahaya pada kelompok dengan tipe kedua adalah terjadinya kebingungan dalam pemikiran masyarakat awam, terutama dalam menentukan sebuah kebenaran, apa ukurannya dan bagaimana cara mengambil sikap bila terjadi permasalahan di tengah masyarakat. Kelompok ini seringkali menganggap bahwa pada dasarnya semua itu sama dan tidak ada yang lebih benar, karena bagi mereka kebenaran itu relatif. Kebenaran sangat bergantung pada pandangan subjek pelakunya sehingga setiap orang memiliki peluang yang berbeda dalam menentukan kebenaran dan semua itu harus dihargai.

Akibat terfatal dari kelompok semacam ini adalah ketidak berlakunya amar ma’ruf nahi mungkar yang diperintahkan oleh ajaran agama Islam. Padahal bila merujuk pada Surat al-Maidah (5); 78 - 79:

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79)

Artinya: Telah dilaknati orang – orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (Q.S. al-Maidah (5); 78 – 79)

Secara tegas ayat di atas menjelaskan bahwa kaum Bani Israil dilaknat oleh Allah SWT. dengan lisan Nabi Daud dan Isa putra Maryam lantaran sikap keterlaluan mereka. Mereka tidak melarang teman mereka yang melakukan kesalahan, tidak berusaha meluruskan kesalahan mereka agar kembali kepada jalan yang benar. Alasannya lagi – lagi semangat toleransi dan kemanusiaan. 

Lantas bagaimana semestinya kita bersikap? Sebagai seorang muslim seharusnya kita bersikap tengah – tengah, istilahnya tawasuth, tawazun dan i’tidal harus tetap menjadi landasan berpijak saat melangkah. Inilah prinsip yang dipakai oleh Islam ala ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Kita toleran terhadap siapa saja tetapi ingat ada saatnya toleran itu terbatasi dalam beberapa hal. Dengan tetap berpijak pada asas ini, maka keseimbangan dalam Islam akan tetap terjaga. Amar ma’ruf tetap ditegakkan, toleransi tetap dijaga sehingga Islam yang cinta damai akan tetap bisa dipertahankan.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Senin, 17 April 2017

Surga dan Neraka



Surga dan Neraka

Hidup di dunia tidaklah selamanya. Bila telah tiba saatnya, maka mau tidak mau, suka tidak suka setiap anak Adam harus kembali kepada yang Empunya. Dia-lah Allah, tempat di mana manusia bergantung, tempat di mana seluruh alam tunduk kepada-Nya. Bila saat perjumpaan telah tiba, tak ada lagi yang mampu menolak, tidak ada satu kekuatanpun yang mampu melawan kehendak-Nya. Dia-lah al-Jabbar, al-Qahhar yang tiada satu kekuatanpun yang sanggup menandingi-Nya.

Hidup di dunia ini ibarat “mampir ngombe”, kata orang Jawa. Artinya kehidupan di dunia ini sesungguhnya tidak lama. Semua berasal dari-Nya dan akan di kembalikan pula hanya kepada-Nya. Oleh karena itu sudah seharusnya setiap anak Adam mempersiapkan diri untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang telah dikerjakannya selama berada di dunia.

Saat semua telah dihancurkan, sangkakala Isrofil telah ditiup untuk kesekian kalinya, tanda di mana anak manusia harus bangun dari tidur panjangnya, berduyun – duyun menuju satu tempat berkumpul bersama yang bernama “Mahsyar”, di situlah mereka akan menantikan keputusan Allah, Tuhan mereka, kemanakah mereka akan dikembalikan? Hanya ada satu di antara dua pilihan surga atau neraka.

Surga adalah tempat yang digambarkan penuh dengan kenikmatan. Tempat di mana orang – orang shalih yang taat pada Tuhannya akan dimasukkan ke dalamnya. Kekal mereka di dalamnya, tanpa ada rasa payah, takut dan susah. Segala apa yang mereka butuhkan ada dan tinggal bilang, maka semua akan tersedia di hadapannya.

Di surga para penghuninya hidup dengan penuh bahagia. Mereka ditemani oleh bidadari – bidadari surga yang kecantikannya belum pernah sekalipun dilihat oleh manusia. Mereka terjaga dan belum pernah tersentuh oleh siapapun. Sungguh gambaran yang sangat menggiurkan bagi siapa saja. Tidak salah jika semua umat manusia, baik yang baik perilakunya maupun yang buruk, tetap berharap kelak akan masuk ke dalamnya.

Di surga seluruh wajah penghuninya berseri – seri penuh dengan kebahagiaan. Semua wajah memancarkan cahaya, berbinar – binary matanya tanda betapa kebahagiaan mereka tiada tara, tidak mampu diungkapkan dengan kata – kata. Puncak kebahagiaan mereka adalah tatkala mereka menyaksikan wajah Tuhannya, Allah SWT. Di dalam al-Qur’an al-Karim, Allah SWT berfirman dalam Surat al-Qiyamah (72); 22 - 23:

 وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ (22) إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23)

Artinya: Wajah – wajah (orang mukmin) waktu itu berseri – seri. Kepada Tuhannya mereka melihat. (Q.S. al-Qiyamah (72); 22 – 23)

Begitulah keadaan orang – orang mukmin yang senantiasa beriman kepada Allah, beramal shalih dan penuh ketaatan kepada-Nya. Mereka akan dikembalikan ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal di dalamnya selama – lamanya, lagi menyaksikan wajah Tuhannya. Sungguh kebahagian yang tiada tara yang tak mampu diwakili oleh kata – kata.

Berbeda dengan neraka. Neraka adalah tempat kembali bagi orang – orang kafir yang ingkar terhadap semua perintah dan larangan Allah. ia adalah tempat yang paling ditakuti oleh semua anak cucu keturunan Adam. Semua takut terhadap neraka, hanya saja mereka tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya hingga terjerumus pada perilaku menyimpang selama hidupnya.

Di dalam neraka yang ada hanyalah siksaan yang teramat pedih. Tiada siksa di dunia ini yang menyamai pedihnya siksa neraka. Neraka berisikan api yang menyala – nyala, menjilat – jilat, yang siap membakar setiap penghuninya sebagai balasan atas keingkaran mereka selama menjalani kehidupan di dunia.

Seringan – ringan siksa di neraka adalah seorang yang menginjak batu kerikil yang karenanya mendidihlah ubun – ubunnya. Ia menganggap bila siksa itu adalah siksaan terberat penduduk neraka, namun nyatanya itu adalah siksa teringan yang ada di neraka. Lantas seperti apa siksa terberat penghuni neraka? Hanya Allah saja yang tahu.

Betapa mengerikan kehidupan manusia yang dimasukkan ke dalam neraka. Mereka mengalami penyesalan yang tiada tara. Namun, ibarat nasi sudah menjadi bubur, kembali ke kehidupan dunia untuk menebus semua kesalahan bagi mereka adalah hal yang mustahil.

Bila di surga wajah para penghuninya bercahaya, berseri – seri penuh dengan kebahagiaan, lain halnya dengan para penghuni neraka. Tiada senyum di wajahnya, kusut, muram, penuh dengan penyesalan. Al-Qur’an menggambarkan keadaan mereka dalam Surat al-Qiyamah (72); 24 – 25:

وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ (24) تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (25)

Artinya: Dan wajah – wajah orang kafir pada waktu itu muram. Mereka yakin bahwa akn ditimpakan kepadanya malapetaka yang dahsyat.

Saat bangun dari kuburnya, para calon penghuni neraka sudah muram wajahnya apalagi saat mereka telah dimasukkan kedalamnya. Tidak bisa digambarkan bagaimana keadaan wajahnya. Pastilah wajah mereka muram, semuram – muramnya, penuh dengan penyesalan, penyesalan dan penyesalan yang tiada ujungnya.

Di neraka orang – orang kafir akan menerima balasan atas apa yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia. Siapapun orangnya, dia akan mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang dikerjakannya selama di dunia. Allah adalah Dzat Yang Maha Adil. Keadilan Allah mengharuskan untuk menempatkan seseorang pada tempat yang sesuai dengan amal perbuatan yang telah diperbuatnya. Tidak mungkin bagi Allah akan memberikan tempat yang sama bagi mereka yang taat lagi beriman dan mereka yang kafir lagi menyimpang. Semua akan dikembalikan pada tempat yang sesuai dengan usaha yang diusahakannya. Firman Allah dalam Surat al-Zalzalah (99); 7 – 8:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

Artinya: Barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat dzarrah (biji sawi) maka ia kan melihatnya, dan barangsiapa berbuat kejelekan seberat dzarrah (biji sawi) maka iapun juga akan melihatnya. (Q.S. al-Zalzalah (99); 7 – 8)

Begitulah pada akhirnya manusia akan dikembalikan ke satu tempat di antara dua tempat kembali yang disiapkan Allah, Surga dan Neraka. Semua bergantung kepada manusianya, kemana ia akan menentukan arah kehidupannya. Akankah ia ingin memasuki surga yang penuh kenikmatan? Atau sebaliknya ingin memasuki neraka yang penuh dengan siksaan. Bila ia ingin ke surga, tiketnya murah, shalat lima waktu, beramal baik dan menjauhi keinginan nafsu. Sementara bila ingin memasuki neraka, tiketnya mahal, main judi, minuman keras, zina dan sebagainya dengan memperturutkan keinginan syahwatnya. Kemana saya dan anda menentukan pilihan? Nafsi, nafsi, nafsi…

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...