Ketika al-Qur’an Tinggal Tulisan


Keberadaan al-Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi sumber hukum islam pertama merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Semenjak al-Qur’an pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. umat islam selalu sibuk dalam mempelajari dan memahami al-Qur’an. Berhari – hari, berbulan – bulan, bahkan bertahun – tahun perhatian mereka tercurah untuk mempelajari dan memahami al-Qur’an. Mereka tidak akan beranjak dari satu ayat ke ayat yang lain, melainkan mereka telah menghafal dan memahami ayat tersebut. Demikianlah keadaan umat islam periode awal yang selalu menjadikan al-Qur’an sebagai prioritas awal dalam kehidupannya sebelum mereka beranjak kepada urusan yang lain. Tidak mengherankan bahwa kehidupan mereka selalu terang benderang karena cahaya al-Qur’an.

Dalam kehidupan sehari – hari mereka selalu berkiblat kepada Nabi Muhammad SAW., seorang nabi yang kepadanya al-Qur’an diwahyukan. Rasulullah adalah sosok ideal dalam berperilaku qur’ani. Siti Aisyah Radliyallahu ‘Anha saat ditanya kepribadian Rasulullah mengatakan, “كان خلقه القرأن” , akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an. Demikianlah jawab Siti Aisyah. Beliau adalah al-Qur’an yang terwujud dan hidup di bumi ini. Oleh karenanya setiap ada peristiwa ataupun persoalan yang muncul dalam kehidupan para sahabat, mereka selalu menyelesaikannya dengan solusi yang diberikan Rasulullah.

Pada satu kesempatan Rasulullah SAW menyampaikan sebuuah hadits yang menjelaskan tentang keadaan al-Qur’an pada zaman akhir. Hadits itu diriwayatkan dari Khalifah Ali ibnu Abi Thalib:

عن علي ابن أبي طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ياتي على الناس زمان لا يبقى من الإسلام إلااسمه ولا من الدين إلا رسمه  ولا من القرأن إلا درسه يعمرون مساجدهم وهي خراب عن ذكر الله أشر ذالك الزمان علماؤهم منهم تخرج الفتنة وإليهم تعود وهؤلاء علامة القيامة (زبدة الواعظين)

Artinya: “Dari Ali ibnu Abi Thalib dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Akan datang kepada umat manusia zatu zaman dimana Islam tinggal namanya, agama tinggal tulisannya, al-Qur’an tinggal pelajarannya, mereka meramaikan/menghuni masjid – masjidnya, tetapi hati mereka kosong, jauh dari ingat kepada Allah. Sejelek –jelek/seburuk-buruk orang di zaman itu adalah ulama – ulama mereka. Dari mereka munculnya fitnah, dan kepada mereka fitnah itu kembali, dan itu semua adalah tanda – tanda kiamat.” (Zubdatul Wa’idzin)

Hadits riwayat Khalifah ke-empat Imam Ali ibnu Abi Thalib ini mengingatkan kepada kita semua bahwa kelak suatu ketika –entah apakah sekarang sudah terjadi/atau belum- akan datang satu masa dimana di masa itu Islam tinggal namanya, agama tinggal tulisannya, al-Qur’an tinggal pelajarannya, masjid ramai dipenuhi umat tetapi hati mereka kosong dari dzikir/mengingat Allah dan seburuk – buruk orang pada masa itu adalah ulama – ulamanya. Hadits ini perlu untuk kita renungkan dan kita gunakan sebagai sarana muhasabah, introspeksi diri, memperbaiki setiap kesalahan yang seringkali mampir dalam diri kita.

Islam tinggal namanya. Islam artinya selamat, damai, pasrah. Kira – kira demikian. Rasulullah SAW bersabda kelak Islam tinggal namanya. Kedamaian yang digagas dan diperjuangkan Rasulullah SAW di masa awal diutusnya beliau hanya tinggal sebuah nama. Banyak yang menggunakan nama Islam hanya sebatas untuk memenuhi kepuasan pribadinya.  Mereka tidak menggunakan agama untuk menebar kedamaian di muka bumi. Justru karena pembenaran terhadap nafsu, Islam digunakan untuk merusak dan memporak – porandakkan setiap sisi kehidupan yang mereka anggap berseberangan dengan prinsip dan keyakinan mereka. Apabila ini sudah terjadi, tanda bahwa kiamat akan segera tiba.

Agama tinggal tulisannya. Ini mengingatkan kepada kita bahwa nilai – nilai luhur yang tertuang dalam berbagai kitab hanya sebatas tulisan. Tidak ada lagi orang yang mau menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari. Kitab suci dan buku – buku agama hanya tinggal karya – karya bacaan yang tidak pernah diwujudkan dalam perilaku kehidupan masyarakat. Fenomena semacam ini mungkin sudah mulai tampak dalam kehidupan masyarakat di era modern saat ini. Banyak orang pandai tetapi kepandaian dan kecerdasan mereka tidak diikuti dengan penghayatan dan upaya untuk melakukan semua yang mereka ketahui. Ini merupakan tanda – tanda hilangnya ruh dan nilai luhur agama. Agama hanya tinggal tulisan yang bisa dibaca dan dinikmati.

Al-Qur’an tinggal pelajarannya. Banyak orang yang belajar membaca al-Qur’an, mempelajari ilmu – ilmu al-Qur’an tetapi jarang sekali orang yang mengambil al-Qur’an sebagai imamnya, menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Mereka memperindah bacaan – bacaan al-Qur’annya tetapi tidak mau melaksanakan isi dan tuntunannya. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah bahwa al-Qur’an hanya tinggal pelajarannya.

Masjid ramai dan dipenuhi umat, tetapi hati mereka kosong, sepi dan jauh dari mengingat Allah. Saat ini kalau kita perhatikan disekeliling kita, banyak bangunan masjid berdiri dengan megah, arsitekturnya sangat luar biasa, banyak yang datang meramaikan masjid, tetapi jarang sekali diantara mereka yang selalu mengingat Allah. Buktinya banyak yang selalu menghidupkan masjid tetapi mereka masih terbuai dengan kehidupan dunia yang serba fana. Inilah fenomena akhir zaman yang perlu kita prihatinkan.

Seburuk – buruk umat manusia pada masa itu adalah ulamanya. Ulama adalah panutan umat. Mereka adalah lampu dan lentera yang menerangi kehidupan umat agar selalu berada di jalan Allah. Seharusnya titel ulama tidak hanya menjadi titel dan jabatan dunia belaka. Keberadaan mereka penting untuk menjadi sandaran dan rujukan kaum awam dalam kehidupannya. Akan tetapi dalam hadits ini justru disabdakan Rasulullah SAW. bahwa mereka adalah seburuk – buruk umat.

Ini bukan berarti menyepelekan dan menistakan pribadi seorang ulama. Ini justru menjadi sebuah wahana bagi para ulama untuk senantiasa mawas diri dalam kehidupannya sehari – hari. Mereka adalah pribadi – pribadi yang diharapkan menjadi tangan kanan dari Rasulullah dalam kehidupan dunia. Namun sangat disayangkan apabila mereka justru berbuat sebaliknya.

Fenomena akhir – akhir ini, kita dihadapkan pada persoalan yang sangat memprihatinkan. Kita melihat dari berbagai media yang ada, baik cetak maupun elektronik, banyak di antara ulama – ulama kita saling serang antara yang satu dengan yang lain. Bahkan perselisihan pendapat di antara mereka terkadang berujung pada caci maki bahkan pen –takfiran- kepada kelompok yang berseberangan. Ini adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Siapa korbannya? Bukan ulama, tetapi yang menjadi korban adalah kaum awam. Masyarakat awam menjadi korban dari segala bentuk perbedaan pendapat yang –maaf- terkadang sudah tidak wajar lagi. Sungguh ini menjadi sebuah pemandangan yang tidak elok.

Bagaimana sikap kita? Saat ini kita seharusnya introspeksi diri, melihat diri dan pribadi kita untuk berbenah. Bolehlah kita berbeda pandangan antara yang satu dengan lainnya, tetapi tetaplah selalu menjaga kerukunan. Kita tidak harus sama, tetapi kita harus tetap saling menghargai antara yang satu dengan lainnya. Sudah saatnya perbedaan kita jadikan sebagai wasilah untuk semakin memperkuat ukhuwwah. Jangan sebaliknya.

Bila al-Qur’an hanya tinggal tulisannya, tinggal sebagai ilmu yang diajarkan tetapi jauh dari penerapan, waspadalah kawan! Boleh jadi kiamat sudah dekat. Bila ulama saling menjatuhkan, saling mencari pembenaran, sadar dan bangunlah bahwa itu adalah tanda datangnya janji Allah, kiamat akan datang. Fastabiqul Khairat… berlombalah dalam kebaikan…

Semoga bermanfaat…


Allahu a’lam… 

Komentar