Akhlak Paling Utama Penduduk Dunia dan Akhirat
Perjalanan Ke Rumah |
Rasulullah saw mendapat pujian dari Allah juga
disebabkan karena akhlak yang dimilikinya, bukan karena dakwahnya, ketabahannya
maupun karena perjuangannya yang dipenuhi dengan beratnya perjuangan. Tetapi,
kemuliaan akhlaknya lah yang menyebabkan Allah memujinya sebagai hamba pilihan,
kekasihnya. Bahkan saat ‘Aisyah ra ditanya perilah akhlaknya, ia (‘Aisyah)
menjawab, “Akhlaknya (Rasulullah) adalah Al-Qur’an”. Ini berarti bahwa
sepanjang kehidupannya, Rasulullah saw menjadi cermin serta tauladan bagi
penerapan isi Al-Qur’an. Tidak berlebihan kiranya saat dikatakan bahwa Rasul
adalah Al-Qur’an yang berjalan di dunia ini.
Kemulian akhlak atas semua hal di dunia, tidak lagi diperdebatkan ulama. Bahkan, akhlak menjadi tolok ukur “keshalihan” seseorang. Meskipun ilmu memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, akan tetapi akhlak masih tetap dianggap lebih penting daripada peran ilmu. Ini barangkali yang menyebabkan mengapa Rasul diutus kedunia ini, yakni untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Diantara akhlak mulia yang dimiliki manusia,
ada beberapa diantaranya yang dianggap lebih utama, jika dibandingkan dengan
yang lain. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: لَقِيتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمًا فَبَدَرْتُهُ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ أَو بَدَرَنِي فَأَخَذَ
بِيَدِي فَقَالَ: " يَا عُقْبَةُ، ألَا أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ أَخْلَاقِ
أَهْلِ الدُّنْيَا وَأَهْلِ الْآخِرَةِ: تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ، وَتُعْطِي مَنْ
حَرَمَكَ، وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ، الَّذِي أَرَادَ أنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي
رِزْقِهِ وَيُمَدَّ لَهُ فِي عُمُرِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ وَلْيَصِلْ ذَا رَحِمِهِ
"
Artinya: “Dari Uqbah ibn ‘Amir ia berkata: ‘Suatu
hari aku bertemu Rasulullah saw, kemudian aku (mungkin) bergegas menemuinya dan
aku meraih tangannya, atau beliau (mungkin) bergegas kepadaku kemudian meraih
tanganku. Beliau bersabda: “Wahai ‘Uqbah, bukankah aku telah memberitahumu tentang
akhlak yang paling utama penduduk dunia dan akhirat; engkau menyambung
(silaturahim) orang yang memutus (tali silaturahim) kepadamu, memberi orang
yang tidak (mau) memberimu, dan memaafkan orang yang berbuat dzalim kepadamu,
siapa yang menginginkan agar dilapangkan baginya rizqi, dipanjangkan baginya
usianya, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia menyambung
silaturahim.” (HR. Al-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir).
Hadis ini menjadi cerminan bagi pribadi Rasul
yang supel dalam bergaul sekaligus berusaha untuk selalu dekat dengan para
sahabatnya. Di awal hadis tersebut, terdapat gambaran betapa dekatnya Rasul
dengan para sahabat. Sampai-sampai ketika bertemu dengan salah satu diantara
sahabatnya, ia (periwayat) hampir-hampir tidak bisa mengingat siapa yang lebih
dahulu mendekat dan kemudian meraih tangan satu dengan lainnya. Ini merupakan
gambaran supelnya Rasul dengan para sahabatnya.
Pada hadis tersebut ada beberapa akhlak yang
dianggap lebih utama dibandingkan yang lain. Pertama, menyambung
silaturahim kepada orang yang memutuskannya. Menyambung silaturahim kepada
orang yang mau menyambungnya tentu persoalan yang mudah. Artinya sama-sama
memiliki kemauan dan keinginan untuk tetap menjaganya agar tidak terputus. Namun,
tentu persoalannya akan menjadi lain, jika silaturahim itu, hanya berasal dari
satu pihak, tidak dengan pihak lainnya.
Dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain. Sudah menjadi kodratnya, bahwa ia terlahir
sebagai makhluk sosial yang membutuhkan dan selalu butuh bantuan orang lain
untuk memenuhi hajat hidupnya. Tidak peduli seberapa banyak harta yang dimilikinya,
setinggi apapun jabatannya serta atribut apapun yang melekat padanya, tetap
saja ia membutuhkan orang lain. Ini tidak bisa ditawar.
Nah, dalam rangka memenuhi hajat hidupnya
inilah, manusia membutuhkan interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Dalam proses
ini lah seringkali terjadi “gesekan” antara satu dengan lainnya. Tidak jarang “gesekan”
ini berujung pada permusuhan sehingga tali “silaturahim” yang dulunya kuat
menjadi terputus.
“Gesekan” antara satu dengan lainnya,
sebenarnya adalah hal yang biasa jika disikapi dengan baik dan dengan cara yang
benar. Namun, jika pensikapannya salah, yang terjadi termasuk diantaranya
adalah “terputus”nya tali silaturahim.
Seorang yang mulia, tidak pernah memutuskan
silaturahim dalam kondisi apapun. Yang demikian ini sangat sulit. Karena itu,
karakter ini menjadi akhlak yang paling utama baik bagi penduduk dunia, maupun
penduduk akhirat.
Kedua, memberi orang yang tidak mau memberi. Sebenarnya
ini juga bagian dari membangun silaturahim. Orang yang sakit hati, seringkali
tidak mau berbagi dengan orang yang pernah menyakitinya. Padahal, -mungkin
saja, yang menyakiti tidak bermaksud menyakiti. Sekedar ingin bercanda,
membangun keakraban, namun karena persepsi dan sudut pandang berbeda, “baper”
menurut generasi milenial, jadinya ya “begot”. Ujungnya silaturahim terputus,
tidak mau lagi memberi hadiah, sedekah atau semisalnya kepada saudara/temannya
tersebut. Dalam kondisi seperti ini, mereka yang berjiwa besar, tetap akan
menyambung silaturahim dan memberi kepadanya, meskipun “ia” tidak lagi mau
memberi kepadanya.
Ketiga, memaafkan orang yang berbuat dzalim
kepadamu. Ini berat dan sulit bagi setiap orang. Memaafkan orang yang pernah
berbuat dzalim. Tentu saat dizalimi, seseorang merasakan sakit hati, marah dan
rasa sejenisnya. Wajar jika lantas ia tidak mau memberi maaf kepadanya. Namun,
mereka yang berakhlak mulia dan berjiwa besar, tetap saja akan memberikan maaf.
Sikap ini lah yang dicontohkan oleh Rasul saw
dalam kehidupannya. Beliau tetap menjaga silaturahimnya, memberi kepada mereka
yang tidak mau memberinya, serta memaafkan orang-orang yang mendzaliminya. Bahkan,
masyhur di tengah umat Islam, bagaimana sikap yang ditunjukkannya saat peristiwa
“Thaif”. Rasul diusir, dilempari batu, hingga berdarah-darah. Para Malaikat
merasa marah dan meminta supaya Rasul mengangkat kedua tangannya, memohon
kepada Allah agar bangsa “Thaif” dihancurkan. Akan tetapi kebesaran hati Rasul,
serta kemuliaan akhlaknya, justru memaafkan dan mendo’akan mereka, “Ya
Allah, tunjukilah kaumku, sesungguhnya mereka (berbuat demikian) karena mereka
tidak mengetahui”.
Di penghujung hadis, Rasul menegaskan, siapa
saja yang ingin dilapangkan rizqinya, dipanjangkan usianya, hendaknya ia
bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturahim. Dua hal yang harus
diperjuangkan dan dijaga oleh semua umat Islam. Kedua hal ini merupakan dua hal
pokok dan penting bagi umat Islam agar di kehidupan dunia meraih kemuliaan pun
pula di akhiratnya.
Komentar
Posting Komentar