Sekelumit Tentang Takdir
“Setiap manusia memiliki takdirnya sendiri, termasuk takdir
kepemimpinan. Menariknya, takdir itu tidak dapat diketahui, meski dapat
diprediksi atau dicita-citakan oleh seseorang. Maka tidak salah, jika orang
juga dikatakan dapat menentukan takdirnya sendiri. Dalam teori hereditas,
takdir seseorang ditentukan oleh bawaan sejak lahir, secara turun temurun dari
orang tuanya (galur, genetic). Sementara dalam teori lingkungan ditentukan oleh
pengalaman, pendidikan, dan upaya secara praktis akademis (gelar). Karenanya,
kehidupan seseorang bisa karena garis genetikanya atau juga karena upaya
menciptakan takdir yang diciptakannya sendiri. Siapapun jangan pernah lelah
meraih takdir.” (Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Prof. Dr.
Maftukhin, M.Ag.)
Kehidupan merupakan misteri yang sulit dipecahkan. Tak ada
seorangpun yang tahu secara pasti, apa yang akan terjadi di masa mendatang,
meskipun orang yang seringkali disebut dengan “orang pintar, dukun, maupun
paranormal”. Takdir merupakan bagian dari rahasia-Nya, yang telah ditetapkan
sebelum manusia dilahirkan.
Secara umum, dalam keyakinan umat muslim, percaya pada takdir merupakan rukun iman yang keenam, yaitu meyakini bahwa takdir baik dan buruk semua berasal dari Allah swt. Dalam literature islam, takdir selalu dikaitkan dengan qadha’. Qadha’ merupakan ketentuan yang telah ditetapkan Allah sejak manusia berada di zaman azali, tepatnya setelah ruh ditiupkan ke janin manusia. Tidak ada seorangpun yang ingat bagaimana prosesnya. Kita hanya tahu dari berita yang telah disampaikan oleh rasul juga para ulama.
Sementara takdir dipahami sebagai realisasi dari qadha’. Yakni qadha’
yang telah terjadi pada kehidupan manusia di dunia. Dengan demikian, tidak
semua qadha’ yang telah ditetapkan terealisasi dalam kehidupan. Ada sebagian
diantara qadha’ yang tidak terjadi. Oleh karena itu dalam terminology Islam ada
takdir mubram dan adapula yang mu’allaq.
Takdir mubram adalah takdir yang tidak bisa dirubah, sementara
takdir mu’allaq adalah takdir yang digantungkan pada usaha manusia. Dalam arti
takdir itu masih bisa dirubah dengan usaha yang dilakukan manusia.
Quote Ramadhan hari ke-6
berkenaan dengan takdir. Dimana quote ini diawali dengan pernyataan
bahwa setiap manusia memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Ya, memang tidak ada
takdir yang tertukar. Semua orang memiliki takdir sendiri, dan tidak mungkin
ada takdir yang salah sasaran. Kira-kira begitulah.
Persoalan yang sering terjadi adalah, sikap “iri dan dengki” yang
menyelimuti hati kebanyakan orang. Pada akhirnya, sikap iri dan dengki ini,
seringkali menimbulkan “gesekan-gesekan” antar individu yang memiliki ambisi
dalam hidupnya. Tidak jarang, gesekan tersebut berujung pada permusuhan. Hal yang
sebenarnya, tidak diperlukan karena semua telah ada takdirnya masing-masing. Yang
semestinya dilakukan hanya berusaha, bekerja dengan sebaik-baiknya, memantaskan
diri, sehingga pada saatnya tiba, semua yang telah “digariskan”-Nya, akan
datang dengan sendirinya menghampiri.
Dalam teori ilmu modern, ada beberapa teori yang menjelaskan
tentang faktor kesuksesan seseorang. Pertama, adalah teori hereditas
sebagaimana telah disebutkan dalam quote tersebut. Yakni, bahwa
kesuksesan seseorang sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor keturunan. Teori
ini, tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Biasanya,
orang-orang sukses merupakan keturunan dari orang-orang yang sukses pula. Pepatah
mengatakan, buah tidak jauh dari pohonnya.
Teori yang disebutkan berikutnya adalah teori lingkungan. Dimana teori
ini menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang juga ditentukan oleh faktor
lingkungan yang membentuknya. Bagaimana lingkungan membentuk kesiapan dirinya
untuk menyambut masa dimana ia “didudukkan” untuk memangku sebuah tanggung
jawab. Dalam hal ini, pengalaman memiliki peran penting untuk membentuk
kesiapan tersebut, termasuk dalam hal ini lingkungan pendidikan yang memberikan
bekal informasi berupa “ilmu” yang menjadi rambu-rambunya. Kesiapan tersebut
terwujud dalam sebuah “Gelar” yang diberikan.
Memang, terkadang sebagian orang menganggap bahwa “gelar” bukanlah
hal penting. Namun, dalam dunia akademik dan “formalistic”, ia menjadi hal yang
tak bisa terabaikan. Seberapapun tingkat “kecerdasan” dan “kedalaman” ilmu yang
dimiliki, terkadang tidak memiliki arti jika dihadapkan pada persoalan “administratif”
yang cenderung “formalistic”, statis dan kaku. Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar