Kamis, 16 Juni 2016

Peningkatan Mutu Tilawah Guru LPI Qurrota A’yun




Moment puasa Ramadlan bukanlah suatu alasan untuk bermalas malasan tanpa melakukan sebuah aktifitas positif yang bisa membangkitkan daya kreatifitas dan kualitas individu. Hal ini dibuktikan oleh antusias para pendidik di Lembaga Pendidikan Islam Qurrata A’yun mulai jenjang Play Group Islam Qurrota A’yun, Taman Kanak – kanak Islam Qurrota A’yun dan Sekolah Dasar Islam Qurrota A’yun dalam mengikuti pelatihan tilawah yang diselenggarakan oleh pihak pengelola LPI Qurrota A’yun.

Kegiatan ini dilaksanakan mulai kemarin, Rabu, 15 Juni 2016 sampai dengan tercapainya standar tilawah yang diinginkan. Sebagaimana pernyataan yang disampaikan direktur lembaga yang juga merangkap sebagai kepala SDI Qurrota A’yun Drs. Imam Muslimin, kegiatan ini merupakan upaya dari lembaga pendidikan Qurrota A’yun dalam rangka meningkatkan mutu layanan dan juga mutu lembaga pendidikan Qurrota A’yun utamanya dalam membentuk kepribadian pendidik dan juga peserta didik yang berakhlaqul karimah sehingga dirasa perlu adanya peningkatan mutu kualitas pendidik yang diawali dengan pembinaan mutu kualitas pendidik dalam membaca al Qur’an sesuai dengan standar LPTQ. 

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa al Qur’an adalah kitab suci umat islam yang tidak ada keraguan di dalamnya. Siapa yang berpegang teguh kepada al Qur’an Allah menjamin kehidupannya tidak akan tersesat selama – lamanya. Sebagai kitab suci, al Qur’an memiliki keistimewaan yang tidak sama dengan kitab suci selain al Qur’an salah satu diantaranya adalah cara bacanya. Al Qur’an sebagaimana firman Allah hendaklah dibaca dengan tartil.

Pada kenyataannya tidak banyak orang yang memiliki ketertarikan dalam membaca al Qur’an secara benar. Hal ini bisa dibuktikan dengan sedikitnya orang yang memahami secara benar tata baca al qur’an, mengenal tajwidnya, mengenal makharijul hurufnya serta memahami sifatil huruf. Kondisi semacam ini menyababkan banyak orang yang lancar membaca al Qur’an, enak lagu bacaannya namun kacau dalam kebenaran cara bacanya. 

Mengingat akan pentingnya al Qur’an sebagai salah satu jargon dalam pendidikan yang bernafaskan islam, LPI Qurrota A’yun berkomitmen untuk memperbaiki kualitas pendidikan al Qur’annya dengan mendatangkan tutor dari team Tilawati untuk melakukan pembinaan terhadap para pendidik dan tenaga kependidikan yang berada dalam naungan lembaga pendidikan ini.

Langkah semacam ini terbilang langka bagi lembaga – lembaga pendidikan formal mengingat targetan materi yang banyak, kegiatan yang silih berganti dan berbagai aktifitas KBM yang menyita banyak waktu dan tenaga. Namun, nyatanya komitmen lembaga ini begitu kuat hingga meski dalam keadaan berpuasa semua civitas akademika yang ada di lembaga ini dengan penuh semangat mengikuti setiap sesi pelatihan.

Dalam kesempatan ini, ketua team Pembina Tilawati yang diwakili oleh ustadz Huda menyampaikan tentang pentingnya membaca al Qur’an dengan benar, memahami setiap kaidah tata bacanya, memahami sifat huruf dan setiap hal yang berhubungan dengan al Qur’an. Beliau menegaskan al Qur’an adalah milik kita umat islam. Kalau bukan kita yang peduli, lantas siapa yang akan peduli terhadap al Qur’an. Beliau juga menyampaikan bahwa dalam beberapa waktu ini LPTQ mempunyai agenda besar dalam membina para imam masjid dan mushala di wilayah Tulungagung agar bacaan mereka sesuai dengan standar yang diharapkan. Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa pada umumnya imam shalat dipilih bukan karena kualitas membaca mereka yang baik dan benar, akan tetapi lebih karena unsur usia mereka yang lebih tua dari jamaah yang lain. Hal ini menjadi factor utama yang menyebabkan masih  banyak ditemukannya   imam masjid dan mushala yang masih keliru bahkan kacau bacaan al Qur’annya.

Oleh karena itulah beliau menilai langkah yang diambil oleh lembaga pendidikan Qurrota A’yun adalah sebuah langkah positif yang harus disertai dengan komitmen dari semua komunitas yang ada didalamnya. Beliau menegaskan bahwa untuk membentuk tilawah yang baik dari semua out put di butuhkan system pengajaran dan pembinaan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh LPTQ. Beliau meminta komitmen bersama, jika setengah – setengah lebih baik tidak sama sekali. Karena satu orang saja yang tidak memiliki komitmen maka semua harapan tidak akan tercpai.

Kiranya komitmen lembaga ini mendapat ridla dari Allah SWT beriringan dengan syafaat rasulullah saw sehingga lembaga ini mampu menlahirkan generasi yang unggul dalam karakter religiusnya. Mampu mewujudkan jargon “GRESS” yang melekat pada lembaga ini. Generasi Shalih Shalihah. Amin…

Al Qur’an Dalam Tujuh Huruf


Al Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘alaih dari Umar bin Khathab. Beliau bersabda:
 
إِنَّ هَذَاالْقُرْأَنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ (متفق عليه)

Artinya; “Sesungguhnya al Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf. Maka, bacalah olehmu apa yang mudah darinya.” (H.R. Muttafaqun ‘alaihi dari Umar bin Khathab)

Menurut para ulama’ kata tujuh huruf dalam hadis ini tidak menunjuk kepada arti bilangan. Artinya bukan al Qur’an diturunkan dalam tujuh macam bacaan sebagaimana arti harfiyah hadis diatas. Akan tetapi para ulama’ lebih memahami bahwa tujuh disini menunjuk pada jumlah yang banyak. Ia mempunyai makna keriganan, kemudahan, dan keluasan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masyarakat Arab terdiri dari berbagai suku dan kabilah, di mana masing – masing kabilah tersebut memiliki sejumlah perbedaan dalam kosa kata dan logat, maka sangat terbuka kemungkinan adanya perbedaan dalam bacaan. Dan inilah fleksibilitas al Qur’an.

Dari pemahaman ini muncullah istilah qira’at sab’ah (bacaan al Qur’an yang tujuh) dan qira’at ‘asyrah (bacaan al Qur’an yang sepuluh). Istilah qira’at kemudian disandarkan kepada imamnya. Misalnya, ada salah seorang imam qira’at bernama Ashim bin Abi al Najud al Kufi, maka qira’atnya disebut dengan qira’at ‘Ashim.

Tujuh Imam Qira’at dan perawinya yang terkenal dalam qira’at sab’ah berikut para perawinya adalah;

1.      Nafi’, Abu Ruwaim bin Abdirrahman al Laitsi al Madani (w.169 H)
-          Qalun, Abu Musa Isa bin Mina bin Wardan (w. 220 H)
-          Warsy, Abu Said Utsman bin Said al Mishri (w. 197 H)

2.      Ibnu Katsir, Abdullah bin Katsir bin Amr al Makki (w. 120 H)
-          Al Bazzi, Ahmad bin Muhammad Abul Hasan (w. 250 H)
-          Qumbul, Muhammad bin Abdirrahman al Makki (w. 291 H)

3.      Abu Amr, Zabban bin al Ala’ al Bashri al Tamimi (w. 154 H)
-          Al Duri, Hafsh bin Umar bin Abdil Aziz al Baghdadi (w. 240 H)
-          Al Susi, Abu Syu’aib Shalih bin Ziyad al Raqqi (w. 261 H)

4.      Ibnu Amir, Abdullah bin Amir al Yahshabi al Syami (w. 118 H)
-          Hisyam, Abul Walid bin Ammar bin Mashir al Dimasyqi (w. 245 H)
-          Ibnu Dzakwab, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad (w. 242 H)

5.      Ashim, Abu Bakar bin Bahdalah bin Abi al Najud al Kufi (w. 127 H)
-          Syu’bah, Abu Bakar bin Ayyasy bin Salim al Kufi (w. 193 H)
-          Hafsh, Abu Umar bin Sulaiman bin al Mughirah al Kufi (w. 180 H)

6.      Hamzah al Zayyat bin Habib bin Imarah al Kufi (w. 156 H)
-          Khalaf, Abu Muhammad bin Hisyam al Baghdadi (w. 229 H)
-          Khallad, Abu Isa bin Khalid al Syaibani al Kufi (w. 220 H)

7.      Al Kisa’I, Abul Hasan Ali bin Hamzah bin Abdillah al Kufi (w. 189)
-          Abul Harits, al Laits bin Khalid al Marzawi al Baghdadi (w. 240 H)
-          Al Duri, Hafsh bin Umar bin Abdil Azis al Baghdadi (w. 240 H)

Sedangkan tiga imam qira’at lain beserta dua perawinya yang melengkapi sebagai qira’at ‘asyrah, yaitu:

8.      Abu Ja’far, Yazid bin al Qa’qa’ al Makhzumi al Madani (w. 130 H)
-          Ibnu Wardan, Isa bin Wardan al Madani Abul Harits (w. 160 H)
-          Ibnu Jammaz, Sulaiman bin Muhammad al Madani (w. 170 H)

9.      Ya’kub, Abu Muhammad bin Ishaq bin Yazid al Bashri (w. 205 H)
-          Ruwais, Muhammad bin al Mutawakkil al Bashri (w. 205 H)
-          Rouh, Abul Hasan bin Abdil Mukmin al Hudzali al Bashri (w. 234 H)

10.  Khalaf al Asyir, Abu Muhammad bin Hisyam al Baghdadi (w. 229 H)
-          Ishaq, Abu Ya’kub bin Utsman bin Abdillah al Baghdadi (w. 280 H)
-          Idris, Abul Hasan bin Abdil Karim al Haddad al Baghdadi (w. 292 H)

Para imam qira’at ini diikuti oleh umat islam. Di Indonesia imam qira’at yang diikuti oleh mayoritas umat muslim adalah qira’at Ashim riwayat Hafsh. Mudah – mudahan Allah menjadikan kita sebagai ahlul qur’an dan pecinta al Qur’an sehingga kita berhak mendapatkan syafaat al Qur’an besok di hari kiamat. Semoga bermanfaat. Amin…

Sekilas Ilmu Tajwid


Dalam membaca al Qur’an kita tidak boleh melupakan kaidah – kaidah ilmu tajwid. Tajwid adalah bentuk mashdar dari kata jawwada yang artinya adalah membaguskan, menyempurnakan, memantapkan. Sebagian ulama’ mengatakan pengertian tajwid adalah الإتيان بالجيد  yang artinya “memberikan dengan baik”.
 
Menurut istilah:

اَلتَّجْوِيْدُ هُوَ عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ إِعْطَاءُ كُلِّ حَرْفٍ حَقَّهُ وَمُسْتَحِقَّهُ مِنَ الصِّفَاتِ وَالْمُدُوْدِ وَغَيْرِ ذَلِكَ كَالتَّرْقِيْقِ وَالتَّفْخِيْمِ وَنَحْوِهِمَا

Artinya: “Ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk mengetahui bagaimna cara memenuhkan/memberikan hak huruf dan mustahaqnya. Baik yang berkaitan dengan sifat, mad dan sebagainya, seperti tarqiq dan tafkhim dan selain keduanya.”

Dengan demikian ilmu tajwid memiliki manfaat besar dalam membaca al qur’an dengan tepat, memberikan hak yang dimiliki oleh huruf, sesuai dengan sifat asli yang dimilikinya. Oleh karenanya seorang muslim diharuskan untuk mempelajari ilmu tajwid sehingga bacaan al Qur’annya sesuai dengan standar tilawah yang diharapkan.

Adapun hukum mempelajari ilmu tajwid para ulama’ mengatakan sebagai fardlu kifayah. Fardlu kifayah adalah satu kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang muslim apabila tidak dikerjakan berdosa,  akan tetapi apabila ada sebagian diantara umat islam yang telah mempelajarinya maka menjadi gugurlah kewajiban itu. Hal ini bisa kita ketahui dari qaul dibawah ini:

اَلْعِلْمُ بِهِ فَرْضُ كِفَايَةٍ وَالْعَمَلُ بِهِ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى كُلِّ قَارِئٍ مِنْ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

Artinya: “Mempelajari ilmu tajwid (hukumnya) fardlu kifayah dan mengamalkannya fardlu ‘ain bagi setiap pembaca al Qur’an (qar’) dari umat Islam (laki – laki dan perempuan).

Mempelajari al Qur’an membutuhkan ketelatenan agar memperoleh hasil maksimal. Niatan yang benar dan ketelatenan akan berbuah pada tercapainya tujuan yang diharapkan. Keindahan dalam membaca al Qur’an memberi satu nilai plus tersendiri. Akan tetapi yang perlu diperhatikan keindahan bacaan jangan sampai keluar dari kaidah tata baca al Qur’an yang benar. Semoga bermanfaat. Amin…

Rabu, 15 Juni 2016

Taubat



Didalam al Qur’an Allah SWT berfirman, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang – orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. al Nur;31). Ayat ini menyeru kepada semua umat muslim yang beriman agar bertaubat kepada Allah SWT.

Kata taubat berasal dari Bahasa Arab Taaba Yatuubu yang artinya kembali. Secara istilah, taubat berarti kembali dari sesuatu yang dicela oleh agama kepada sesuatu yang terpuji. Kata taubat digunakan untuk orang yang kembali dari jalan yang tidak diridlai oleh Allah kepada jalan yang diridlaiNya. 

Setiap anak cucu Adam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik baik yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau kembali kepada Allah SWT. Berbuat kesalahan adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi oleh karena manusia diciptakan dengan dibekali nafsu ddan akal. Nafsu cenderung mengajak kepada sesuatu yang bersifat negative dan menyimpang. Disisi lain akal diciptakan sebagai alat untuk mengendalikan nafsu agar tidak selalu berbuat hal yang menyimpang. Oleh karenanya Allah memberi potensi kepada akal berupa kemampuan untuk menyerap ilmu yang dengan ilmu tersebut manusia bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan, halal dan haram, perintah dan larangan. Akan tetapi Allah juga memberikan sifat lupa pada manusia. Sifat lupa penting bagi manusia agar memori – memori buruk bisa di lupakan dan tidak menjadi momok yang menakutkan sehingga tidak menjadi trauma yang berkepanjangan. Semua hal tersebut saling berkelindan dalam diri manusia sehingga terkadang seseorang mampu menjadi orang yang taat dan patuh kepada Allah namun disisi lain ada kemungkinan juga baginya untuk berbuat sesuatu yang melanggar dan keluar dari syariat yang telah digariskan dan ditentukan oleh Allah SWT. 

Oleh karena berbuat salah dan lalai adalah sesuatu yang bersifat manusiawi, Allah memberikan kasih sayangNya kepada manusia dengan membuka pintu taubat selebar – lebarnya bagi setiap orang yang melakukan kesalahan. Rahmat Allah mendahului ghadzabNya. Pintu taubat akan selalu terbuka bagi siapa saja yang mau bersungguh – sungguh mendekat dan bertaubat atas segala dosa dan kesalahan yang dilakukan. Allah menjanjikan keberuntungan bagi mereka yang mau bertaubat kepadaNya. Ia akan menerima setiap taubat hamba selama nyawa belum sampai pada tenggorokan.

Akan tetapi taubat yang diterima oleh Allah hanyalah taubat yang dilakukan secara sungguh – sungguh bukan taubat yang hanya sebatas lisan atau penyesalan yang bersifat sementara belaka. Taubat yang murni danbersih dari kotoran dan tidak tergantung pada sesuatu itu dalam istilah syara’ dikenal dengan nama taubat nasuha.

Taubat nasuha yang dilakukan dengan sungguh – sungguh tanpa ada tendensi dan keterpaksaan inilah yang nantinya akan mengantarkan pelakunya pada keberuntungan. Allah akan memberikan surge beserta kenikmatan didalamnya bagi mereka yang mau bertaubat dengan taubat nasuha.

Taubat dikatan sebagai taubat nasuha apabila memenuhi syarat – syarat berikut: 1) Menyesali kealahan yang telah dilakukan, 2) Menjauhi dosa dalam setiap saat dan keadaan, 3) Berjanji tidak akan mengulangi dosa dan kesalahan yang telah lalu. Tiga syarat ini terdapat dalam kitab al Ghunyah karya Syaikh Abdul Qadir al Jailani.

Pertama, menyesali kesalahan yang telah dilakukan adalah syarat bagi seseorang yang bertaubat kepada Allah. Seorang yang bertaubat tidak mungkin tidak menyesal terhadap kesalahan yang dilakukan. Orang yang tidak pernah menyesal terhadap kesalahan yang dilakukan berarti dia bukanlah orang yang bertaubat. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah disebutkan; “Penyesalan itu taubat”. Tanda penyesalan yang benar adalah hatinya lembut dan mudah meneteskan air mata karena khauf kepada Allah SWT.

Kedua, menjauhi dosa dalam setiap saat dan keadaan. Barangsiapa yang bertaubat dengan taubat nasuha, maka ia akan meninggalkan dosa dalam setiap waktunya baik dalam keadaan luang maupun terpaksa. Ia akan berusaha dalam setiap pagi, siang dan petang untuk selalu meninggalkan dosa – dosa yang bisa menjauhkannya dari Allah SWT.

Ketiga, berjanji tidak akan mengulangi kesalahan dan dosa yang telah lalu. Taubat nasuha menuntut seseorang untuk berjanji tidak mengulang kesalahan dan dosa serupa. Mengulang dosa serupa setelah berikrar untuk taubat darinya adalah sebuah kebodohan yang besar. Oleh karena seorang yang bertaubat nasuha akan selalu berusaha menghindarkan diri dari setiap dosa terlebih dosa yang pernah dilakukannya. Penyesalan akan membentuk tekad, yaitu tekad auntuk tidak mengulangi kesalahan yang telah lalu. Dia telah tahu bahwa kemaksiatan itu telah menghalangi antara dia dengan Allah SWT. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Sesungguhnya seseorang itu diharamkan dari rizki yang banyak disebabkan dosa yang dilakukannya.” (H.R. Ahmad). Dalam hadis lain disebutkan pula, “Sesungguhnya perbuatan zina itu menyebabkan kefakiran.” (H.R. Ibnu Adi).

Salah seorang ahli ma’rifat  berkata, “Jika kamu melihat ada perubahan, kesempitan, kesulitan dalam rezeki, dan kekacauan, maka ketauhilah bahwa kamu telah meninggalkan perintah Tuhanmu dan mengikuti hawa nafsumu. Ketauhilah jika ada pihak yang menganiaya kamu dalam diri, harta, istri dan anak, maka tandanya kamu telah melakukan sesuatu yang dilarang, kamu tidak memberikan hak orang lain, melampaui batas, dan melakukan pelanggaran. Jika kamu dirundung kesedihan dihati, ketauhilah bahwa kamu sedang menolak ketetapan Tuhanmu, kamu berprasangka buruk kepadaNya, menyekutukanNya dengan makhluk dalam urusanNya. Jika orang mengetahui hal ini dan menyadarinya, tentu dia akan bertaubat dan menyesalinya.

Menyesal adalah merasa sedih hati setelah berpisah dengan kekasih. Kesedihan dan tangisan itu menjadi panjang dan sulit diungkapkan dengan kata – kata. Kekasih yang dimaksud dalam pertaubatan nasuha ini adalah Allah SWT dan Rasulullah SAW yang senantiasa dirindukan oleh setiap hati orang yang beriman. Semoga Allah memberkan hidayahNya kepada kita, memberikan kemampuan kepada kita untuk bertaubat dengan taubatan nasuha. Semoga kita dipertemukan dengan baginda agung Rasulullah Muhammad SAW, dikumpulkan bersama dengannya, para kekasihnya di surga Allah SWT. Amin…