Falaulaa Rabbii
Menyelami dunia tasawuf seakan menyelami lautan tak bertepi. Semakin
mendalami semakin terasa bahwa seolah tidak ada batas yang membatasinya,
sehingga sampai kapanpun seorang mendalaminya semakin ia merasa kurang,
demikian seterusnya. Pantas saja para ilmuan muslim pada umumnya menjadikan
tasawuf sebagai puncak dari capaian pengembaraan intelektualnya.
Tasawuf sarat dengan nuansa spiritual. Ia menghadirkan perspektif
tersendiri dalam melihat dan memandang kebenaran. Kebenaran tidak sekadar
diukur dengan teori yang tersusun dari apa yang ditangkap oleh panca indera
maupun argumentasi yang dibangun berdasarkan daya akal dalam bentuk penalaran
dan logika. Lebih dari itu, kebenaran itu mesti dirasakan dalam relung “sanubari”
yang paling dalam, kemudian terejawantahkan dalam bentuk perbuatan. Barangkali inilah
pemahaman dari hadis, “Watsamratul iiman al-a’maal al-shaalihah”, buah
dari iman adalah amal-amal shalih.
Oleh karena tasawuf lebih kental dengan nuansa spiritualnya, seringkali ungkapan-ungkapan sufi di satu tahapan pencapaiannya ditafsirkan para pengkajinya dengan beragam penafsiran. Tidak jarang juga penafsiran tersebut menimbulkan semacam “kegaduhan” akibat sudut pandang yang digunakan berbeda dengan ruang dimana ungkapan itu “terlahirkan”. Sebut saja beberapa ungkapan yang “nyleneh” seperti, “Anaa bahrun laa saahila lah, Innanii Anallaahu Laa Ilaaha Illa Anaa, Subhaanii Subhaanii,” dan istilah-istilah lainnya.