Surplus/Defisit Kebahagiaan?
Refleksi Idul Fithri Melalui Canda Tawa Sufi
Rabu, 11 Mei 2022, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
mengadakan halal bihalal dalam rangka peringatan Idul Fithri 1443 H. Kegiatan
ini dilaksanakan di Aula Gedung Arif Mustaqim. Hadir dalam kegiatan ini,
seluruh civitas akademika dan karyawan di lingkup UIN Sayyid Ali Rahmatullah.
Pada halal bihalal ini, Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. berhalangan hadir. Saat ini beliau masih harus menjalani recovery kesehatan. Oleh karena itu, beliau tidak bisa turut serta di tengah-tengah sivitas akademika, meskipun begitu, beliau masih menyempatkan untuk memberi sambutan dalam acara tahunan yang selama dua tahun vacuum karena pandemic covid-19.
Moment ini bersamaan dengan satu tahun alih status IAIN ke UIN
lembaga yang telah sekian tahun lamanya mengabdi untuk negeri dan umat ini. Pada
sambutannya Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, mengucapkan selamat
idul fithri sekaligus meminta maaf atas nama pribadi jika selama ini pernah
berbuat salah baik di sengaja maupun tidak.
Pada moment ini pula, beliau meminta keikhlasan do’a dari semua
sivitas akademika agar segera diberi kesehatan dan bisa kembali bersama-sama
dengan keluarga besar UIN Sayyid Ali Rahmatullah untuk mengabdi dan membesarkan
UIN SATU Tulungagung. Dimana menurut beliau, berdasar informasi dari tim
kesehatan, beliau harus menjalani recovery kesehatan selama kurang lebih dua
bulan ke depan.
Beliau tidak lupa mengajak kepada seluruh sivitas akademika agar
benar-benar mencurahkan seluruh kemampuannya dalam rangka mengabdi sekaligus
meningkatkan kualitas UIN SATU Tulunngagung sehingga mampu memberikan
kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa dan Negara. Lebih lanjut lagi, kampus
ini bisa berdiri sejajar bahkan melampaui kampus-kampus besar lainnya.
Sebagai penceramah pada moment halal bihalal kali ini adalah ustadz
Dr. Rizqa Ahmadi, Lc., MA. dosen muda, energik, jebolan Al-Azhar Kairo. Pada idul
fithri ini, beliau menyampaikan topic materi berkenaan dengan “Surplus/deficit kebahagiaan?
Refleksi Idul Fithri Melalui Canda Tawa Sufi”.
Di awal ceramahnya, beliau menyampaikan bahwa kebahagiaan itu relative
sifatnya. Mereka yang memberi belum tentu lebih bahagia dibanding mereka yang
menerima, pun pula sebaliknya. Kebahagiaan juga tidak serta merta menyertai
seorang yang tersenyum secara lahiriyahnya. Boleh jadi “senyum” itu sebagai
bentuk pengalihan dan kamuflase dari rasa “sedih” yang menyelimuti dirinya.
Intinya, indicator dari “kebahagiaan” tidak bisa diukur dari “tampilan” fisik
semata.
Kebahagiaan juga tidak bisa ditentukan hanya dengan “keterpenuhan”
kebutuhan fisik semata. Ya, sebagian orang ada yang beranggapan bahwa
kepemilikan pada materi, yang ujungnya adalah keterpenuhan pada kebutuhan
fisik, dijadikan sebagai patokan “bahagia”. Akan tetapi, ternyata banyak orang
yang memiliki harta berlimpah, terpenuhi kebutuhan fisiknya, namun secara
psikologis dan spiritualnya, justru jauh dari rasa “bahagia”.
Kebahagiaan itu erat kaitannya dengan kemampuan mengelola “emosi
dan spiritual”. Selalu berpikir positif pada setiap peristiwa yang terjadi
serta berbagai ketentuan Allah swt. Meskipun tampilan fisiknya berupa hal yang
menyedihkan, namun, jika hal tersebut disikapi dengan baik, dengan tetap
husnudzan serta melihat sisi positifnya, maka akan bernilai positif serta
menjadi sebab tercapainya “kebahagiaan”.
Oleh karena itu, maka kebahagiaan secara fisik sebenarnya adalah
kebahagiaan dalam kadar yang paling rendah. Kebahagiaan yang paling tinggi
diperoleh secara spiritual, manakala seseorang telah mampu mengelola emosi,
pikiran dan hatinya untuk senantiasa husnudzan pada setiap ketentuan Allah swt.
Dalam perspektif sufi, kebahagiaan itu merupakan manifestasi dari
rukun iman yang ke enam, yakni khairihi wasyarrihi minallah, takdir baik
dan buruk semua berasal dari Allah. Artinya manakala seseorang telah mampu
meyakini dengan sepenuhnya, bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan bagian
dari ketentuannya, maka tidak lagi ada rasa kecewa, sedih, di dalam hatinya. Yang
ada adalah rasa kepasrahan dan ketundukan total kepadanya.
Karena itu, dalam perspektif sufi, populer ibarat yang menyatakan, “Arih
nafsaka min al-tadbiir famaa qaama bihi ghairuka ‘anka laa taqum bihi linafsika”,
istirahatkan dirimu (nafsumu) dari urusan tadbiir (mengatur
keperluan-keperluan hidup) karena apa yang telah diatur tentang urusan dirimu
oleh selainmu, tidak perlu engkau campur tangan.
Ungkapan ini merupakan salah satu kata mutiara Al-Hikam yang
dikarang oleh Syaikh Ibnu Athaillah Al-Sakandari. Seorang sufi kenamaan yang
kitabnya hampir dikaji di semua pesantren di Indonesia. Intisari kata mutiara
tersebut adalah kepasrahan total kepada Allah dari mencampuri urusan Allah.
Setiap hal yang terjadi di dunia ini, sebenarnya merupakan bagian
dari proses Allah untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karena itu, seyogyanya
setiap orang menjalani setiap proses tersebut dengan lapang dada, ikhlas
menerima dan menjalani. Tetapi, bukan berarti bersifat fatalistic, tanpa
melakukan usaha sama sekali. Usaha tetap dilakukan, namun, hati tetap “pasrah”,
tunduk serta menerima setiap takdir yang telah ditentukannya. Dengan demikian,
maka kebahagiaan hakiki akan didapatkan.
Komentar
Posting Komentar