Falaulaa Rabbii

 

Falaulaa Rabbii



Menyelami dunia tasawuf seakan menyelami lautan tak bertepi. Semakin mendalami semakin terasa bahwa seolah tidak ada batas yang membatasinya, sehingga sampai kapanpun seorang mendalaminya semakin ia merasa kurang, demikian seterusnya. Pantas saja para ilmuan muslim pada umumnya menjadikan tasawuf sebagai puncak dari capaian pengembaraan intelektualnya.

Tasawuf sarat dengan nuansa spiritual. Ia menghadirkan perspektif tersendiri dalam melihat dan memandang kebenaran. Kebenaran tidak sekadar diukur dengan teori yang tersusun dari apa yang ditangkap oleh panca indera maupun argumentasi yang dibangun berdasarkan daya akal dalam bentuk penalaran dan logika. Lebih dari itu, kebenaran itu mesti dirasakan dalam relung “sanubari” yang paling dalam, kemudian terejawantahkan dalam bentuk perbuatan. Barangkali inilah pemahaman dari hadis, “Watsamratul iiman al-a’maal al-shaalihah”, buah dari iman adalah amal-amal shalih.

Oleh karena tasawuf lebih kental dengan nuansa spiritualnya, seringkali ungkapan-ungkapan sufi di satu tahapan pencapaiannya ditafsirkan para pengkajinya dengan beragam penafsiran. Tidak jarang juga penafsiran tersebut menimbulkan semacam “kegaduhan” akibat sudut pandang yang digunakan berbeda dengan ruang dimana ungkapan itu “terlahirkan”. Sebut saja beberapa ungkapan yang “nyleneh” seperti, “Anaa bahrun laa saahila lah, Innanii Anallaahu Laa Ilaaha Illa Anaa, Subhaanii Subhaanii,” dan istilah-istilah lainnya.

Salah satu diantara sekian banyak ungkapan yang dipahami berbeda adalah ungkapan Dzun Nun Al-Mishri, “’Araftu Rabbii Birabbii, Falaulaa Rabbii Lamaa ‘Araftu Rabbii.” Ungkapan ini bisa jadi dipahami berbeda oleh para intelektual muslim. Perbedaan ini sangat wajar oleh karena memang secara redaksi bahasanya yang unik dan mendalam.

Sebagian intelektual muslim memahami ungkapan ini dengan, “Saya mengetahui sebagian rahasia Tuhanku dengan pertolongan Tuhanku, Seandainya tanpa pertolongan Tuhanku, maka pasti aku tidak mengetahui sebagian diantara rahasia Tuhanku.” Pemahaman ini benar menurut perspektif ilmuan muslim yang memahami bahwa manusia seperti apapun kondisinya, tidaklah sempurna. Oleh karena itu, tidak mungkin ia memahami Tuhan yang Maha Sempurna.

Seperti apapun daya dan kemampuan yang dimiliki, tetap saja sufi itu terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin yang terbatas bisa memahami yang “Tak Terbatas”. Dan memang demikian adanya. Yang terbatas tidak akan bisa menjangkau yang tidak terbatas. Karenanya untuk memahami makna “’araftu rabbi”, ditambahkan kata “sir”, yang memiliki makna “rahasia”.

Akan tetapi, pengertian ini agaknya perlu disandingkan dengan pengertian lain dari sudut yang berbeda, mengingat kata “araftu”, yang artinya “mengenal”, memiliki makna yang berbeda dari sekadar kata “’alimtu”, mengetahui.

Kata “’araftu” memiliki makna yang lebih mendalam. Mengenal itu, berbeda dengan mengetahui. Sederhana saja misalnya, “Saya mengetahui Si Fulan”. Tentu ungkapan ini berbeda dengan “Saya mengenal Si Fulan”. Mengenal menuntut adanya hubungan yang lebih “intim”, bila dibandingkan dengan sekadar mengetahui.

Dari sudut pandang yang berbeda, ungkapan Dzun Nun Al-Mishri ini, merupakan ungkapan hati, yakni pengenalan terhadap Tuhan. Artinya dari sudut pandang ini, maka maksud dari ungkapan tersebut adalah “Aku mengenal Tuhanku dengan (pertolongan) Tuhanku, seandainya tanpa Tuhanku, pasti aku tidak pernah mengenal Tuhanku.”

“Pengenalan” di sini merupakan “rasa” yang telah masuk pada relung jiwa, bukan sekadar “mengetahui” dalam bentuk tanda, teori dan kata-kata. Bukan sekadar mengetahui keagungan dan kebesaran-Nya, melalui ilmu pengetahuan tentang sifat Rahman, Rahim, Jalal dan sebagainya. Lebih dari itu, pengenalan pada sifat-sifat Tuhan, keagungan-Nya, menuntut adanya rasa yang dirasakan dalam sanubari para sufi.

Rasa ini, tidak terwakili oleh kata-kata. Kata seolah tidak lagi mampu menjadi “wasilah”, semacam “jembatan” yang menjadi penghubung antara “yang dirasakan” dengan “pengetahuan”. Pengatahuan ini, tidak lagi “terbantahkan” oleh sekadar “teori” yang dibangun berdasarkan indera lahir, maupun argumentasi yang disusun dengan proses “penalaran”. Meminjam istilah Prof. Amin Abdullah, pengetahuan ini tidak lagi mengandung “dualisme kebenaran”. Ia adalah yang benar itu sendiri.

Kondisi ini, terjadi saat seorang telah tersinari dengan petunjuk-Nya, sehingga Ia telah mencintainya. Cinta-Nya diwujudkan dalam bentuk pemeliharaan dan penjagaan, serta pemenuhan terhadap semua yang dimintanya. Itulah makna hadis qudsi, “Dan tidaklah seorang hamba-Ku yang senantiasa mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sampai Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, jadilah Aku pendengarannya saat ia mendengar, jadilah Aku penglihatannya saat ia melihat dan jadilah Aku tangannya saat ia memegang.” Allahu A’lam

Komentar