Ghauts Hadza Zaman




Secara harfiyah ghauts artinya penolong. Hadza Zaman artinya zaman ini. Dengan demikian ghautsu hadza zaman memiliki pengertian penolong di zaman ini/ sekarang.

Sudah menjadi sunnatullah bahwa Allah memiliki kekasih – kekasih pilihan diantara hamba – hambaNya. Dalam islam mereka dikenal dengan nama auliya’ (para wali/ kekasih Allah). Istilah auliya’ dalam islam begitu popular lebih – lebih di Indonesia terutama masyarakat Jawa. Di jawa mereka yang menyebarkan islam pertama di pulau ini dikenal dengan istilah wali songo (wali Sembilan). Mereka tersebar di beberapa wilayah jawa dari jawa timur, jawa tengah sampai jawa barat. Wali songo ini diyakini adalah orang – orang yang memiliki kelebihan khusus yang tidak dimiliki oleh orang pada umumnya. Charisma mereka begitu kuat sehinga pengaruhnya masih tetap dirasakan oleh masyarakat Indonesia khususnya mereka yang tinggal di pulau Jawa.


Diantara para auliya’ kekasih Allah, terdapat satu orang yang memiliki jabatan tertinggi sebagai pemimpin bagi yang lain. Jabatan ini bersifat ruhani sehingga yang mengetahui hanyalah mereka yang sudah masuk dalam wilayah ke ‘walian’. Satu orang ini dalam tradisi illmu tasawuf dikenal dengan nama “Ghauts” atau “Quthbul Aqthab”, dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah “Sulthanul Auliya”.

Disetiap masa seorang yang berpangkat ghauts akan tetap ada sampai mendekati hari kiamat. Jika beliau meninggal dunia aka nada penggantinya begitu seterusnya sampai mendekati hari kiamat. Pengangkatan itu bukan didasarkan atas pilihan manusia melainkan atas pilihan Allah SWT dengan menggunakan jasa kemulyaan dan keagungan rasulullah saw yang menjadi pemegang kunci rahmat seluruh alam.

Diantara shulthanul auliya’ yang masyhur dikalangan umat islam adalah Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, Syaikh Bahaudin al Naqsyabandi, Syaikh Abdus Salam bin Masyisy, Syaikh Tijani dan sebagainya. Mereka masyhur sebagai orang yang menduduki jabatan sulthanul auliya’ di masanya/ zamanya (ghauts fii zamaanihi).

Secara lahiriyah beliau sama dengan manusia pada umumnya. Beliau juga melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas manusia pada umumnya akan tetapi secara ruhani beliau memiliki ciri berbeda sebagaimana disebutkan dalam kitab Jami’ul Ushul fil Auliya’ sebagai berikut;

1.      قَلْبُهُ يَطُوْفُ اللهَ دَائِمًا
2.      لَهُ سِرٌّ يَسْرِيْ فِى الْعَالَمِ كَمَا يَسْرِيْ الرُّوْحُ فِى الْجَسَدِ أَوْ كَمَا يَسْرِيْ الْمَاءُ فِى الشَّجَرِ
3.      وَهُوَ حَمْلُ هُمُوْمِ أَهْلِ الدُّنْيَا

artinya:
1)      Hatinya senantiasa thawaf kepada Allah sepanjang masa
2)      Beliau dikaruniai memiliki sirri – sirri / keistimewaan yang dapat menembus merata keseluruh alam seperti meratanya ruh didalam jasad atau seperti merembesnya air di dalam pepohonan.
3)      Beliau menanggung berbagai persoalan ahli dunia.

Ketiga ciri ini terdapat dalam diri seorang yang berpangkat ghauts. Hati mereka senantiasa thawaf (ingat) kepada Allah dalam keadaan bagaimanapun meskipun dalam keadaan tidur. Sebagaimana rasulullah saw yang pernah ditanya oleh sahabat, ‘yaa rasulalllah apakah anda tidur?’ Beliau menjawab; ‘Kedua mataku tidur tetapi hatiku terjaga’. Terjaga karena hati beliau selalu thawaf kepada Allah SWT untuk memohonkan urusan umat.

Didalam kitab taqriibul ushul disebutkan:

لَوْلَا وَاحِدُ الزَّمَانِ يَتَوَجَّهُ إِلَى اللهِ فِى أَمْرِ الْخَلَائِقِ لَفَجَأَهُمْ أَمْرُ اللهِ فَأَهْلَكَهُمْ (تقريب الأصول)

Artinya; “jika seandainya dalam suatu masa sudah tidak ada ‘waahiduz zaman’ yang senantiasa tawajjuh munajat kepada Allah bagi  perkaranya segala makhluk maka suatu perintah/ adzab Allah akan dating mengejutkan dengan tiba – tiba kemudian membinasakan mereka”.

“Waahiduz Zaman” yang dimaksud disini adalah ghauts hadza zaman atau sulthanul auliya’. Diantara dalil – dalil yang menunjukkan keberadaan ghauts hadza zaman adalah sebagai berikut;

لَاتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ (حديث صحيح رواه الحاكم هن عمر)

Artinya; “Dikalangan umatku senantiasa tidak sepi dari adanya ‘Thaifah’ (kelompok) yang memperjuangkan kebenaran sampai datangnya kiamat”. (Hadis Shahih riwayat al Hakim dari Sayyidina Umar Radliyallahu  ‘anhu)

قِيْلَ الْمُرَادُ بِطَائِفَةٍ أَهْلُ اللهِ وَرِجَالُهُ أَي الْأَقْطَابُ كَمَا فُهِمَ (دعوة التامة ، 23)          

Artinya; “Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘thaifah’ adalah ahlullah dan pemimpin, yakni al ‘aqthaab’seperti sudah difahami” (Da’watut Taammah, h. 23)

اَلْأَقْطَابُ الْمُصْطَلَحُ عَلَيْهِمْ فِيْمَا بَيْنَ الْقَوْمِ لَا يَكُوْنُ مِنْهُمْ فِى الزَّمَانِ إِلَّا وَاحِدٌ وَهُوَ الْغَوْثُ (يواقيت الجزء الثاني ص 6)

Artinya; “Al Aqthaab menurut istilah ahli tasawuf yang berlaku dikalangan mereka, didalam suatu masa tidak ada melainkan hanya satu dari kalangan mereka yaitu ‘al Ghauts’”. ( Kitab Yawaaqiit, juz 2, h 6)

إِذَا مَاتَ الْقُطْبُ الْغَوْثُ اِنْفَرَدَ اللهُ بِتِلْكَ الْخَلْوَةِ لِقُطْبٍ أَخَرَ

Artinya; “Jika seorang Quthbu yang berpangkat Ghauts meninggal dunia maka Allah mengangkat Quthbu lainuntuk mengisi kekosongan itu”

فَلَا يَخْلُوْ زَمَانٌ مِنْ رَسُوْلٍ يَكُوْنُ فِيْهِ وَذَالِكَ هُوَ الْقُطْبُ الَّذِيْ هُوَ مَحَلّث نَظْرِ اللهِ فِى الْعَالَمِ، وَلَيْسَ الرَّسُوْلُ  فِى هَذِهِ رَسُوْلُ التَّشْرِيْعِ وَلَكِنْ رَسُوْلٌ لِتَتْمِيْمِ أَمْرِ دِيْنِهِمْ وَالْوُصُوْلِ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (يواقيت ج ثانى ص 8)

Artinya: “Maka pada suatu zaman tidak sepi dari adanya seorang rasul dan itulah yang disebut ‘Quthbu’ yang merupakan ‘mahallu nadzrillah fil ‘alam’. Yang dimaksud rasul disini bukanlah rasulut tasyri’ yang mengajarkan syariat baru, melainkan rasul untuk menyempurnakan perkara agama mereka dan rasul yang menuntun umat masyarakat wushul sadar kepada Allah wa rasulihi saw”. (Kitab Yawaqiit, jus 2, h.8)
Selanjutnya dikatakan;

وَيَكُوْنُ تَظَاهُرُهُمْ بِالْإِشْتِغَالِ بِالْعِلْمِ الْكَسْبِيِّ حِجَابًا عَلَيْهِمْ لِكَوْنِ الْقُطْبِ مِنْ شَأْنِهِمْ الْخَفَاءُ (يواقيت ج ثانى ص 8)

Artinya; “Dan keadaan lahiriyah mereka para Quthbu adalah dengan isytighal (menyibukkan diri seperti umumnya ulama – ulama lain) dalam bidang ilmu kasbi yakni ilmu syariat, untuk merahasiakan maqamnya, oleh karena setengah daripada sya’nul quthbi itu memang rahasia adanya”.

هَلْ يَكُوْنُ مَحَلُّ إِقَامَةِ الْقُطْبِ بِمَكَّةَ دَائِمًا كَمضا هُوَ مَشْهُوْرٌ؟ فَالْجَوَابُ : وَهُوَ بِجِسْمِهِ حَيْثُ شَاءَ اللهُ لَا يُتَقَيَّدُ بِالْمُكْثِ فِى مَكَانٍ بِخُصُوْصِهِ وَمِنْ شَأْنِهِ الْخَفَاءُ فَتَارَةً يَكُوْنُ حَدَّادًا وَتَارَةً تَاجِرًا وَتَارَةً يَبِيْعُ الْفُوْلَ وَاللهُ أَعْلَمُ (يواقيت ج ثانى ص 81)

Artinya: “Apakah tempat kedudukan Quthbu itu selalu mesti di Makkah seperti dimasyhurkan? Maka jawabnya; ‘Adapun tentang jasad atau pribadi quthbu itu adalah menurut kehendak Allah, tidak ditentukan mesti berada disuatu tempat tertentu. Yang jelas, setengah dari sya’nul quthbi adalah samar (rahasia). Maka sekali tempo ada sebagai seorang pandai, pedagang, ada yang menjual palawija dan lain – lain. Dan Allah yang Maha Mengetahui”. (Kitab Yawaqiit, juz 2, h. 81)

Siapakah ghauts hadza zaman saat ini? Jawabnya hanya Allah Yang Maha Tahu. Akan tetapi bagi seseorang yang menghendaki bertemu dengan beliau ghautsu hadza zaman bisa dengan cara memperbanyak berhubungan ruhani dengan beliau dengan memperbanyak membaca fatihah ditujukan kepada pribadi beliau atau dengan membaca istighasah. Allahu A’lam…..

Komentar