Jumat, 31 Maret 2017

Suara Kemanusiaan



Suara Kemanusiaan


"Buku Rintihan Sang Pujangga"



Judul buku      : Rintihan Sang Pujangga
Penulis             : Kahlil Gibran
Pnerjemah       : Dewi Candraningrum
Penerbit           : Fajar Pustaka Baru
Tahun              : 2003

Saat menyusuri koleksi buku, tiba – tiba pandangan mata saya tertuju pada sebuah buku kecil yang terselip dibalik buku – buku lain yang lumayan tebal. Saya baru sadar bahwa saya memilki satu buku yang sudah tua usianya. Buku itu saya dapat saat bazar buku di kampus IAIN yang dulu masih berstatus STAIN. Saya memperoleh buku ini dengan harga Rp. 14000,00 pada kisaran tahun 2003/2004 saat menempuh jenjang pendidikan S1. Yang pasti dulu saya sudah pernah membacanya sampai  katam. Buku kecil itu adalah karya pujangga istimewa bernama Kahlil Gibran.

Dosa Jariyah?



Dosa Jariyah?

Sebuah pesan messenger masuk pagi ini. Pesan itu berasal dari seorang sahabat yang pernah bersama belajar dalam ruang kelas. Pesan itu menanyakan perihal sebuah artikel dalam media sosial. Berikut pesannya:

Dalam artikel itu tertera pada kalimat terakhir “Dosa Jariyah”. Pertanyaannya apakah benar bahwa ada dosa jariyah? Kalau amal jariyah saya pernah mendengar, tetapi kalau dosa jariyah rasanya masih kali ini saya mendengar.

Lantas bagaimana dengan seorang wanita yang memposting fotonya di media sosial? Apakah hal itu termasuk dosa yang bisa menyebabkan pelakunya mendapat dosa yang mengantarkannya pada kehidupan yang penuh siksa di neraka? Jawabnya mungkin yang paling berhak menjawab adalah para ulama fikih. Saya tidak punya kapasitas untuk hal itu. Tetapi saya hanya akan mencoba untuk mengajukan beberapa persoalan yang mungkin bisa kita jadikan pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara.

Pertama, apakah benar bahwa gara – gara postingan yang dipublikasikan kemudian seorang yang melihat berlaku maksiat menjadikan pemostingnya mendapat dosa? Jika iya bagaimana dengan seseorang yang memposting sesuatu yang baik tetapi karena pikiran yang melihat kotor ia kemudian berlaku maksiat meski postingan itu baik., apa ia tetap mendapat dosa. Contoh wanita cantik yang memakai hijab.

Kedua, jika tidak berdosa, apakah diperbolehkan bagi seornag wanita memposting foto nya padahal suaranya saja adalah aurat?

Ketiga, jika suara seorang wanita adalah aurat, maka bolehkah seorang wanita memperdengarkan suaranya sebagaimana saat ini yang marak baik dalam medsos maupun dalam kehidupan sosial kita. Misalnya dalam kegiatan pengajian, shalawatan dan sebagainya seringkali kita mendengar suara wanita, bahkan sering juga bagian lantunan ayat suci al-Qur'annya adalah wanita. Dosakah ia?

Keempat, jika hanya karena mendengar suara wanita, seseorang bisa berlaku maksiat, apakah wanita itu juga berdosa? Karena seorang yang berpikiran kotor kadang mendengar suara saja bisa digunakan sebagai media pelampiasan hasratnya.

Bila postingannya adalah sesuatu yang seronok yang menggugah sahwat misalnya, mungkin itu bisa langsung kita katakana pelakunya berdosa. Bahkan mungkin sampai ia kembali kepada Allah dan postingannya belum dihapus akan mendapat kiriman (sekali lagi mungkin, karena bukan kapasitas saya). Tetapi bila sudah dihapus dan pelakunya bertobat, insyaallah lain lagi ceritanya.

Yang terpenting di era modern yang serba canggih ini adalah hendaknya kita berhati – hati dalam berbagai persoalan, terutama dengan media sosial. Media sosial memiliki pengaruh positif tetapi pengaruh negatifnya juga lebih banyak. Berapa banyak para remaja yang jatuh pada berbagai kehidupan yang menyimpang disebabkan karena pengaruh media sosial? Nah, inilah yang perlu kita waspadai. Cara penggunaan media yang sesuai dengan syariat yang di syariatkan Allah kepada kita itulah yang harus kita pertahankan. Paling tidak kita tidak terjerumus pada hal yang salah.

Media sosial hanyalah alat yang memfasilitasi kita dalam mengekspresikan diri, baik sebagai seorang individu maupun sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Media sosial bisa mempererat jalinan silaturahmi, tetapi sebaliknya juga bisa menjadi pemutus silaturahmi. Media sosial bisa menjadikan kita sebagai orang yang peka terhadap kehidupan sosial, sebaliknya juga bukan tidak mungkin menjadikan kita sebagai makhluk yang acuh dan cuek terhadap lingkungan. Jadi bagaimana?

Semua kembali kepada penggunanya. Bila penggunanya baik, maka insyaallah media itu akan menjadi sesuatu yang baik dan bermanfaat. Sebaliknya ditangan orang yang buruk, media akan menjadi sarana yang ampuh dalam menyebarkan kehancuran.

Adakah dosa jariyah? Jawabannya saya kembalikan kepada para ulama yang ahli dalam bidangnya. Maaf saya tidak begitu paham dalam urusan ini…

Semoga bermanfaat…
Allahu a’lam…



Jangan Memanggil Rasul Sesukamu



Jangan Memanggil Rasul Sesukamu

Rasulullah SAW adalah manusia pilihan kekasih Allah SWT. Tiada manusia semulia beliau. Beliau memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Allah SWT. Oleh karena itu sebagai seorang mukmin sudah seharusnya menempatkan beliau pada posisi yang sesuai dengan kemuliaan beliau.

Berkaitan dengan hal tersebut salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah menjaga adab saat menjalin hubungan batin/ruhani dengan beliau, termasuk di dalamnya cara memanggil beliau. Cara memanggil Rasul tidak boleh sembarangan sesuai dengan kemauan. Al-Qur’an melarang umat Islam memanggil beliau dengan cara yang sama dengan memanggil yang lain. Dalam Surat al-Nur (24); 63, Allah SWT berfirman:

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا  قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (63)

Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain), Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang – orang yang berangsur – angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya) maka hendaklah orang – orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Q.S. al-Nur (24); 63)

Ayat al-Qur’an di atas menjadi dasar bagi umat Islam untuk tidak memanggil Rasulullah SAW dengan panggilan yang tidak sopan. Para ulama khususnya ulama ahlu al-sunnah wa al-jama’ah sepakat untuk menggunakan panggilan khusus yang memuliakan Rasulullah SAW sesuai dengan kemuliaannya di sisi Allah SWT. Oleh karena itulah para ulama menganjurkan untuk menambahkan kata “Sayyidina” dan “Rasulallah” sebagai wujud ta’dzim kepada keagungan dan kemuliaan kedudukan Nabi Muhammad SAW.

Dalam kitab Sa’adat al-Daraini halaman 373 disebutkan:

فالمقصود من الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم هو تعظيمه مع إظهار احتياجه لله تعالى ورحمته اللائقة بمقامه صلى الله عليه وسلم وإلا فهو غير محتاج لصلاتنا عليه بالكلية بما أفرغه الله عليه صلى الله عليه وسلم من أنواع الكمالات التى لانهاية لها.

Artinya: Sesungguhnya maksud dari membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. hanya ta’dziman atau mengagungkan beliau serta melahirkan kebutuhan beliau kepada Allah SWT dan rahmat-Nya yang sesuai dengan maqam kedudukan keluhuran Rasulullah SAW di sisi Allah SWT. Andaikan tidak demikian, maka Rasulullah SAW sama sekali tidak membutuhkan kepada shalwat kita, karena Allah SWT telah melimpahkan bermacam – macam kesempurnaan kepada beliau yang tidak ada batasnya.

Bershalawat kepada Rasulullah SAW adalah salah satu cara berhubungan secara batin/ruhani kepada beliau. Shalawat kepada beliau harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan maqam dan kemuliaan beliau di sisi Allah SWT. Berdasarkan keterangan di atas apabila seseorang membaca shalawat kepada beliau tetapi tidak menggunakan adab yang baik, tidak dengan mengagungkan beliau, maka Rasulullah SAW tidak membutuhkan shalawat itu, sehingga atsar/pengaruh shalawat yang dibaca tidak ada dalam diri pembaca shalawat. 

Selain itu shalawat bisa digunakan sebagai cara untuk semakin meningkatkan mahabbah kepada Allah SWT sekaligus kepada Rasulullah SAW. Bahkan seseorang yang menghendaki untuk mencintai Allah SWT harus menempuh jalan untuk mencintai Rasulullah SAW. Hal ini sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam kitab “Sa’adat al-Daraini” halaman 530:

أنه صلى الله عليه وسلم محبو ب الله عز وجل عظيم القدر عند الله، وقد صلى عليه هو وملائكته وأمر المؤمنين بالصلاة والسلام عليه صلى الله عليه وسلم فوجبت محبة المحبوب والتقرب إلى الله بمحبته وتعظيمه والصلاة عليه والإقتداء بصلاته تعالى وصلاة ملائكته عليه

Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW itu kekasih Allah SWT yang tinggi kedudukannya di sisi Allah SWT, dan sesungguhnya Allah SWT dan para malaikat-Nya telah bershalawat kepadanya. Maka wajiblah mencintai Allah SWT dan taqarrub/mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mencintai, mengagungkan serta menghaturkan shalawat kepada kekasih Allah SWT dan juga mengikuti shalawat-Nya serta shalawat para malaikat-Nya.

Keterangan di atas semakin memperkuat akan kewajiban seorang mukmin untuk selalu memuliakan beliau Rasulullah SAW sesuai dengan kemuliaannya di sisi Allah SWT. Bahkan siapapun orangnya yang menghendaki untuk mencintai dan mendekat pada Allah SWT sesuai dengan keterangan di atas harus mencintai dan mendekat kepada Rasulullah SAW. Kalau tidak boleh jadi ia tidak akan sampai kepada Allah, melainkan semakin jauh dari Allah SWT. 

Keterangan – keterangan di atas pada hakikatnya merujuk pada kewajiban untuk memuliakan Rasulullah SAW. Shalawat adalah salah satu cara bagi seorang mukmin untuk mengingat dan memanggil Rasulullah SAW. Terlepas darii perbedaan di antara segelintir orang yang berpendapat untuk tidak menggunakan kata “Sayyidina” dalam shalawatnya. Yang jelas apabila kembali merujuk kepada keterangan salaf al-shalih sebagaimana keterangan di atas sudah selayaknya dan sepatutnya umat Islam memuliakan Rasulullah SAW dengan panggilan yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan beliau di sisi Allah SWT.

Fenomena zaman akhir banyak sekali di antara umat Islam yang membaca shalawat tetapi kurang dalam hal adabnya. Membaca shalawat tentu hal baik dan harus di lestarikan dan di tingkatkan. Tetapi hal yang tidak boleh juga di kesampingkan adalah bagaimana adab dalam membaca shalawat. Shalawat seorang muslim sebagaimana keterangan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “Irsyadul Ibad” akan ditunjukkan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda:

إذا صليتم علي فأحسنوا الصلاة فإنكم لا تدرون لعل ذلك تعرض علي. روي عن ابن مسعود  (إرشاد العباد: 62)

Artinya: Ketika kamu sekalian membaca shalawat kepadaku, maka bagusilah bacaan shalawatmu itu. Sesungguhnya kamu sekalian tidak mengerti sekiranya hal tersebut diperlihatkan kepadaku. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud. (Irsyadul Ibad: 62)

Hadits inilah yang menjadi dasar bagi umat Islam untuk memperbaiki shalawatnya kepada Rasulullah SAW termasuk di antaranya adalah dengan menjaga adabnya saat membaca shalawat. Di antara adab membaca shalawat adalah sebagai berikut:

1.      Niat ikhlas semata karena Allah
2.      Ta’dzim dan mahabbah kepada Rasulullah SAW
3.      Hatinya hudlur kepada Allah SWT dan merasa di hadapan Rasulullah SAW
4.      Tawadlu’, merasa butuh kepada pertolongan Allah dan syafaat Rasulullah SAW

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Rabu, 29 Maret 2017

Bila Rajab Ini Adalah Rajab yang Terakhir



Siapkah kita bila rajab ini adalah rajab terakhir kita?

Salah satu bulan yang dimuliakan Allah adalah bulan Rajab. Bulan di mana di dalamnya terdapat peristiwa agung Isra’ Mi’raj Rasulullah Muhammad SAW untuk sowan menghadap kepada Allah untuk menerima wahyu shalat lima waktu. Satu ibadah yang paling penting dalam Islam yang dianggap sebagai tiang agama. 

Saya tidak sedang ingin membahas tentang kemulian bulan Rajab. Sudah banyak para pengkaji dan pembahas bulan Rajab yang tersebar di berbagai media social yang serba canggih semisal whatsap, facebook, twitter, blog dan lain sebagainya. Saya hanya ingin mengajak diri saya khususnya dan para pembaca yang berkenan membaca artikel ini tentunya.

Rajab tahun ini telah tiba. Satu hal yang tidak bisa kita pungkiri bahwa ternyata setahun sudah dari Rajab yang kemarin usia kita sudah berkurang, ingat, bukan bertambah. Banyak orang yang menganggap semakin hari semakin bertambah usianya. Sesungguhnya ini adalah pandangan yang salah. Hidup ini bagaikan kita menempati rumah kontrakan. Semakin kita tempati maka semakin kita sampai pada hari di mana kita harus menambah pasokan upeti. Hanya mereka yang bodoh saja yang mengira semakin panjang.

Sahabat, coba kita merenung, seberapa banyakkah amal yang kita kumpulkan dalam setahun ini? Sudahkah kita memperbanyak amal shalih yang bisa  mengantar kita pada kehidupan yang kekal abadi dan mulia di sisi-Nya? Kalau sekiranya sudah banyak amal shalih kita, coba pikirkan sekali lagi di antara sekian banyak amal shalih itu berapa banyak kira – kira yang memiliki kualitas yang sekiranya dapat diterima oleh Allah SWT?

Sahabat, coba kita renungkan, berapa usia yang telah kita lewati? Dari sekian usia yang telah kita lewati, berapakah usia yang kita isi dengan ketaatan kepada-Nya? Ingat, dalam sehari semalam waktu kita sama, 24 Jam, tidak kurang dan tidak lebih. Siapapun anda, apa jabatan anda, dan seberapa besar pengaruh anda dalam kehidupan masyarakat, waktu kita sama 24 jam. Renungkan, dalam 24 jam itu berapa jam yang anda gunakan untuk berbuat ketaatan kepada-Nya? Bila sudah anda tentukan, lantas pikirkan lagi saat anda melakukan ketaatan kepada-Nya, berapa jam yang di dalamnya anda ingat kepada Allah dan Rasulullah SAW? Masya Allah, ternyata dalam ketaatanpun kita masih lupa kepada Allah dan Rasul-Nya. Betapa dzalimnya kita, seolah taat, nyatanya maksiat. Coba renungkan ayat al-Qur’an, yang artinya; Celakalah bagi orang – orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya?

Sahabat, cobalah kita merenungkan, seberapa lama kita hidup di dunia? Bila hidup kita adalah delapan puluh tahun, tinggal berapa sisa usia kita? Lantas, berapa waktu yang terlewatkan dengan sia – sia dari usia kita?. Renungkan sahabat, dalam sehari berapa jam yang kita gunakan untuk tidur. Padahal apa yang kita lakukan saat tidur? Katakanlah mungkin selama sehari semalam kita tidur 8 jam, berarti dalam satu hari sudah sepertiga yang terlewat dalam hidup kita. Dalam 3 hari sepadan dengan sehari, satu bulan sepadan dengan sepuluh hari yang terlewat tanpa ketaatan kepadanya. Lantas dalam sehari berapa waktu yang kita gunakan untuk senda gurau dan hal – hal yang kurang bermanfaat, menonton tv, bermain bersama teman dan seterusnya. Katakan 5 jam, kalikan dalam waktu satu bulan kemudian setahun ditambah watu untuk tidur, lalu kurangi sisa hidup kita dengannya. Ternyata, kalau kita mau berfikir umur kita tidak seberapa lama. Pantaslah bila orang – orang sepuh kita bilang, urip neng dunyo iki paribasan koyo wong mampir ngombe.

Sahabat, ini sudah bulan Rajab. Bagaimana jika Rajab ini adalah Rajab terakhir untuk kita? Siapkah kita mempertanggung jawabkan semua yang kita perbuat selama ini. Bila semua terlewat begitu saja, bagaimana jawaban kita saat Allah menanyakan  amanah yang Ia berikan pada kita? 

Saat Rajab tiba Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk memperbanyak do’a:

اللهم بارك لنا فى رجب وشعبان وبلغنا رمضان

Artinya: Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan samapaikanlah kami (pertemukan kami) dengan bulan Ramadlan.

Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk memperbanyak memohon kepada-Nya agar kita diberikan barakah (ziyadatul khair filghaib) di bulan Rajab dan Sya’ban hingga kita bisa bersua dengan tamu Allah yang teramat istimewa yang kita nanti – nantikan, Bulan Ramadlan.

Semoga Allah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya kepada kita sehingga Rajab ini menjadi Rajab terbaik yang pernah kita lalui. Semoga kita bisa menjalankan ketaatan kepada-Nya di bulan Rajab ini.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…