Suara Kemanusiaan
"Buku Rintihan Sang Pujangga"
Judul buku : Rintihan Sang Pujangga
Penulis : Kahlil Gibran
Pnerjemah : Dewi Candraningrum
Penerbit : Fajar Pustaka Baru
Tahun : 2003
Saat
menyusuri koleksi buku, tiba – tiba pandangan mata saya tertuju pada sebuah
buku kecil yang terselip dibalik buku – buku lain yang lumayan tebal. Saya baru
sadar bahwa saya memilki satu buku yang sudah tua usianya. Buku itu saya dapat
saat bazar buku di kampus IAIN yang dulu masih berstatus STAIN. Saya memperoleh
buku ini dengan harga Rp. 14000,00 pada kisaran tahun 2003/2004 saat menempuh
jenjang pendidikan S1. Yang pasti dulu saya sudah pernah membacanya sampai katam. Buku kecil itu adalah karya pujangga
istimewa bernama Kahlil Gibran.
Gibran
dianggap sebagai seorang pujangga istimewa karena ia mampu berbicara tentang
segala hal. Dia berbicara mengenai cinta dengan penuh desah – desah mesra, dia
berbicara penderitaan dengan tangis pilu, dan berbicara kehidupan dengan
pandangan yang begitu jernihnya.
Buku
ini memiliki ketebalan 140 halaman, dengan ukuran kertas yang relative kecil. Judul
buku ini diambil dari salah satu judul artikelnya yang terdapat di dalam buku
ini tepatnya pada bagian pertama.
Dalam
buku ini tampak bagaimana Gibran memiliki kepedulian yang luar biasa pada sisi humanisme.
Ia adalah sosok yang memiliki empati kepada nasib sesamanya. Ia menggambarkan
kepeduliannya itu dalam sebuah paragraph.
“Kekuatan
kemurahan hati bersemai di dalam relung – relung hatiku. Aku tuai biji – biji gandum.
Aku menghimpunnya, mengikatnya, buat kubagikan pada mereka yang kelaparan.”
Paragraph
di atas seolah ingin menggambarkan kepribadian seorang Gibran yang menaruh
perhatian pada kehidupan humanis. Ia melihat banyak orang yang kelaparan karena
ketiada mampuan mereka untuk memenuhi kebutuhannya. Kerja yang mereka lakukan
tidak membuahkan hasil yang sesuai dengan kebutuhan sehingga keadaan ini
memaksa mereka untuk menahan diri dengan berlapar dan dahaga.
Gibran
juga menggambarkan bahwa manusia cenderung hidup dalam gemerlapnya kehidupan
dunia yang profan. Konflik dalam kehidupan manusia lebih dikarenakan adanya
perbedaan kelompok dan berbagai kepentingan dunia. Terkadang untuk meraih
sebuah kemenangan seorang harus memangsa dan menerkam yang lainnya. Inilah yang
mengusik hati nurani yang tercerahkan dengan sinar ketuhanan sehingga ia
merintih, menangis dan memprotes keadaan. Gibran menangis karena kemanusiaan
telah begitu kotor dilumuri oleh debu – debu zaman, manusia telah disibukkan
oleh persoalan – persoalan profane kemanusiaan.
Kebanyakan
manusia mengalami kebobrokan dalam moralnya. Rusaknya mental telah menyebabkan
mereka tertutup mata hatinya sehingga ia hanya berfikir untuk kepentingan
dirinya sendiri, kalau toh ia harus memikirkan orang lain, semua itu akan
dibatasi oleh sekat – sekat lokalitas yang parokal.
Menurutnya
seharusnya humanisme adalah nilai universal yang harus diperjuangkan, karena
itu dimensi yang memperlihatkan keistimewaan kita sebagai manusia. Manusia dibekali
Tuhan dengan akalnya, yang dengan akal tersebut ia mampu untuk menjadi manusia
sempurna sebagai khalifah fil-ardli.
Gibran
menginginkan adanya kesetaraan dalam kehidupan sosial. Tidak ada sekat yang
menjadikan jarak antara yang satu dengan lainnya. Ia mengatakan, “Engkau adalah
persamaanku karena kita tawanan dari dua tubuh yang diciptakan dari tanah yang
sama.”
Sejatinya
manusia memang memiliki kedudukan yang sama antara yang satu dengan lainnya. Dihadapan
Tuhan, maka hanya satu yang membedakan yang tingkat ketaqwaannya. Kepatuhan
seseorang dalam menjalankan seluruh perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya
akan menjadi tolok ukur seberapa tingkat kemuliaannya di hadapan Tuhan.
Gibran
ingin mengetuk nurani kita agar menjadi
nurani yang peka terhadap nasib sesame. Tidak perlu membeda – bedakan antara
satu dengan yang lain, karena semuanya memiliki kedudukan yang sama di
hadapan-Nya.
Semoga
bermanfaat…
Allahu
A’lam…
Komentar
Posting Komentar