Ternyata Saya Salah



Ternyata Saya Salah

Saat – saat menjadi mahasiswa adalah masa yang sarat dengan pemikiran idealis. Hampir semua mahasiswa beranggapan bahwa mereka adalah makhluk tercerdas di antara yang lain. Rasa keingin tahuan yang tinggi kepada hal – hal baru dan menantang seolah menjadi hal yang tak terpisahkan dan melekat dalam diri mahasiswa. Begitu juga apa yang saya alami waktu itu.



Saat menjadi mahasiswa ambisi saya untuk mengetahui berbagai hal serasa bagaikan amunisi yang siap untuk meledak. Keinginan untuk menggali berbagai hal selalu menyala dalam sanubari. Itulah sebabnya seringkali saya menghabiskan waktu untuk membaca berbagai literatur sampai larut malam. Saya juga sering aktif dalam berbagai kegiatan diskusi di mana saya bisa mengadu gagasan, ide, teori dan seabrek hal yang saya dapatkan baik selama kuliah, selancar bersama literatur dan sebagainya. Seringkali juga saya mempengaruhi sahabat, teman dan handai tolan dengan gagasan dan ide yang saya miliki. Bahkan saat menjadi mahasiswa saya memelopori sebuah forum diskusi yang alhamdulillah boleh dikatakan istiqamah sampai akhirnya saya harus kembali ke tanah kelahiran di desa terpencil di kawasan Blitar.

Tentu masa – masa kuliah menjadi masa yang sangat indah –setidaknya bagi saya, untuk ajang berproses memperoleh pengetahuan dalam menyiapkan kehidupan di masa yang akan datang. Saya juga ikut bergabung dalam dunia pergerakan, namun mungkin saya bukanlah orang yang ahli dalam bidang leadership sehingga mungkin saya lebih tertarik dalam bidang kajiannya. Ya mungkin itu jiwa saya. Saya hampir selalu aktif dalam setiap acara kajian yang diadakan oleh kegiatan mahasiswa.

Hari – hari saya habiskan untuk membaca literatur, dari pagi, siang sampai larut malam. Saya menumbuhkan keinginan dalam diri paling tidak dalam seminggu dua buku harus habis saya baca dari awal sampai akhir. Maklum, dorongan ini mungkin muncul karena saya adalah mahasiswa yang kurang mampu membeli buku, tidak seperti teman yang lain. Jangankan untuk membeli buku, untuk menopang kebutuhan makan dan minum sebagai seorang yang menuntut ilmu boleh dibilang masih kurang. Tetapi saya tetap bersemangat untuk kuliah, apalagi kalau mengingat perjuangan kedua orang tua dan kakak saya satu – satunya yang tidak bisa merasakan bangku sekolah atas apalagi kuliah karena keterbatasan kemampuan kedua orang tua. Meski demikian saya tetap bersyukur dan bahkan sangat bersyukur memiliki orang tua dan saudara – saudara yang sangat hebat bahkan kelewat hebat ini.

Kepercayaan kedua orang tua dan kakak saya ini tidak saya sia – siakan. Saya berusaha terus dengan segenap kemampuan yang saya miliki hingga akhirnya saya bisa lulus tepat waktu, bahkan beberapa bulan lebih cepat dari yang lain. Orang tua saya tidak pernah menuntut saya untuk menjadi seorang pejabat, guru atau yang lain. Pesan beliau saat mau berangkat kuliah, “Belajar sing tenanan, niat dherek perintahe gusti Allah, ora masalah dadi opo, sing penting niat thalabul ilmi, ndherek perintahe Allah, perkoro dadi opo kui wis enek sing ngatur”. Itulah pesan orang tua yang selalu teringat dalam diri saya.

Kehausan akan ilmu pengetahuan membuat saya kuat untuk menghadapi berbagai ujian yang diberikan Allah. Bisa dibilang saya adalah mahasiswa yang tidak pernah jajan, bukan karena tidak mau, lebih karena tidak ada yang dipakai untuk jajan. Kegemaran saat kuliah adalah membaca. Hampir tiap ada waktu senggang saya gunakan untuk membaca, baik saat dikampus dengan mengunjungi perpustakaan maupun saat di pondok. Sayangnya, saya adalah orang yang paling malas untuk menulis. Saat itu saya beranggapan bahwa menulis itu menghabiskan waktu. Seringkali, saat berkesempatan diskusi atau sekedar ngobrol dengan teman “Dimensi”, majalah kampus, mereka menyarankan agar saya menulis. Tetapi selalu saja saya menganggap bahwa menulis kurang penting dan menyita waktu.

Ternyata, saya salah. Saya baru menyadari betapa pentingnya menulis saat saya mulai bergelut dengan dunia kampus untuk kesekian kalinya. Saya merasakan betapa ternyata kemampuan menulis itu menjadi sesuatu yang penting dan harus dimiliki oleh siapa saja yang bergelut dalam dunia akademik. Memang kemampuan oral dalam menyampaikan ide, gagasan penting, tetapi pengaruhnya tidak sehebat menulis. Oral berpengaruh ketika kita ada, bagaimana ketika kita tidak ada? Tulisanlah yang akan lebih besar pengaruhnya dalam menyampaikan gagasan dan ide. Meski kita tidak berada di tempat, gagasan dan ide kita masih tetap bisa berpengaruh ketika tulisan itu ada. Tidak berlebihan ketika Dr. Ngainun Naim, M.Ag. mengatakan “Write or Die”. Itulah kenyataan yang harus di akui.

Semoga kesadaran ini belum terlambat. Artinya, mudah – mudahan saya bisa lebih banyak belajar menulis lagi daripada kemarin. Ya, musti saya akui, tulisan saya masih jauh dari kata “berkualitas”, tetapi saya yakin seiring perjalanan waktu semua akan membaik. Itu saja.

Semoga bermanfaat...
Allahu A’lam...

Komentar