Menggugat Keummiyan Nabi Muhammad SAW
Sudah
menjadi rahasia umum bagi kalangan muslim bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi
panutannya adalah seorang nabi yang ummi. Kata ummi umumnya diartikan sebagai
ketidak mampuan nabi dalam membaca dan menulis.
Para
ulama salaf dan umumnya kyai pesantren banyak yang beranggapan sebagaimana
pandangan di atas. Mereka berargumen bahwa keadaan nabi yang ummi, tidak
memiliki kemampuan membaca dan menulis semakin menunjukkan keotentikan dan
kemurnian al-Qur’an sebagai kitab suci.
Ini
wajar, karena tidak mungkin bagi seorang yang tidak bisa membaca dan menulis
mencipta dan mengarang kitab suci sebagaimana al-Qur’an. Kitab yang sampai
detik ini belum ditemukan karya sastra yang mampu menandinginya. Setidaknya
inilah yang dijadikan argument oleh para ulama utamanya salaf shalih dan kyai
pesantren tentang keummian Nabi Muhammad SAW.
Berbeda
dengan pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
seorang yang buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Aksin Wijaya
mengajukan satu argumen yang -menurut saya, menarik untuk dicermati dan paling
tidak bisa menjadi bahan rujukan yang berbeda dari pendapat pada umumnya.
Dalam
bukunya “Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an”, ia mengatakan bahwa argumen
yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi yang buta huruf,
tidak bisa membaca dan menulis, dan belum pernah membaca kitab – kitab umat
terdahulu adalah satu argumen yang sesungguhnya merendahkan kredibilitas Nabi
Muhammad SAW. sebagai seorang nabi dan rasul yang dibekali oleh sifat
fathanah/cerdas.
Aksin
Wijaya mengatakan, “Logika berpikir yang mengartikan “Nabi yang ummi” sebagai
yang buta huruf menurut saya justru merendahkan Muhammad sendiri, dan juga
merendahkan nilai al-Qur’an sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan. Bukankah
nilai al-Qur’an sebagai wahyu ilahi itu akan lebih mulia andaikata ia
diturunkan pada manusia yang sempurna, yang bukan hanya pandai beretorika,
menghafal, tetapi juga membaca dan menulis.”
Beliau
mengatakan bahwa untuk menolak tuduhan – tuduhan orang kafir terhadap nabi,
tidak selayaknya menggunakan logika yang justru merendahkan Nabi Muhammad SAW. Fakta
bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang dibekali kecerdasan akal yang
sempurna oleh Allah merupakan fakta yang tak terbantahkan oleh siapapun.
Sebagai
misal adalah saat – saat beliau mengalami kesulitan karena hijrahnya dari
Makkah ke Madinah. Saat tiba saja telah terjadi peristiwa yang boleh jadi bila
tidak diselesaikan dengan cara cerdas akan berbuntut pada pertumpahan darah.
Saat
Rasul tiba di Madinah, semua orang ingin agar Rasul tinggal di rumahnya. Namun,
kecerdasan Rasul mengambil sebuah solusi yang bijak dan tidak menyakiti
siapapun dengan mengatakan bahwa di mana unta beliau berhenti, maka di situlah
beliau akan tinggal. Sungguh satu kecerdasan yang luar biasa. Coba saja
seandainya beliau langsung memutuskan bahwa beliau akan tinggal di rumah si
Fulan, tentu akan banyak orang yang merasa dikecewakan oleh keputusannya itu.
Tidak
hanya itu beliau juga mengambil solusi tepat saat dihadapkan pada situasi
sulit. Situasi di mana beliau tinggal di tempat baru, di satu sisi ada
muhajirin Makkah yang merupakan pengikut setianya selama di Makkah, ada
penduduk anshar yang telah menolong mereka dan ada suku – suku dan kabilah yang
tinggal di Yatsrib, kala itu yang sering terlibat dalam baku hantam dan saling
serang.
Sungguh
satu situasi dan kondisi sulit yang menuntut beliau agar mengambil tindakan
bijak dan penuh kecerdasan. Akhirnya beliau berinisiatif untuk membuat
perjanjian yang kemudian hari dikenal dengan Piagam Madinah.
Nah,
fakta – fakta sejarah yang tak terbantahkan ini, merupakan bukti kecerdasan
Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya semakin memustahilkan keummiyan, “kebuta
hurufan”, beliau sebagai Rasul Allah.
Lantas
bagaimana dengan dialog yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW saat beliau
ditemui oleh Malaikat Jibril di Gua Hira? Bukankah riwayat menunjukkan bahwa
beliau menjawab perintah Malaikat Jibril dengan mengatakan, “Ma Aqra’”
atau “Ma Ana biqariin”. Bukankah semua itu menunjukkan keummiyan Nabi
Muhammad SAW?
Pak
Aksin mengajukan argumen atas dialog ini. Beliau mengatakan bahwa kedua kata
ini bukan mengandung naïf, melainkan istifham. Jika diartikan sebagai istifham
maka kedua kata ini akan menunjuk pada arti, “Apa yang harus saya baca?”
Beliau
menambahkan bahwa sebagai seorang yang manusia sempurna yang memiliki kemampuan
membaca dan menulis, pemaknaan demikian juga dikarenakan di dalam dialog
tersebut, sang komunikator, roh al-Amin tidak memberikan teks kepada Nabi
Muhammad SAW untuk dibaca. Karena tidak adanya teks yang harus dibaca maka
Rasul menanyakan perihal apa yang harus beliau baca.
Lantas,
apakah dengan tidak mengartikan kata “ummi” sebagai buta huruf, tidak lantas
mengurangi keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang bersih dari campur
tangan manusia karena diturunkan pada nabi yang cerdas dan bisa membaca dan
menulis? Jawabnya tentu tidak. Al-Qur’an memiliki dimensi kemukjizatan
tersendiri yang karena kemukjizatannya itulah ia mampu mengalahkan musuh –
musuhnya bahkan dengan surat terpendek yang terdapat di dalamnya.
Kemukjizatan
al-Qur’an juga tercermin dari tantangan yang diberlakukannya kepada para
penentangnya untuk membuat satu surat semisal al-Qur’an dengan mendatangkan
semua para penolongnya selain Allah. Dan nyatanya, sampai saat ini belum atau
bahkan tidak akan pernah ada seorangpun yang mampu menjawab tantangan al-Qur’an
itu.
Nah,
oleh karenanya untuk menunjukkan keotentikan al-Qur’an tidak perlu menggunakan
argumen yang justru merendahkan kredibilitas Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah
seorang Rasul yang dibekali dengan kesempurnaan akal dan kecerdasan. Sebagai
umat Islam harus tetap menjaga kredibilitas dan menempatkan beliau sebagai
pribadi Agung yang dilebihi kelebihan di atas yang lainnya, baik dari sisi
dhahirnya, bathinnya, fisiknya, kesempurnaan akal kecerdasannya dan lain
sebagainya.
Disinilah
sesungguhnya nilai dari penghormatan dan pengagungan kepada Rasul sebagai
utusan Allah SWT. Lantas bagaimana dengan anda? Apakah anda masih tetap
bersikukuh dengan pendapat yang mengatakan tentang kebuta hurufan Nabi Muhammad
SAW atau mencoba bergeser pada pemahaman baru sebagaimana yang ditawarkan oleh
Pak Aksin Wijaya.
Terlepas
dari berbagai perbedaan dan perselisihan yang ada, yang jelas al-Qur’an adalah
kitab suci yang tetap pada keotentikannya. Rasulullah Muhammad SAW adalah nabi
panutan kita yang memiliki keagungan dan kesempurnaan melebihi yang lain dalam
semua hal termasuk di dalamnya dalam hal kecerdasannya. Terlepas dari mereka
yang mensyaratkan kemampuan membaca dan menulis sebagai syarat kecerdasan,
maupun orang yang tidak mensyaratkannya.
Semoga
bermanfaat…
Allahu
A’lam..
Komentar
Posting Komentar