Tanda Seseorang yang Bersandar pada Amalnya
(Kajian Tasawuf Putaran-1 Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)
Sore ini tepatnya di kantor Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung
suasana tidak seperti biasanya. Bila pada Jum’at biasanya para pengelola
mengadakan rapat koordinasi untuk membahas agenda kegiatan Ma’had al-Jami’ah
dan hal – hal lain terkait ke-Ma’hadan, hari ini nampak suasana yang agak
sedikit santai tetapi tetap serius. Isltilah lain yang mungkin bisa mewakili
adalah santai tapi juga tetap ada nuansa keseriusan.
Kajian tasawuf putaran-1, satu agenda yang sebenarnya belum
terpogramkan oleh Ma’had al-Jami’ah, tetapi hari ini dimulai dan dijalankan. Kajian
ini diikuti oleh seluruh murabbi yang tidak ada jadwal mengajar dan juga para
musyrifah yang tidak memiliki jadwal kuliah di siang hari Jum’at selepas
menunaikan shalat Jum’at. Kajian ini dilaksanakan untuk merespon keinginan
beberapa orang dosen tetap bukan PNS yang memiliki minat untuk menekuni bidang
ketasawufan. Bertindak sebagai pemateri dalam kesempatan ini adalah sahabat
Abdullah Syafik, dosen muda potensional dari jurusan Ushuludin Adab dan Dakwah.
Pada kesempatan sore ini tema yang diangkat adalah “Tanda
Seseorang yang Bersandar pada Amalnya”. Dalam dunia tasawuf bersandar pada amal termasuk hal yang
semestinya di jauhi oleh para sufi. Penyandaran seseorang pada amal/usaha yang
dilakukan merupakan tanda adanya unsur ketidak ikhlasan yang ada pada diri
seorang sufi. Al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah al-Sakandariy, pengarang kitab al-hikam
menyebutkan:
من علامة
الإعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل
Artinya: Sebagian di antara tanda bahwa seseorang masih
bersandar pada amal/usaha adalah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan.
Salah satu tanda bahwa seseorang masih menaruh harapan dan
mengandalkan usaha yang ia lakukan adalah berkurangnya harapan ketika ada
kesalahan. Dalam beramal seharusnya kita menyandarkan semuanya kepada Allah dan
bukan kepada yang lainnya. Apa yang kita peroleh dan apa yang kita rasakan
semua itu adalah pemberian dari Allah semata dan bukan karena yang lain.
Allahlah tempat kita bergantung. Dialah Dzat Yang Maha di atas
segala maha. Yang memberi kehidupan, mematikan, menciptakan dan menghancurkan. Semua
amal perbuatan seharusnya dilaksanakan semata karena Allah, ikhlas lillahi ta’ala.
Akan tetapi nyatanya untuk mencapai hal tersebut tidak semudah yang
kita bayangkan. Perjalanan menuju wushul kepada Allah merupakan perjalanan
panjang yang penuh dengan liku – liku. Perjalanan ini penuh dengan tantangan
dan godaan. Apabila seorang yang menempuh perjalanan menuju kepada Allah ini
berhenti pada satu titik, maka ia tidak akan sampai kepada Allah SWT.
Semua orang pada hakikatnya bisa mencapai wushul kepada Allah,
hanya saja ada benang tipis yang menjadi penghalang, yang menyebabkan ia tidak
sampai kepada Allah SWT. Penghalang itu dalam dunia sufi dikenal dengan istilah
hijab.
Hijab dalam perjalanan menuju kepada Allah dibagi menjadi dua
macam, yaitu hijab dzulmah dan hijab nur. Hijab dzulmah adalah
penghalang menuju kepada Allah yang berupa kegelapan. Gelap dalam arti bahwa perbuatan
yang kita lakukan adalah perbuatan yang nyata – nyata merupakan perbuatan
maksiat kepada Allah SWT, seperti misalnya kita mencuri, berbohong, ghibah,
mencaci orang lain dan sebagainya. Hijab ini relative mudah dikenali karena
berupa hal yang memang secara lahiriyah tampak nyata bahwa hal itu adalah satu
bentuk kemaksiatan kepada Allah, hal yang bertentangan dengan syariat yang di
ajarkan oleh agama. Ibarat kita berada dalam kegelapan, maka kita sadar bahwa
kita sedang dalam kegelapan, maka kita akan mencari lentera atau lampu yang
bisa menerangi kita sehingga jalan akan menjadi terang.
Lain halnya dengan hijab nur. Hijab ini sulit dikenali oleh
kebanyakan salikin. Oleh sebab itu bagi seorang yang menghendaki
perjalanan wushul kepada Allah biasanya harus mencari seorang guru yang imannya
telah kamil dan mampu men-takmil-kan iman muridnya. Bila tidak,
maka di khawatirkan ia akan terjerumus kepada jalan yang salah.
Hijab nur adalah pengahalang hati menuju wushul yang kelihatannya
terang. Ibarat kita berada di bawah terangnya cahaya, maka menurut kita
penghalang itu tidak ada, padahal penghalang itu sebenarnya ada. Hijab ini
biasanya di alami oleh para ahli Ibadah dan ahli ilmu.
Seorang mungkin saja beramal dengan amalan yang sangat banyak,
bahkan amal yang diperbuatnya itu bukannya menjadikan dia dekat dengan Allah,
tetapi sebaliknya justru hal itu menyebabkan ia semakin jauh dari Allah SWT.
Boleh jadi seseorang telah dibuka asrarnya oleh Allah, baik itu asrar
kauniyah maupun maknawiyah, tetapi boleh jadi hal itu bukanlah tanda
bahwa ia dekat dengan Allah. Mengapa demikian? Hal itu karena ia tidak
menyadari akan keterjerumusannya kedalam maksiat hati yang sangat lembut.
Semakin seseorang dekat dengan Allah, maka setan yang menggodanya
semakin hebat. Amal yang tidak betul – betul ikhlas karena Allah akan
menjadikan amal itu tidak ada artinya di hadapan Allah SWT. Ke-ampuhan seseorang
yang tampak oleh pandangan mata yang terkadang dianggap oleh masyarakat awam
sebagai karomah tidaklah menjadi jaminan bahwa orang tersebut dekat dengan
Allah, mungkin sebaliknya. K.H. Imron Jamil pernah membuat contoh dalam hal
ini, ibarat ada seorang anak yang saat orang tuanya menerima tamu, anak
tersebut ramai dan bergurau di dekat orang tuanya, orang tuanya merasa “grisenen”.
Karena orang tuanya tahu bahwa ia ramai di situ karena ingin makanan yang
disajikan kepada tamu, maka ia ambil makanan itu dan diberikannya kepada anak
sembari berkata, “Wis kono gek ngaleh”. Pemberian ini bukan karena
senang dan ridlanya orang tua, tetapi karena mangkelnya orang tua yang merasa
terganggu dengan ulah sang anak.
Seorang yang terus beribadah kepada Allah, tetapi hatinya tidak
ikhlas kepada Allah SWT dengan semurni – murninya, sesungguhnya Allah tahu apa
yang ada di balik niatan hamba-Nya. Karena tahu bahwa niat hatinya tidak ikhlas,
Allah justru tidak ridla, maka segera Allah berikan apa yang ia minta, sehingga
akhirnya seolah pemberian itu hanyalah istidraj, penglulunya Allah SWT.
Al-Syaikh Abdul Wahab al-Sya’rani juga mengingatkan kepada salikin
mengenai daqaiq al-riya’ yang bisa menjadikan seseorang rugi dengan amal
yang telah dikerjakannya. Beliau menerangkan tentang hal tersebut dalam kitab “Minah
al-Saniyyah”, beliau mengatakan bahwa seringkali pelaku daqaiq al-riya’
ini justru tidak menyadari akan kesalahannya. Nah, disinilah pentingnya seorang
penbimbing dalam menuju wushul kepada Allah. Bahkan beliau secara tegas
mengatakan dalam kitab “al-Anwar al-Qudsuyah”,
المريد
إذا مات شيخه وجب عليه اتخاذ شيخ أخر يربيه
Artinya: Seorang murid, ketika syaikh (guru ruhani/mursyid)-Nya
meninggal, wajib baginya mengambil (mencari) syaikh lain untuk membimbingnya.
Seorang syaikh akan membimbing muridnya agar ia tidak terjerumus ke
jalan yang salah saat menapaki perjalanan wushul menuju Allah SWT. Tanpa
bimbingan syaikh al-kamil yurabbihi sulit rasanya seseorang untuk
sadar/wushul kepada Allah.
Termasuk di antara hal yang harus di waspadai bagi salikin adalah
bersandar pada amal. Artinya menganggap bahwa amallah yang menyebabkan dirinya
bisa lebih dekat dengan Allah, mejadikan dia memiliki kedudukan sebagai walinya
Allah. padahal, semua itu hakikatnya adalah pemberian dari Allah SWT.
Secara akal, ya memang seseorang akan diangkat derajatnya karena
amalnya, tetapi pada hakikatnya ia diangkat derajatnya karena rahmat dan kasih
sayang Allah. Sebanyak apapun amal yang dilakukan pada dasarnya itu terjadi
semata karena fadlal dan rahmat-Nya Allah. Tanpa fadlal dan rahmat Allah maka
seseorang juga tidak bisa melakukan apa – apa. Oleh karena itu sesungguhnya
amal yang dilakukan itu dalam pelaksanaannya juga di dasari dengan billah,
disadari betul bahwa ia bisa melakukan hal itu semata karena fadlal Allah,
bukan karena kemampuan yang ada pada dirinya.
Orang yang masih bersandar pada amalnya, otomatis di dalam dirinya
masih ada “ego/ananiyah”, nafsu ke aku – akuan. Merasa bahwa dirinya
bisa beribadah, merasa bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu, padahal hal ini
tidak diperbolehkan. Nah, karena masih adanya rasa ke-aku-akuan inilah,
seringkali pelaku amal tersebut merasa berkurang harapannya ketika ia terjatuh
kedalam kesalahan seperti berbuat maksiat. Inilah yang harus dihilangkan,
menyandarkan pada diri bukan pada Allah SWT. Seharusnya yang dilakukan adalah
menyandarkan semua itu hanya kepada Allah (Billah).
Tetapi yang perlu dicatat ini adalah sifat yang tertanam dalam
hati, bukan pada tataran dlahir. Jadi keyakinan hati semua harus billah, tidak
di aku. Maka Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah bin Ibrahim bin Ibad
mendawuhkan bahwa:
الإعتماد
على الله تعالى نعت العارفين الموحدين والإعتماد على غيره وصف الجاهلين الغافلين
Artinya: Bersandar kepada Allah adalah sifat orang ‘arifin yang
mengesakan Allah, sedangkan bersandar pada selain Allah adalah sifat orang –
orang bodah yang lupa (akan mengingat Allah).
Semoga kajian tasawuf putaran-1 bisa bermanfaat terutama dalam
mengembangkan IAIN Tulungagung menuju kampus dakwah dan peradaban. Kampus yang
sarat dengan kekayaan intelektual, namun tetap berpegang pada ajaran salaf al-shalih
‘ala ahli al-sunnah wa al-jama’ah. Buktinya, termasuk dengan pengembangan
kajian – kajian kutab al-turats di lingkungan kampus IAIN Tulungagung.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar