Trauma



Trauma???

Roda kehidupan tak selamanya menempatkan kita pada posisi di atas. Ada kalanya kita berada di atas, di samping bahkan berada di bawah. Ya, itulah sisi kehidupan yang tak mungkin bisa ditolak ataupun dihindari oleh siapapun dan di manapun Allah berkehendak. Saat berada di atas, janganlah kita menjadi angkuh dan lalai terhadap nikmat yang Allah berikan pada kita, pun pula sebaliknya saat berada di bawah tidak sepatutnya kita merasa terpuruk secara berlebihan. Ingat, semua hanyalah menjalankan scenario dari Yang Maha Kuasa, Allah, Dia-lah Dzat yang berkehendak dan kehendak-Nya mutlak tak satupun yang mampu menolak dan menghindar darinya.



Kegagalan dalam meraih sesuatu dalam kehidupan ini seringkali menyisakan masalah pada diri seseorang. Rasa larut dalam kesedihan dan penyesalan seolah menjadi momok yang selalu menghantui setiap orang yang sedang jatuh dalam keterpurukan, meninggalkan rasa trauma, khawatir bila hal itu terulang kembali dalam kehidupan. Tidak jarang seorang yang terlalu larut dalam rasa sedih dan trauma ini mengalami stress berkepanjangan bahkan berujung pada upaya mengakhiri hidup dengan menenggak racun, terjun bebas dari atas ketinggian dan sebagainya.

Kallaa…/jangan begitu. Sisi manusiawi memang tidak bisa dilepaskan dari dalam setiap diri manusia. Mengapa? Karena itu adalah kodrat dari yang Maha Kuasa. Susah senang adalah keadaan yang akan saling berkelindan dalam diri setiap manusia. Silih berganti seiring dengan perjalanan waktu yang mengungkap setiap tabir rahasia takdir Tuhan semasa azali. Satu persatu semua terungkap tanpa ada lagi yang tersimpan. Baik buruk hanyalah sebatas penilaian yang kerap kali berisifat subyektif dan relatif. Bukn sebuah hal yang mesti ditakuti atau mesti meninggalkan trauma.

Mengapa trauma bisa terjadi? Trauma bisa terjadi karena kurangnya kesadaran dan penyandaran kita pada Dzat Yang Maha di atas segala Maha. Trauma terjadi karena adanya ego yang masih menguasai diri kita. Ego yang ingin dipandang, diakui, dimengerti, diikuti dan seterusnya. Mustahil tanpa ego muncul sebuah trauma pada diri seorang anak manusia. 

Memang setiap manusia tidak akan bisa bebas dari ego. Ego adalah makhluk yang dititahkan Allah untuk kendaraan manusia agar memiliki sifat dinamis, kreatif, progressif dan seabrek sifat positif yang lain. Tetapi itu bila ego memang mampu dimanfaatkan manusia sebagai kendaraan dalam hidupnya. Dalam bahasa agama biasanya ego yang telah mampu dikendalikan ini disebut dengan nafsu muthmainnah.

Jika egi bisa dikendalikan, maka nilai positif yang kemudian muncul dalam diri manusia, tetapi sebaliknya jika manusia yang dikuasai egonya karena memperturutkan segala keinginannya, maka lain lagi ceritanya. Manusia yang dikuasai oleh ego akan berbuat semaunya, sekehendaknya sehingga seringkali menjerumuskan pelakunya pada perilaku yang negatif. Bila mengalami kegagalan maka yang muncul dalam dirinya adalah rasa penyesalan, kesedihan, stress berkepanjangan bahkan tidak jarang menyisakan trauma yang mendalam.

Untuk menghindarkan diri dari trauma maka seseorang harus menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah, Dzat Yang Maha di atas segala Maha. Ialah yang berkuasa atas setiap apa yang terjadi dalam kehidupan. Memang kita punya keinginan, tetapi ingatlah bahwa Dia-lah yang mengambil keputusan. Dia Maha Tahu apa yang kita butuhkan. Ia memberi bukan karena mengetahui keinginan kita, tetapi Ia memberi karena Ia tahu kita sedang butuh.

Sahabat, jika kita bisa bersandar kepada-Nya maka semuanya akan menjadi indah. Kita tidak akan protes terhadap apa yang terjadi dalam kehidupan ini. Apa yang sesuai dengan keinginan dan harapan kita syukuri, apa yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan kita, kita sadari itu adalah jari jemari kasih sayang Tuhan yang ingin merengkuh kita. Tidak ada rasa kecewa, sedih, marah dan trauma, semua berjalan sesuai dengan keinginan-Nya. Inilah hal yang mengagumkan dari seorang mukmin. Bukanlah hadits Rasul telah jelas, “Betapa mengagumkannya urusan seorang mukmin, ketika ia menerima nikmat, ia bersyukur, ketika menerima ujian ia bersabar”. Maka cobalah koreksi diri kita kala menghadapi berbagai peristiwa dalam kehidupan, adakah kita sebagai mukmin yang sesungguhnya ataukah sebaliknya, seolah mukmin tetapi (maaf) berjiwa “kafir”. Inilah sindiran al-Qur’an bagi mereka kaum munafiqun yang antara dzahir dan batinnya saling bertentangan.

Ya, memang menundukkan ego agar menjadi muthmainnah bukan perkara mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Dengan terus ber-mujahadah, berusaha untuk melakukan tazkiyah al-nafs, penyucian jiwa, maka seseorang akan mampu mencapai hal nafsu al-muthmainnah. Itulah mengapa para masyayikh kita senantiasa menyarankan kepada kita untuk memperbanyak koreksi diri, memperbanyak istighfar dan memperbanyak shalawat kepada baginda agung Rasulullah SAW.

Saudaraku, mungkin kita pernah mengalami trauma dalam kehidupan ini oleh karena perilaku seseorang yang kita anggap melukai diri. Tetapi ingatlah, jangan engkau membenci dia, karena boleh jadi meski apa yang dilakukannya adalah karena kasih sayang-Nya padamu. Dia hanya menjalankan titah Allah untuk menjadikanmu sebagai pribadi yang lebih baik, dewasa, dan matang melebihi sebelumnya. Ambillah sisi positifnya, tetaplah berbaik padanya dan jalinlah silaturahmi dengannya.

Terakhir wahai kawan, sahabat dan saudaraku, mari kita berusaha untuk semakin mendekat kepada-Nya. Semakin memperbanyak shalawat kepada baginda Agung Muhammad SAW. Ingat kawan, sebanyak apapun ibadah kita, rasanya belumlah pantas diterima oleh Allah. Dalam shalat saja, berap detik kita mengingat-Nya, dalam dzikir kita berapa detik hudlur hati kita kepada-Nya. Rasanya tanpa pertolongan Rasulullah SAW. tak pantas kaki kita menginjak halaman surga apalagi memasukinya. Beliaulah satu – satunya manusia yang mampu memberi syafaat kepada kita. Bila kita tidak sering berhubungan Ruhani dengan beliau, mungkinkah beliau mau menolong kita?

Shallu Ala al-Nabi Muhammad …
Allahumma shalli wa sallim wabarik ‘alaih…

Semoga bermanfaat…
Allahu a’lam…


Komentar