Radikalisme Vs Liberalisme



Radikalisme Vs Liberalisme

Dua istilah populer yang saling berhadapan namun memiliki kesamaan –setidaknya menurut saya. Kedua istilah ini sangat populer di tengah kehidupan masyarakat kita. Seringkali kedua istilah ini dihadapkan dan diperlawankan satu dengan lainnya.

Istilah pertama, radikalisme merujuk pada kelompok Islam garis keras, yang kerap kali dalam menjalankan aksinya untuk menegakkan syariat, menggunakan cara – cara kekerasan. Bahkan tidak jarang dalam melakukan aksinya mereka juga menggunakan simbol – simbol agama. Harus diakui mereka kelewat berani dalam bersikap hingga dalam pandangannya mati dalam berjihad –tentunya dalam versi mereka, jaminannya adalah surga.

Kelompok dengan tipe semacam ini di Indonesia tidak seberapa banyak. Ada tapi tidak banyak, mungkin karena iklim masyarakat Indonesia tidak sesuai dengan model kelompok semacam ini. Di samping itu naluri tiap insane pasti mendambakan kedamaian, hidup berdampingan tanpa ada percekcokan. Inilah yang lebih disukai masyarakat, sikap toleran yang berujung pada kehidupan damai, aman dan sejahera. Lagi pula, Negara ini bukanlah Negara Islam sebagaimana Timur Tengah. Negara ini dibangun di atas semangat kebhinekaan, beragam tetapi tetap satu jua. Tidak ada alasan menyerang kelompok lain, terutama agama lain yang dianggap melanggar syariat Islam. Hukum yang ada di Negara inipun bukanlah hukum Islam, tetapi hukum positif yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Di sisi lain, ada kelompok yang menamakan dirinya sebagai kelompok liberal. Bila kelompok radikal memiliki tipe temperamental, keras, dan kaku, kelompok liberal justru bersikap sebaliknya. Kelompok ini bersikap sangat toleran bahkan toleransinya kelewat berlebihan. Bagaimana tidak, semua agama dianggap sama. Semua memiliki tujuan yang sama. Bahkan kadang – kadang kelompok ini juga membela kelompok – kelompok yang secara nyata sudah menyimpang dengan alasan pluralism dan semangat humanism.

Dalam sejarah Islam klasik kelompok radikal ini terepresentasikan oleh kelompok khawarij. Kelompok yang keluar dari barisan khalifah Ali yang berkeyakinan bahwa mereka yang terlibat dalam peristiwa tahkim adalah pelaku dosa besar, kafir dan wajib dibunuh. Suatu sikap yang ekstrim yang berakibat pada terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib.

Sementara di sisi lain saya menganggap bahwa kaum liberal identik dengan mu’tazili, kelompok umat Islam yang mendewakan akalnya. Kebenaran lebih banyak diukur dengan pemikiran – pemikiran rasional. Kelompok ini bahkan berani mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk yang bisa disejajarkan dengan teks – teks sastra lain pada umumnya. Pandangan ini pula yang kemudian mengantarkan pada wacana pendekatan pemahaman al-Qur’an dengan menggunakan metode interpretasi hermeneutika, termasuk di antaranya terjadinya pengusiran Nashr Hamid Abu Zaid dari Mesir karena mencoba menawarkan pendekatan pemahaman al-Qur’an dengan metode ini.

Bagi saya, kedua kelompok ini memiliki persamaan yang bisa membahayakan umat khususnya kaum awam. Berbeda dengan para akademisi, umumnya mereka bisa mendudukkan sesuatu pada tempatnya, terbiasa dengan berbagai kajian, sehingga lebih bisa bersikap moderat dalam menghadapi persoalan yang mencuat ke permukaan.

Kelompok pertama berbahaya bagi kaum awam karena nyatanya kaum awamlah yang paling mudah terprovokasi oleh orasi – orasi yang disuarakan atas nama ketuhanan. Tidak jarang mereka yang ikut serta dalam kelompok – kelompok ini di dominasi oleh mereka yang kurang belajarnya dalam hal ilmu agama di pesantren. Oleh karenanya begitu mereka menerima informasi yang masih belum utuh mereka mudah terprovokasi dan ikut larut di dalamnya.

Selain itu kelompok ini seringkali menyebabkan Islam terpojokkan oleh karrena Islam dianggap sebagai agama pedang yang intoleran. Fakta di lapangan menunjukkan berapa banyak korban swipping yang dilakukan oleh kelompok – kelompok semacam ini. Bila hal ini terjadi boleh jadi dakwah Islam justru akan terhalang lantaran perbuatan mereka yang dinilai kejam dan meresahkan.

Di sisi lain kelompok kedua juga memiliki bahaya yang sama dengan kelompok pertama. Letak bahaya pada kelompok dengan tipe kedua adalah terjadinya kebingungan dalam pemikiran masyarakat awam, terutama dalam menentukan sebuah kebenaran, apa ukurannya dan bagaimana cara mengambil sikap bila terjadi permasalahan di tengah masyarakat. Kelompok ini seringkali menganggap bahwa pada dasarnya semua itu sama dan tidak ada yang lebih benar, karena bagi mereka kebenaran itu relatif. Kebenaran sangat bergantung pada pandangan subjek pelakunya sehingga setiap orang memiliki peluang yang berbeda dalam menentukan kebenaran dan semua itu harus dihargai.

Akibat terfatal dari kelompok semacam ini adalah ketidak berlakunya amar ma’ruf nahi mungkar yang diperintahkan oleh ajaran agama Islam. Padahal bila merujuk pada Surat al-Maidah (5); 78 - 79:

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79)

Artinya: Telah dilaknati orang – orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (Q.S. al-Maidah (5); 78 – 79)

Secara tegas ayat di atas menjelaskan bahwa kaum Bani Israil dilaknat oleh Allah SWT. dengan lisan Nabi Daud dan Isa putra Maryam lantaran sikap keterlaluan mereka. Mereka tidak melarang teman mereka yang melakukan kesalahan, tidak berusaha meluruskan kesalahan mereka agar kembali kepada jalan yang benar. Alasannya lagi – lagi semangat toleransi dan kemanusiaan. 

Lantas bagaimana semestinya kita bersikap? Sebagai seorang muslim seharusnya kita bersikap tengah – tengah, istilahnya tawasuth, tawazun dan i’tidal harus tetap menjadi landasan berpijak saat melangkah. Inilah prinsip yang dipakai oleh Islam ala ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Kita toleran terhadap siapa saja tetapi ingat ada saatnya toleran itu terbatasi dalam beberapa hal. Dengan tetap berpijak pada asas ini, maka keseimbangan dalam Islam akan tetap terjaga. Amar ma’ruf tetap ditegakkan, toleransi tetap dijaga sehingga Islam yang cinta damai akan tetap bisa dipertahankan.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Komentar