Masih Seputar Peringatan Isra' Mi'raj



Masih Seputar Peringatan Isra’ Mi’raj

Dalam tradisi masyarakat Jawa memang peringatan hari besar Islam seolah telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Entah telah berapa kali dalam bulan ini saya mengikuti kegiatan rajabiyah, baik di daerah saya tinggal maupun di tempat lain. Pagi ini saya juga barusan mengikuti acara yang sama, yang diselenggarakan oleh LPI Qurrota A’yun Beji Ngunut Tulungagung, tempat di mana saya mendarma baktikan ilmu untuk pertama kalinya setelah lulus S1.

Tidak dipungkiri bahwa sebagian di antara orang – orang merasa bosan dengan peringatan ini, apalagi saat muballigh berceramah. Hal ini juga perlu dimaklumi karena relatif tema yang disampaikan para muballigh sama sekitar isra’ mi’raj. Reaksi kebosanan ini bisa saya buktikan dengan banyaknya para sami’in yang lebih memilih membuat forum saat muballigh menyampaikan materi, bermain smartphone, selfie dan seterusnya. Bahkan ada juga panitia penyelenggara mengadakan peringatan isra’ mi’raj atau yang lain tanpa adanya muballigh, hanya dengan mengundang grup shalawatan, mengadakan perlombaan dan lainnya tanpa ada sedikit ceramahpun.

Menurut saya, peringatan hari besar tanpa adanya ceramah keagamaan seputar sejarah yang melingkupi hari besar tersebut, rasanya kurang afdlal, seolah ada sesuatu yang hilang. Sepanjang keikutsertaan saya dalam beberapa kegiatan yang sama, meski dengan tema yang sama, namun beda penyampai, maka di dalamnya pasti ada sesuatu yang baru. Atau mungkin penyampainya sama, tetapi pada lain kesempatan tetap ada sesuatu yang baru yang –menurut saya, adalah sesuatu yang unik dan harus lebih dicermati.

Pagi ini ceramah agama disampaikan oleh K.H. Abdoel Hakim Musthofa ketua PCNU Tulungagung. Seorang yang kenyang dengan segudang pengalaman. Beliau juga tercatat pernah menjabat sebagai anggota dewan di Tulungagung. Tentu hal ini menarik dan mesti memiliki nuansa yang berbeda dengan kebanyakan dai atau muballigh yang lain.

Benar saja, selepas salam, setelah memualai dengan pembukaan beliau memulai ceramahnya. Dalam ceramahnya beliau kelihatan sudah berpengalaman bila berhadapan dengan audiens yang masih dalam usia anak – anak. Banyak penceramah lantaran audiensnya adalah anak – anak menjadi tidak maksiman gara – gara tidak mampu menguasai anak – anak. Memang anak – anak memiliki dunia yang berbeda dengan dunia orang dewasa. Itulah sebabnya sebagai seorang penceramah seharusnya mampu menempatkan dirinya sesuai dengan audiens yang dihadapinya.

Dalam ceramah ini selain beliau banyak melakukan interaksi dengan anak – anak, beliau juga menggunakan metode cerita. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang menarik bagi anak – anak. Metode ini juga membuat kondisi anak – anak relatif kondusif meski harus diakui juga masih ada satu dua anak yang masih nampak asik dengan candaannya. Tetapi hal itu tidak mengurangi kekhidmatan acara yang diadakan kali ini.

Satu hal menarik adalah ketika beliau mengangkat i’tibar dibalik keberangkatan isra’ mi’raj Nabi yang dimulai dari masjid al-haram, tepatnya mulai dari hijir ismail. Memang mungkin terjadi khilaf di antara para sejarawan muslim kaitannya dengan awal mula keberangkatan Rasul. Saya sendiri pernah menemukan literatur yang menyatakan bahwa keberangkatan isra’ Rasul dimulai dari rumah sepupunya Umi Hani. Terlepas dari khilaf yang terjadi yang penting dan telah disepakati adalah bermula dari masjid al-haram.

Beliau menyampaikan i’tibar mengapa perjalanan isra’ dimulai dari masjid. Menurut beliau masjid adalah tempat ibadah, tempat yang suci yang digunakan untuk bersujud kepada Allah SWT. Sebelum menghadap Allah, maka seseorang harus mensucikan dirinya agar pisowanannya kepangkuan Allah bisa diterima.

Selain itu beliau juga mengungkapkan bahwa perjalanan isra’ mi’raj adalah peristiwa agung dan luar biasa yang benar – benar terjadi. Peristiwa isra’ mi’raj dialami oleh Nabi secara ruh dan jasadnya, bukan hanya ruhnya lewat mimpi. Menurut beliau orang yang mengatakan bahwa perjalanan isra’ mi’raj hanyalah ruh Nabi melalui mimpinya, menunjukkan kedangkalan ilmunya dan perlu belajar lagi.

Kaitannya dengan hal tersebut beliau menyitir ayat al-Qur’an Surat al-Isra’ (17); 1 sebagaimana yang telah masyhur. Dalam ayat tersebut Allah menegaskan bahwa peristiwa isra’ mi’raj adalah hal yang dikehendaki Allah SWT. bukan yang dikehendaki oleh makhluk. Beliau memberikan contoh jam. Menurut beliau jam yang saat ini menunjukkan pukul 09.00 WIB memerlukan waktu selama satu hari untuk menunjukkan waktu dan jam yang sama dengan yang sekarang. Itu dikarenakan jam berjalan dengan sendirinya bukan karena kehendak yang punya. Bayangkan jika yang punya menginginkan jam sekarang jam sembilan, ia bisa melakukannya tanpa menunggu satu hari. Demikian juga peristiwa isra’ mi’raj, oleh karena hal itu adalah kehendak Allah, maka dalam waktu hanya kurang lebih satu malam perjalanan yang jauh dari masjid al-haram sampai masjida al-aqsha hingga sidratul muntaha bisa ditempuh dengan begitu cepat karena keinginan yang punya.

Di akhir ceramahnya beliau berpesan kepada anak – anak agar belajar dengan sungguh – sungguh dan rajin. Dengan ilmu pengetahuan maka cita – cita bisa dicapai. Selain itu beliau juga berpesa agar jangan sekali – kali anak – anak menyakiti apalagi membenci kedua orang tua dan gurunya. Seperti apapun keduanya adalah orang yang paling menyayangi mereka. Ridla Allah digantungkan pada ridla kedua orang tua sehingga tanpa ridla keduanya kehidupan yang kita jalani tidak akan bahagia. Begitu juga dengan guru. Meskipun seorang guru terkadang membentak, mencubit atau menghukum kita, jangan pernah merasa benci karena semua itu adalah wujud kasih sayangnya. Jika kita membenci guru, maka ilmu yang dia berikan tidak akan menjadi ilmu yang bermanfaat. Berapa banyak orang yang pinter tetapi tidak bener.

Mudah – mudahan kita diberi kekuatan untuk senantiasa berada dalam jalan-Nya dan selalu mendapat taufiq hidayah-Nya. Semoga ilmu yang kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Ngunut, 15 April 2017




Komentar