Dimensi ke-Unikan Manusia
Sudah menjadi rahasia umum bahwa manusia memiliki keistimewaan
dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain. Keistimewaan itu secara tersurat
termaktub dalam Surat al-Tin (95); 4:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)
Artinya: Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik
– baik bentuk (Q.S. al-Tin (95); 4)
Keistimewaan ciptaan manusia sebagai makhluk terbaik di antara yang
lain telah menjadi nash dan ketetapan yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Keberadaannya sebagai ciptaan terbaik telah diakui, tinggal bagaimana manusia
benar – benar menyadari akan hal ini, mensyukurinya dan memanfaatkannya dengan
maksimal sehingga tercapailah tujuan penciptaannya dalam arti yang sesungguhnya.
Dengan demikian maka ia akan mampu mengemban tugasnya sebagai khalifah fi
al-ardli, yang akan menjaga, melestarikan, dan mempotensikan segala sumber
daya yang ada dan telah diciptakan Allah untuknya. Jika tidak, maka yang
terjadi adalah kebalikannya, manusia itu justru akan menjadi orang yang paling
buruk di antara ciptaan yang lain, yang pada lanjutan ayat tersebut disebut
dengan asfala al-safilin. Firman Allah Surat al-Tin (95); 5:
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5)
Artinya: Kemudian Kami akan mengembalikannya kepada tempat yang serendah
– rendahnya (neraka) (Q.S. al-Tin (95); 5)
Secara tegas ayat di atas menerangkan bahwa manusia akan
dikembalikan kepada tempat yang serendah – rendahnya (neraka), dalam terjemah
yang ada pada kitab terjemah al-Qur’an. Tetapi apakah iya bahwa yang dimaksud
di sini adalah neraka (saja) yang dijanjikan untuk mereka yang lalai di akhirat
kelak? Atau mungkinkah kata ini bisa dipahami dengan pengertian yang lain? Tentunya
masih ada ruang terbuka untuk memahami makna al-murad yang dikehendaki oleh
ayat ini.
Kaitannya dengan dimensi ke-unikan manusia yang membedakannya
dnegan ciptaan yang lain, pak Aksin Wijaya menyatakan bahwa manusia memiliki
dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi fisik (binatang) dan dimensi Ilahi
(kemalaikatan).
Dalam dimensi pertama manusia memiliki kesamaan dengan binatang. Ini
bukan berarti mendudukkan manusia sama dengan binatang, hanya saja dalam diri
manusia terdapat sisi – sisi yang menyerupai binatang. Contoh sederhananya,
bila binatang memiliki keinginan untuk makan, demikian halnya manusia, bila
binatang memiliki keinginan biologis dengan pasangannya, pun pula manusia. Jadi
ada sisi – sisi yang sama antara manusia dan binatang yang semua itu bermuara
pada dimensi fisik yang dimiliki manusia.
Lain halnya dengan dimensi Ilahi (kemalaikatan), dimensi ini hanya
dimiliki oleh manusia, sementara binatang tidak memilikinya. Binatang tidak
pernah mengenal tata cara peribadatan sebagaimana manusia mengenalnya, mereka
tidak memiliki tata cara yang bisa menghalalkan hubungan antara yang satu
dengan lainnya untuk menghasilkan keturunan sementara manusia mengenal dan
bahkan sangat kental dengan hal itu.
Kedua dimensi ini ikut serta berpengaruh terhadap penempatan
manusia sebagai makhluk terbaik di antara makhluk lain, pun pula sangat
berpengaruh terhadap jatuhnya seorang manusia pada posisi terendah di antara
yang lain. Tidak hanya ketika mereka masuk neraka di yaum al-qiyamah,
tetapi dalam strata kehidupan sosial pun juga akan kelihatan.
Kita bisa melihat secara pasti bagaimana kedudukan seseorang di
tengah masyarakat sangat dipengaruhi oleh perilakunya yang dipengaruhi oleh
dimensi fisik maupun dimensi Ilahiyahnya. Seorang yang hanya mementingkan
kepentingan pribadi, memperbesar perutnya, mengisinya dengan berbagai makanan
bahkan kalau perlu dari hal yang tidak jelas antara halal dan haramnya, dalam
kehidupan masyarakat mereka tidak seberapa tinggi kedudukannya. Lain halnya
dengan seorang yang memiliki hubungan baik dengan komunitasnya, memiliki
perilaku yang baik, menjaga muruah dan bermanfaat bagi yang lain, orang seperti
ini akan mendapat kedudukan tinggi dan istimewa di tengah – tengah kehidupan
masyarakat. Inilah pengaruh yang bisa diberikan dimensi fisik maupun dimensi
Ilahi yang dimiliki manusia.
Kedua dimensi ini memiliki keistimewaan antara yang apabila
dikembangkan dan diberdayakan dengan baik, bukan mustahil akan menghasilkan
sesuatu yang mencengangkan bagi yang lain. Dimensi fisik misalnya, kita melihat
bagaimana dimensi fisik yang dibangun dengan baik akan menghasilkan sesuatu
yang luar biasa. Muhammad Ali seorang petinju yang awalnya adalah seorang nasrani
yang kemudian memeluk Islam, ketekunannya dalam melatih dan memberdayakan
dimensi fisiknya menjadikannya sebagai sosok yang luar biasa bahkan dianggap
legenda dalam dunia tinju, ini adalah capaian yang istimewa disebabkan karena
pendayagunaan potensi manusia yang berupa dimensi fisiknya.
Adapun dimensi Ilahi (kemalaikatan), sepertinya sampai kapanpun
tidak akan ada seorang yang mampu melampaui sosok Nabi Muhammad SAW. Beliau
adalah contoh ideal manusia yang mempotensikan dimensi ilahiyahnya sampai batas
maksimal. Pengaruhnya? Seorang anak yatim, lahir tanpa ayah, 6 tahun menjadi
yatim piatu, seorang penggembala kambing dan pedagang mampu menjadi seorang
yang melakukan perubahan besar dalam kurun sejarah kehidupan manusia. Ini adalah
capaian yang belum terlampaui oleh siapapun.
Berangkat dari hal – hal di atas, sepertinya sebagai kalangan
akademisi mencoba untuk membuka arah dan ruang baru dalam proses transformasi
keilmuannya. Keilmuan tidak hanya di transfer dengan dimensi fisik, berupa transfer
of knowledge sebagaimana biasa, tetapi ada langkah yang juga harus lebih
diperhatikan lagi adalah dimensi Ilahi dengan senantiasa memperbanyak do’a dan
munajat kepada-Nya agar ilmu tidak hanya masuk di akal, tetapi merasuk dalam
hati, terealisasi dalam perilaku yang islami.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar