Kajian Tasawuf Jilid III
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)
Alhamdulillah sore ini Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung kembali
bisa menggelar kajian tasawuf untuk kali ketiga. Sungguh satu kebahagiaan bagi
seluruh keluarga besar Ma’had al-Jami’ah dan semua yang terlibat di dalamnya. Paling
tidak kajian ini telah istiqamah dijalankan untuk kali yang ketiga pada tiap –
tiap Jum’at sore sembari menunggu waktu ceklok pulang.
Sore ini kajian tasawuf membahas untaian mutiara hikmah al-Syaikh
Ibnu ‘Athaillah al-Sakandari yang ketiga:
سوابق
الهمم لا تخرق أسوار الأقدار
Artinya: “Keterdahuluan aspirasi – aspirasi (himam) tidak akan
mampu mengoyak dinding – dinding takdir”
Perjalanan menuju ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT adalah
perjalanan ruhani yang penuh dengan berbagai ujian dan hambatan. Adakalanya
seseorang mampu melalui ujian – ujian tersebut, dan bahkan banyak juga yang
tidak mampu melampauinya.
Karena sulitnya perjalanan menuju ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah,
maka para ulama, khususnya mereka yang menekuni dunia tasawuf menganjurkan agar
seseorang yang hendak menuju ke hadlrah qudsuyah-Nya Allah untuk mencari
seorang guru yang telah mencapai iman yang sempurna dan mampu menyempurnakan
iman muridnya (guru kamil mukammil). Dalam dunia thariqah guru semacam ini
dikenal dengan nama al-Mursyid.
Seorang mursyid diperlukan untuk mengarahkan dan membimbing seorang
murid agar tidak terpengaruh terhadap berbagai tipu daya nafsu dan setan iblis
yang selalu berusaha untuk menjerumuskan salikin ke jalan yang sesat. Semakin naik
perjalanan yang ditempuh seorang salik, maka semakin halus dan sulit dikenali
tipuan dan hasutan nafsu dan iblis. Bila tidak ada yang membimbing boleh jadi
ia terjerumus pada syak wasangkanya seolah ia sampai ke hadlrah qudsiyah-Nya
Allah, namun ternyata itu adalah tipuan yang disiapkan iblis untuk
menjerumuskannya.
Termasuk di antara ujian yang diberikan Allah kepada para salikin
yang semakin menapaki tingkat yang tinggi adalah munculnya berbagai kelebihan berupa
terjadinya sesuatu yang ia inginkan. Dalam dunia sufi kuatnya hati sehingga
mampu mewujudkan sesuatu sebagaimana yang ia inginkan dengan seizin Allah ini
disebut dengan himah.
Selain kata himmah ada juga yang menyebutnya dengan “kun”, dalam
bahasa Jawa disebut dengan ungkapan “Sabdo panditho ratu”. Seorang yang dalam
maqam ini terkadang “ngidap – ngidapi”, menakjubkan bagi orang awam yang
melihat dan menyaksikannya. Apa yang menjadi keinginannya langsung ijabah,
bahkan bila perlu sekedar “khatir”, krenteg ati, langsung ijabah.
Seseorang yang dalam maqam ini seringkali dimasyhurkan dilingkungan
masyarakat awam sebagai seorang wali. Ia diyakini sebagai seorang keramat. Do’anya
ampuh, firasatnya tembus sehingga banyak hal yang dikatakannya menjadi kenyataan.
Di Jawa, kita mengenal wali songo. Konon para wali ini juga diberi
kemampuan oleh Allah untuk melakukan hal yang sama dengan gambaran di atas. Kita
juga mengenal sosok ulama kharismatik yang memiliki kemampuan seperti ini
semisal Syaikhana Khalil Bangkalan, Syaikhana Mohammad Ma’roef Kedunglo Kediri,Syaikhana Abdoel Madjied Ma’roef
Kedunglo Kediri, Syaikhana Hamim Jazuli
(Gus Miek) Ploso Kediri, Syaikhana Mubasyir Mundzir Bandar Kidul Kediri,
-Semoga rahmat Allah atas mereka semua, dan sederetan ulama lain. Mereka diberi
keistimewaan sehingga ucapannya bisa menjadi kenyataan, do’anya ijabah dan
seterusnya dengan seizin Allah SWT.
Meski telah mencapai maqam seperti itu, al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah
al-Sakandari mengatakan, bahwa sawabiqul himam itu tidak akan mampu mengoyak
dinding – dinding takdir yang telah ditentukan Allah SWT. Artinya, meski
seseorang telah sampai pada maqam ini, namun sesungguhnya apa yang terjadi itu
bukan semata karena kemampuan yang mereka miliki, melainkan semua itu bersamaan
dengan takdir Allah yang menghendaki terjadinya hal tersebut.
Bagi orang awam kelebihan – kelebihan yang berupa “asrar kauniyah”
itu dianggap sebagai karomah para auliya. Karomah adalah kelebihan yang
diberikan Allah kepada para auliya yang tidak bisa dipelajari. Ia hanyalah
sebuah pemberian yang diberikan Allah SWT.
Terkadang juga ada kejadian – kejadian yang luar biasa yang tidak
bisa dijangkau oleh akal, tetapi munculnya dari seseorang yang bukan walinya
Allah. Kejadian diluar nalar manusia yang muncul dari wali disebut karamah,
sementara yang muncul dari selainnya adalah bentuk “istidraj”, penglulu dan
tipu daya bagi pemiliknya agar semakin tersesat. Kedua – duanya sama – sama hal
yang luar biasa, bedanya yang satu bersamaan dengan ridla Allah sementara yang
lain tidak, atau bahkan bersama dengan murka-Nya Allah SWT.
Meskipun seseorang telah memiliki himam sebagaimana di atas yang
harus diyakini adalah bahwa semua itu pada dasarnya adalah asbab yang tidak ada
pengaruhnya dan pelakunya hakikatnya
adalah Allah SWT sendiri.
Oleh karena hal itu sesungguhnya tidak ada pengaruh dan faidahnya,
maka seorang salik tidak seharusnya menyibukkan diri dengan urusan himam. Dengan
kata lain, himam itu sesungguhnya adalah salah satu di antara bentuk ujian yang
diberikan Allah kepada seorang salik yang menuju ke hadlrah qudsyah-Nya Allah
SWT.
Di sini-lah, menurut para ulama –ahli tasawuf, banyak sekali di
antara para salikin yang berhenti pada urusan himam, berhenti pada urusan
karamah sehingga mereka bukannya sampai kepada Allah, tetapi terhenti pada
kesibukannya mengurusi karamah. Mereka terpedaya oleh karamah. Maka diingatkan
oleh al-Syaikh Ibnu Athaillah:
من عمل
لله فهو عبد الله ومن عمل لأجل الكرامة أو الدرجة فهو عبد لها
Artinya: “Barangsiapa berbuat (beramal) semata ikhlas karena
Allah, maka dialah hamba Allah, dan barangsiapa yang berbuat (beramal )karena karamah
atau derajat maka ia adalah hambanya (karamah dan darajat)”
Begitulah lembutnya permainan nafsu untuk menjerumuskan seorang
salik dalam perjalanan menuju hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT. Saking lembutnya
terkadang seorang salik tidak menyadari bahwa ia sedang tertipu. Butuh seorang
yang membimbingnya agar ia tidak terjerums ke lembah keterpurukan.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar