Semakin Bertambah Usia Semakin Bijak
Momong
Beragam cara seseorang dalam memaknai bertambahnya usia yang
dilalui dalam kehidupan ini. Sebagian ada yang merayakan hari lahir sebagai
titik mula dari bertambahnya usia yang dijalani dengan menggelar acara – acara pesta,
mengumpulkan sahabat, kerabat dan handai tolan untuk makan minum bersama atau
juga dengan menyanyikan lagu “Happy Bestday” secara bersama – sama diiringi musik
dan lagu – lagu berirama bahagia.
Jika kita melihat gejala – gejala yang ada hari ini kaitannya
dengan peristiwa bersejarah dalam kehidupan seseorang dalam perjalanan
hidupnya, beragam cara yang mereka lakukan. Pada masyarakat pegunungan tempat
saya melaksanakan KKN beberapa tahun silam, sudah ada pesta yang meriah dalam
memperingati hari ulang tahun. Mereka menyewa terop megah, menyembelih sapi
atau kambing, membuat kue tar, mengundak sanak kerabat, sahabat, dan handai
tolan untuk hadir bersama dalam kemeriahan pesta yang luar biasa. Entah kapan
mulainya acara semacam itu, saya sendiri tidak tahu secara pasti kapan
mulainya, apa yang menjadii latar belakangnya dan sebagainya, bagi saya masih
merupakan persoalan yang belum bisa saya pecahkan.
Gejala – gejala itu menurut saya tidak lepas dari pengaruh media
sosial yang pada era akhir – akhir ini seolah telah menjadi panutan bagi setiap
orang. Dengan mudahnya masyarakat dari berbagai kelompok masyarakat mampu
mengakses berbagai informasi (baik positif maupun negative) secara mudah dengan
berbekal ponsel androit dengan harga yang relatif terjangkau. Keadaan ini
adalah hal yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Bahkan anak – anak yang
masih usia belia saja banyak yang telah memiliki dan bahkan mampu mengoperasikan,
terkadang yang tua malah kalah pinter dalam mengoperasikannya. Inilah yang pada
akhirnya ikut mempengaruhi perilaku anak – anak dan masyarakat.
Maraknya perayaan ulang tahun yang kemudian diabadikan melalui
video dan unggah lewat you tube, disiarkan lewat radio dan televisi telah
menggeser perilaku masyarakat. Banyak di antara mereka yang kemudian menggelar
pesta bersama dengan rekanan, handai tolan dan para kerabat.
Bersama Kyai Supriono Pengasuh Madrasah Far'u Hidayatul Mubtadiin
Lantas bagaimana agama memandang ulang tahun ini? Bila kita melihat
dari sudut pandang Islam pada dasarnya ulang tahun adalah satu tanda bahwa usia
kita semakin berkurang. Perjalanan hidup kita di dunia ini sudah ditentukan dan
digariskan oleh Allah berapa lamanya. Ketika kontrak kehidupan itu telah habis,
maka mau tidak mau, suka maupun tidak suka manusia akan kembali dikembalikan
juga kepada-Nya. Saat itulah manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa
yang telah diperbuatnya selama berada dalam kehidupan dunia ini. Jika selama
hidup di dunia, perilakunya menunjukkan kebaikan, maka ia akan menuai
kebahagiaan di alam kuburnya sampai di akhirat, pun pula sebaliknya.
Karena usia semakin berkurang, para pendahulu kita di tanah Jawa
biasanya mengadakan acara yang populer ditengah masyarakat dengan nama “Ngampirne
Neton”. Memang acara ini tidak digelar sekali dalam setahun sebagaimana ulang
tahun, tetapi setidaknya acara ini menjadi satu tanda bahwa usia seseorang
telah bertambah “selapan”, karena biasanya diadakan pada hari netonnya, semisal
sabtu pahing, kamis kliwon dan seterusnya.
Apa yang dilakukan saat ngampirne neton? Dalam tradisi masyarakat
Jawa ngampirne neton dilakukan dengan mengeluarkan shodaqah dengan mengundang
beberapa tetangga dan kerabat sekitar, kemudian melakukan doa bersama semisal
membaca surat – surat pendek dan yang lain. Tujuannya adalah memohon kepada
Allah agar senantiasa diberi hidayah dan taufiq-Nya, diberi keselamatan dalam
menjalani kehidupan, diberi kelancaran rizki, dan rizki yang halal dan barakah
sehingga bisa semakin mendekat kepada-Nya. Sungguh bila kita mau mengkaji
secara lebih dalam, ternyata beragam tradisi yang mengakar kuat dalam
masyarakat ini mengandung sisi filosofis yang sangat dalam dan sejalan dengan
apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits. Satu tradisi yang lahir dari
pikiran cerdas para ulama penyebar agama Islam pertama di tanah Jawa.
Lantas bagaimana hukum ulang tahun dalam pandangan Islam? Yang berhak
menjawab adalah para ulama ahli fiqih karena ini adalah ruang kajian keilmuan
mereka. Namun, menurut saya, yang harus diperhatikan adalah niat dan akibatnya.
Niatnya benar tetapi akibatnya tidak baik, tentu juga tidak baik, sebaliknya
niat tidak baik tapi hasilnya baik juga kurang baik.
Jika ulang tahun dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah
atas segala nikmat yang diberikan tentu ini adalah hal positif. Sebaliknya jika
dimaksudkan adalah berhura – hura yang justru menyebabkan kita lalai dari
mengingat Allah, tentu bukanlah hal yang bisa dibenarkan. Bukankah salah satu
tanda baiknya iman seseorang adalah meninggalkan hal – hal yang kurang
bermanfaat?
Bersama Bapak yang Selalu Memotivasi
Selanjutnya bagaimana pandangan ilmu modern kaitannya dengan
semakin bertambahnya usia. Semakin bertambah usia menandakan semakin
bertambahnya tingkat kedewasaan dan semakin matangnya pemikiran. Dengan bertambahnya
usia seharusnya seseorang akan semakin bijak dalam menyikapi setiap kejadian
yang ada di sekelilingnya, tidak mudah terprovokasi dengan berbagai unsur yang
berasal dari luar. Namun, seorang yang semakin bijak akan berhati – hati dalam
bertindak, bersikap dan mengambil keputusan.
Sikap bijak akan menjadikan seseorang lebih arif dalam menyikapi
semua persoalan. Seorang yang bijak tidak selalu memandang apa yang ada dalam
dirinya selalu benar dan yang lain salah. Ia akan semakin arif dalam menyikapi
semua perbedaan yang ada dan menjadikannya sebagai kekayaan intelektual yang tetap
harus dijaga.
Pertanyaannya sekarang, seberapa dewasakah umat Islam Indonesia
saat ini? Saat ini kita disuguhkan dengan isu sara yang luar biasa, bahkan
hampir saja kemarin berujung pada perpecahan antar elemen bangsa. Perbedaan pandangan
politik, menyebabkan pemeluk Islam pecah dan hampir berujung pada permusuhan. Buktinya?
Saling menjatuhkan, mengeluarkan fatwa yang tidak seharusnya, semisal masjid
ini tidak menshalatkan jenazah orang yang memilih…. Sampai kapan semua ini akan
berakhir?
Yang tidak kalah mencengangkan adalah kehadiran Raja Salman yang
merupakan raja dari Negara yang bermadzhab resmi wahabi, disambut dengan
sedemikian meriah, tetapi begitu seorang Dr. Dzakir Naik, argumentator yang konon “pemikirannya akrab
dengan wahabi”, meski telah meng-Islamkan banyak orang dengan debat yang
digelarnya tetapi tetap saja ada yang mencemooh dan berpandangan negatif.
Terlepas dari semua perdebatan terkait semua hal di atas, saya ingin
mengingatkan pesan Guru Bangsa kita, K.H. Abdurahman Wahid, seorang Guru bangsa
yang memiliki karisma luar biasa, namun juga penuh kontroversi, banyak yang membencinya,
tetapi lebih banyak lagi yang mencintai, buktinya meski jasadnya telah
disemayamkan namun jutaan manusia masih sowan kepangkuannya dengan menziarahi
makamnya. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah oleh siapapun.
Beliau berpesan, janganlah kebencianmu pada seseorang menyebabkanmu
tidak berlaku adil padanya. Pesan ini kiranya cukup mendalam untuk dikaji. Selama
ini banyak di antara umat Islam yang seringkali karena kebenciannya kepada satu
kelompok muslim lainnya, dengan mudahnya menyatakan sesat, kafir dan
sebagainya. Padahal shalatnya masih sama, hanya saja mungkin satu pakai qunut
satunya tidak, satu pakai sayyidina satunya tidak dan seterusnya. Al-Qur’annya
juga sama, hanya mungkin cara interpretasi dan pendekatan yang digunakan dalam
memahaminya berbeda, hasilnya? Ya jelas beda dong…
Sungkeman
Lantas, tafsir siapakah yang paling benar? Inilah yang sulit untuk
dijawab. Yang paling penting menurut saya adalah bagaimana seseorang mampu
menciptakan kehidupan yang damai aman dan sejahtera. Bukankah Islam itu damai
dan cinta kedamaian? Itulah sebabnya mengapa setiap bertemu seseorang kita
diajarkan mengucap salam. Tidak hanya berucap salam, tetapi juga menyebarkan
kedamaian di bumi persada tempat tinggal kita. Kata Rasul:
المسلم
من سلم المسلمون من لسانه ويده
Artinya: Seorang muslim adalah orang yang semua umat Islam
selamat dari gangguan lisan dan tangannya.
Nah, marilah berusaha untuk semakin dewasa. Bukankah usia umat
Islam di Indonesia ini semakin bertambah? Betapa disayangkan bila bertambahnya
usia umat Islam tidak menunjukkan semakin bijaknya dalam bersikap. Gus Dur
pernah mengatakan, “Akhir – akhir niki kulo dipun emotaken kaliyan salah
setunggalipun ayat al-Qur’an, dawuhipun al-Qur’an,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
Artosipun, he poro menungso sak temene ingsun wus nitahaken siro
kabeh, sun dadeaken lanang, wadon, lan ingsun dadeaken besuku – suku dan
berbangsa – bangsa supoyo sliramu kabeh podo kenal, saktemene sing luweh mulyo –
mulyone siro kabeh mungguhe gusti Allah yoiku wong sing luwih taqwa, saktemene
Allah iku Dzat Kang Ngudaneni tur Dzat Kang waspodo. Lo al-Qur’an ae dawuh bedo
ae oleh nyapo kok menungso ngomong ora oleh”.
Begitulah kira – kira dawuh beliau yang sempat terekam saat
memberikan sambutan pada acara Mujahadah Kubro di Pondok Pesantren Kedunglo
al-Munadhdharoh. Sungguh kalau kita mau belajar dari sejarah perjuangan Rasul
dalam mensiarkan Islam, mungkin kita akan semakin paham lagi makna perbedaan
dan semakin bijak lagi dalam bersikap.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar