Senin, 18 April 2016

Awal Pembahasan Ttg Al Ghouts Ra





Sebagian mukmin dalam berpendapat, ada yang menggunakan dasar kaidah Islam yang semestinya, merekalah orang-orang yang bertaqwa. Sedangkan sebagian lainnya, dalam berpendapat tanpa memiliki dasar dari syariat Islam secara semestinya. Mereka berpendapat hanya untuk menjaga dirinya, agar dinilai tidak bodoh oleh masarakat. Ketika mereka mengeluarkan pendapat atau kesimpulan, tidak memiliki rasa taqwa kepada Allah Swt yang memiliki Islam. Mereka berpendapat hanya demi kehormatan diri. Hingga berani mengeluarkan pendapat hanya berdasar asumsi atau selera. Mereka mengingkari keberadaan waliyullah dan al-Ghauts Ra, padahal banyak hadis shahih yang menjelaskannya. 
Tentang mereka yang mengingkari waliyullah dan al-Ghaus Ra atau kurang memahaminya namun  sembrono dalam berpendapat, al-Ghauts fii Zamanihi Imam Jalaluddin Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi juz II pada bahasan 69, mengatakan  :

قَدْ بَلَغَنِي عَنْ بَعْضِ مَنْ لاَ عِلْمَ عِنْدَهُ إِنْكَارُ مَاشْتَهَرَ عَنِ السَادَةِ الأَوْلِيَاَءِ مِنْ أَنَّ مِنْهُمْ أَبْدَالاً وَنُقَبَاءً وَنُجَبَاءً وَأَوْتَادًا وَأَقْطَابَاً. وَقَدْ وَرَدَتْ الأَحَادِيْثُ وَالأَثَارُ بِإِثْبَاتِ ذَالِكَ.
Telah sampai kepadaku tentang orang yang tidak memiliki ilmu yang mengingkari sesuatu yang telah masyhur tentang adanya pimpinan para waliyullah. Diantara mereka ada yang menjadi abdal, nuqaba’, nujaba’, autab dan aqthab. Padahal telah banyak hadis dan atsar yang menetapkan adanya hal tersebut.

Firman Allah Swt QS. Yunus,  62 – 63}

        اَلاَ اِنَّ اّوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَقُوْنَ
            Ketahuilah bahwa sesungguhnya para auliyaillah itu tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.  Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah).
Dalam kitab Sunan Abu Daud,  juz  IV,  nomer hadis  : 4648, dari sahabar Sufyanah, Rasulullah Saw bersabda  :

خِلاَفَةُ النُبُوَّةِ ثَلاَثُونَ  ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ المُلْكَ مَنْ يَشَاءُ أَوْ مَلَكَهُ مَنْ يَشَاءُ

Khilafah kenabian itu tiga puluh tahun.  Kemudian Allah memberikan kerajaan kepada hamba yang dikehendaki-Nya.  Atau menguasakan kerajaan itu kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Hadits riwayat Imam Ahmad,  Thabrani  dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shami, Rasulullah Saw bersabda    18  :

لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ

Tidak sepi didalam ummat-Ku (Rasulullah) tiga puluh hamba. Sebab mereka bumi (alam seisinya) tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan (oleh Allah), dan sebab mereka manusia ditolong oleh Allah”.
Diantara mereka, juga ada yang mengatakan (tanpa memiliki dasar, kecuali selera dan asumsi) : bahwa sulthanul auliya, hanyalah Syeh Abdul Qadir al-Jailani, tidak ada Raja waliy selai Syeh, baik sebelum atau sesudahnya. Diantara mereka ada yang mengatakan; saya hanya mempercayai adanya waliyullah yang hidup pada masa dahulu, sedangkan waliyullah pada masa sekarang, aku tidak mempercayai keberadaannya lagi. Demikainlah keadaan ummat akhir zaman yang telah diprediksi oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya : [1]

إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ 

Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.

Keberadaan al-Ghauts Ra, semestinya al-Qur'an dan hadis telah menjelaskan secara gamblang. Sayang, kebanyakan manusia memahami al-Qur’an dan hadis dengan tanpa disertai permohonan hidayah kepada Allah Swt secara sungguh-sungguh, hingga terjebak dalam pemahaman yang dangkal, bahkan menyimpang. Hingga, selain mengingkari keberadaan al-Ghauts Ra, mereka terjerumus pada kesimpulan yang salah. Yakni menilai sebagia perbuatan syirik, kepada seseorang yang mendekati serta memohon berkah dan doa restu al-Ghauts Ra. Cara untuk memahami keberadaan dan tugas al-Ghauts Ra secara musyahadah, sama dengan cara memahami keberadaan Rasulullah Saw. Pemahaman kepadanya termasuk bagian dari ilmu mukasyafah (ketersingkapan mata hati).[2]

Dan pembuktiannya hanya dapat dicapai melalui metode hidayah. Dan, memang tidak ada jalan bagi seseorang yang ingin memahami pribadi Beliau al-Ghaus Ra (baik pada saat ini atau masa lampau), kecuali melalui metode hidayah. Untuk mendapatkannya, seseorang harus melaksanakan mujahadah dengan sesuai petunjuk yang telah lazim. Tanpa melalui cara ini, seseorang akan mengalami kesukaran dalam memahami keberadaan Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra secara musyahadah.
Manusia Sempurna (al-Ghauts Ra) merupakaan istilah yang sangat terkenal didalam kalangan ulama kaum sufi. Al-Qur’an telah mengisyarat keberadaan al-Ghauts Ra. Seperti yang tercermin dalam :

Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 30  :

 وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِي الارْضِ خَلِيْفَةً
 Dan Tuhanmu bersabda kepada malaikat : Sesunggunya Aku menciptakan khalifah diatas bumi. 
Al-Ghauts fii Zamanihi Qs wa Ra Imam Ahmad Ibn Muhammad as-Shawi dalam kitab tafsirnya, juz 1 halaman 20 dijelaskan, bahwa kholifah yang pertama, jika ditinjau dari sisi jasmani  diduduki oleh Nabi Adam As, sedangkan bila ditinjau dari sisi rohani kholifah itu pada hakikinya adalah Nabi Mhammad Saw.     

اَدَمُ فَهُوَاَبُوالبَشَرِوَاْلَخَلِيْفَةُ الاَوَّلُ بِاعْتِبَارِعاَلَمِ الاجْسَامِ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الارْوَاحِ فَهُوَ مُحَمّدٌ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, اِنّهُ قَا ئِمٌ بِالخِلافَةِ. وحِكْمَةُ جَعْلِهِ خَلِيْفَةُ الرَحْمَةِ بالعِبَاد. اِنَّ العِبَادَ لاَ طَا قَةَ لَهُمْ علَى تَلَقَّىِ االاوَامِرِ مِنَ اللهِ بِلاَ وَاسِطَةٍ.

Adam As adalah bapak manusia. Beliau sebagai khalifah pertama, jika dipandang dari sudut jasmani. Sedangkan bila dipandang dari sudut ruhani, khalifah Allah adalah Nabi Muhammad Saw. Dia (Adam As) memduduki maqam khilafah. Dan hikmah kekhalifahan (Nabi Muhammad Saw) untuk membawa rahmat kepada hamba-hamba (Allah). Karena sesungguhnya semua hamba Allah tidak memiliki kekuatan untuk menerima perintah Allah tanpa adanya perantara.
Banyak buku karya dari para ulama kaum sufi dari berbagai negara Islam yang telah menjelaskannya, dan tidak ketinggalan pula para ulama sufi dari Indonesia dan Asia.  
Telah banyak para ulama Indonesia yang telah membahas keberadaan dan tugas al-Ghauts Ra. Namun dalam tulisan ini kami sebutkan beberapa saja, yang antara lain :
1.                 Syeh Nuruddin ar-Raniri Aceh (w. 1773 M).
Beliau adalah penulis kitab:  Asrar aI-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh war Rahman.13  yang ditulis menggunakan bahasa melayu kuna dengan hurup arab pegon (hurup jawi).
Sebagai pengamal tarekat Syathariyah, dalam kajian insan kamil, dalam kitabnya Asrar al-Insan, Beliau menerangkan secara luas, bahwa insan kamil adalah hamba Allah Swt yang dalam jiwanya memiliki Nur Muhammad. Dan karenanya, sebagai tempat tajalli Allah Swt yang sempurna dan terakhir. Manusia sempurna sebagai khalifah (wakil) Allah Swt dibumi. Beliau Ra ini memiliki beberapa gelar / pancaran, antara lain : Akal Pertama, Imam Mubin, Qalam al-A’la, Durrah al-Baidla’. Sesuai dengan judul nama kitab (Asrar al-Insan fi Makrifah ar-Ruh war Rahman) Syeh ar-Raniri, membahas nama Manusia Sempurna  (al-Ghauts Ra) dalam pasal pertama. dari folio 2b sampai folio 6a.
Dan pada folio 6b sampai folio 10a, Syeh menjelaskan kedekatan hamba kepada Tuhan terdapat maqam Wahidiyah, Ahadiyah dan Hakikah Muhmmadiyah. Sedangkan pembahasan tentang tugas dan kedudukan al-Ghauts, dijelaskan pada folio 10b samapai folio14a.
Diantara penjelasan Syeh ar-Raniri tentang keberadaaan al-Ghauts Ra  :
a.     Pada folio 1a, Syeh menerangkan :

كَاتَ ستعَهْ دَرِفَدَ مرِكَئِتُ بَهْوَاسَثَ رُوحُ القُدُّوسْ إِيْتُ يَائِتُ رُوحْ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Kata setengah dari pada mereka itu (kaum sufi-pen), bahwasanya Ruhul Quddus itu Ruh Muhammad Saw.

b.       Pada folio 2b Syeh menerangkan :  

خَلْيْفَة إِيْتُ دِنَمَائِي رُوْحُ الاَعْظَمْ. كتَهُوِي أُولِهْمُوهَيْ عَارِفْ بَهْوَسَثَ رُوْحُ الاَعْظَمْ فَدَا حَقِيْقَةْ يَائِيْتُلَهْ رُوْحُ إِنْسَانْ يَعْ مَظْهَرْ ذَاتِ الاِلَهِي دَرِفَدَ فِيْهَقْ رُبُوبِيَتْثَ .بَهْوَسَثَ هِيْدُفْ سكَالَ عَالَمْ برْكرَاقْ دعَنْ دِيَ دَانْلاَكِ سبَبْ كَارنَ إِعْتِبَارْ رُبُوبِيَتْثَ كأَدَأنْثََ تمْفَتْ ترْبِتْ حَيَاتْ يَعْ حَيَةْ

Khalifah itu dinamai Ruhul A’dlam. Ketahui olehmu, hai arif, bahwasanya Ruhul A’dlam pada hakikat, yaitulah “ruh insan”, yang madhhar (menjadi tempat penampakan) Dzat (nur) Ilahi dari pihak rububiyatnya. Bahwasanya, hidup segala alam bergerak dengan Dia. Dan lagi sebab karena i’tibar rububiyat-Nya keadaannya tempat terbit hayat yang hayat.

4.       Pada folio 3b Syeh menerangkan :

دَنْ إِمَامْ مُبِيْنْ فُونْ نَامَثَ سفرْةِ فِرْمَانْ الله تَعَالَى (وَكُلُّ شَيْئٍ أَحْصَيْنَاهُ فِيْ إِمَامٍ مُبِيْن)  دَانْ تِيَفْ2 سكَالَ سسُوَاتُ تلَهْ كَامِ هِيمْفُنكَنْْ اِيَ دَلَمْ كِتَابْ. مَكَ  سبَبْ دِنَمَائِي اَكَنْ خَلِيْفَةْ اِيْتُ اِمَامْ مُبِيْنْ.  دَرِ كَارنَ بَهْوَاسَثَ سكَالَ عَالَمْ عُلْوِي دَنْ سُفْلِي دِيْهِمْفُنْ دِدَلَمثَ مَكَ بَارَعْيَعْ أَدَ إِيَ أَصَلْ سكَالَ سسُوَاتُ فَتُوتْلَهْ إِيَ أَكَنْ إِمَامْ دَنْ سكَالَ سسُوَاتُ إِتُ مَأْمُومْثَ.

  Dan Imam Mubin pun namanya, seperti firman Allah Swt : Dan tiap-tiap segala sesuatu telah Kami himpunkan ia dalam kitab mubin. Maka sebab dinamai akan khalifah itu, Imam Mubin. Dari karena bahwasanya segala alam (ringkasan-pen) ulwi (atas-pen) dan sufli (bawah-pen) dihimpun didalamnya. Maka barang yang ada, ia asal segala sesuatu. Patutlah ia  Imam dan segala sesuatu itu makmum.

5.       Pada folio 4a, Syeh menerangkan :

دَنْ نُورُ الاَنْوَارْ فُونْ نَامَثَ سفرْةِ فِرْمَانْ الله تعالى (وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرَهُ) بَهْوَسَثَ الله جُوَا يَعْ مثمْفُرْنَاكَنْ نُورْثَ. دَنْ حَدِيثْ نَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (أَنَا مِنْ نُور اللهِ وَالعَالَمُ مِنِّي) نُورْكُو دَرِقَدَ
نُورْ الله دنْ عَالَمْ إِيْتُ دَرِقَدَ نُورْكُو. مَكَ سبَبْ دِنَمَائِي أَكَنْ خَلِيْفَة إِتُ نُورُ الانْوَارْ

Dan Nurul Anwar  pun namanya, seperti firman Allah Swt :  Bahwasanya Allah jua yang menyempurnakan nur-Nya. Dan hadis Nabi Saw :  Nurku daripada Nur Allah, dan alam itu daripada Nurku. Maka sebab dinamai khalifah itu, Nurul Anwar.
2.                 Syeh Abus Shamad al-Falimbani  (w. 1785 M).

Beliau sebagai penulis kitab “Siirus Saalikin”, (berbahasa melayu kuno). Beliau Ra adalah murid dari al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra (w.1758 M). Sebagaimana umumnya kitab tasawuf, dalam menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra, buku ini mengulas secara sekilas saja. Kitab ini merupakan syarah kitab “minhajul ‘abidin” karya Imam Ghazali Ra. Ketika membahas bab nafsu dalam juz III, beliau memaparkan adanya 2 (dua) kedudukan iman, wahidiyah dan ahadiyah.

Ketika mengulas bab “ajaib al-qalbi”, Syeh menjelaskan; pencapaian martabat insan kamil sangat berkaitan dengan keberhasilan sesorang dalam melawanan tujuh nafsu yang ada dalam jiwa; ammarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radliyah, mardlyah dan kamilah. Dalam melawan hawa nafsu, kekuatan dan persiapan seseorang tidak sama. Bagi orang yang memiliki kemauan keras, Allah Swt akan menolongnya. Namun, dalam perjuangan melawan nafsu, kebanyakan manusia berhenti pada nafsu yang keempat, nafsu mutmainnah. Sedangkan maqam nafsu mauthmainnah ini, sebagai tahapan awal kedekatan seseorang pada Allah Swt. Dan masih ada maqam diatasnya lagi, yakni maqam ahadiyah atau tamkin. Yang mana maqam ini merupakan tahap awal dalam memasuki maqam nafsu mutmainnah. Dan tahapan selanjutnya, seseorang akan memasuki maqam wahidiyah.

Memang - sebagaimana penjelasan Imam al-Ghazali dalam bab “dzammul ghurur” - banyak manusia yang tertipu oleh ke-aku-annya (ego/ diri rendah), hingga merasa sudah sampai ke puncak makrifat. Padahal masih ditengah jalan. Semestinya – demikian Syeh Palimbani -, menjelang tahapan maqam muthmainnah, setiap salik harus meningkatkan kesyauqan, kerinduan dan dapat melihat negatifnya nafsu tingkat tinggi dan kemudian menangis dengan segala kekurangan dan aibnya tersebut. Setelah nafsu muthmainnah –demikian Syeh Palimbani -, masih terdapat nafsu diatasnya, yaitu radliyah, mardliyah dan nafsu kamilah. Dan salik yang mencapai nafsu kamilah, hanya satu orang saja, dialah Insan Kamil lagi Mukammil atau dialah Manusia Khawas lagi Kawash al-Khawash (al-Ghauts Ra). Dalam penjelasan selanjutnya, Syeh Palimbani menerangkan, bahwa Syeh Muhammad Ibn Syeh Abdul Karim As-Samani, mampu mencapai derajat nafsu kamilah/ Manusia Sempurna/ Syeh al-Waliy al-Kamil al-Mukammil/ Quthb az-Zaman Ra.
3.                 Mohammad Nafis ibn Idris al-Banjari  (1735 M).
Beliau sebagai penulis kitab “Durrun Nafis”. Kitab ini juga berbahasa melayu kuno.
 Dan mengulas keberadaan waliyullah, kitab ini mengulas keberadaan al-Ghauts secara sekilas saja. Dan ketika membahas ke-Esaan Allah Swt, beliau memaparkan iman wahidiyah dan ahadiyah.
4.                 KH. Mishbah Zain Al Mushthafa.
Beliau adalah penulis kitab Tahrir  ad Durar Fii Aqwal al Auliya’ al Abrar-nya Bangilan - Tuban- Jawa timur.  Buku  ini  menerangkan  keberadaan 9 orang al-Ghauts Ra dengan disertai beberapa fatwa dan amanat dari mereka.
5.                 Dr. Yunasril Ali.
Beliau adalah penulis buku yang berjudul Manusia Citra Ilahi. Didalam buku ini mengulas tentang perbedaan antara Syeh Ibnu Arabi Ra dan Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra dalam mengulas martabat wahidiyah, ahadiyah, hakikatul Muhammadiyah dan Insan Kamil (al-Ghauts). Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra – sebagaimana keterangan Yunasril - lebih condong kepada aqidah sunni (al-wujud minal ‘adam/ creasio ex nihilo), sedangkan Ibnu Arabi Ra lebih condong kepada ulasan para ahli filasaf Islam. Sebab ulasan para filusuf muslim – menurut Syeh Ibnu Arabi -, tidak keluar dari kaidah al-Qur’an dan hadis.
6.                 Prof. Dr. Dawam Raharja (Pakar ekonomi Islam Indonesia).
Dengan karyanya Insan Kamil Dalam Konsepsi Islam. Buku ini bersifat kumpulan dari berbagai pendapat para pakar muslim dan non muslim yang membahas tentang keberadaan manusia sempurna (al-Ghauts Ra), yang diantaranya membahas pendapat Muhammad Iqbal tentang adanya manusia yang memiliki jiwa super ego.
7.                 Drs. Idrus Abdullah al-Kaaf dengan karya Bisikan Bisikan Ilahi.
Buku ini merupakan ulasan terhadap kitab ad-Durrul Mandzum li Dzawil Uquul wal Fuhuum-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi al-Haddad Ra. Dalam buku ini - selain menerangkan derajat Ghauts yang dijabat oleh Imam Ghazali Ra, Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra dan Syeh Umar al-Ahdali -, Idrus al-Kaf juga menerangkan bahwa Syeh Abdullah Alwi al-Haddad Ra dapat mencapai derajat al-Ghauts fii Zamanihi Ra yang wafat pada tahun 1132 H.
Sedangkan kitab dan karya para ulama dari luar Indonesia yang telah membahas keberadaan al-Ghauts Ra, antara lain   :

1.                 Imam Abul Qasim Hawazin al-Qusyairi Ra, karya Risalah al-Qusyairiyah.
2.                 Syeh Umar Suhrawardi Ra, karya  Awarif al-M’arif.
3.                 Syeh Abdul Qadir al-Jilani, karya  al-Ghunyah li Thalib al-Haqqi.
4.                 Abdul Wahab As Sya’rani Ra al-Yawaqit wal Jawahir dan Tabaqatul Kubro
5.                 Syeh Abdul Karim Al Jilliy Ra, karya al-Insan al-Kamil. Syeh Ahmad Kamsykhanawi Ra, karya  Jami’ul ushul al Auliya’
6.                 Syeh Muhammad Amin Al Kurdi Ra, karya Tanwir al-Qulub
7.                 Syeh Isma’il Nabhani Ra, karya Sa’adah ad-Daraini, Syawahid al-Haq, Jami’ Karamah al-Auliya’
8.                 Syeh Jalaluddin Suyuthi Ra, karya  al-Hawiy lil Fatawiy
9.                 Abu Nuaim al-Ishbahani Ra, karya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah as-Shufiyah
10.            Syeh Ali al-Jurjani Ra, karya Kitab at-Ta’rifat.
11.            Ibnu Arabi Ra, karya Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam
12.            Imam Ghazali Ra, dengan karya Misykat al-Anwar, al-Imla’ fi Isykalah al-Ihya, al-Madlnun Bih, dan al-Maqshad al-Asna dan Iljam al-‘Awam. Dalam beberapa kitabnya, Imam Ghazali menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra dengan istilah al-Kamil.
13.            Imam Ahmad bin al-Mubaarak dengan karya al-Ibriiz min Kalami Sayyidi Abdul Azziiz. Kitab ini merupakan catatan sejarah dan beberapa fatwa dan ajaran dari al-Ghauts Ra pada waktu itu. Yakni Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag. Syeh, yang menjabat al-Ghauts p[ada masanya , adalah seseorang yang tidak dapat membaca dan menulis (buta hurup). Namun, dalam menjawab pertanyaan tentang segala disiplin ilmu (hadis, tafsir, fiqih, nahwu/ balaghah, sejarah, maupun lainnya), jawaban Beliau Ra sangat melebihi dari jawaban para ahlinya yang tidak buta hurup.
14.            Syeh Ahmad bin Zaini Dahlan, dengan karya Taqriib al-Ushul li Tashiil al-Wushuul fii Ma’rifatilla wa ar-Rasuul.
15.            Kitab tafsir Siraj al-Munir  nya Syeh al-Khathib as-Syarbini.
Dalam kitab tafsir ini, Syeh al-Khathb memeperjelas ayat 251 surat al-Baqarah dengan hadis Nabi Saw dari Ibnu Mas’ud riwayat Abu Nuaim  dan Ibnu ‘Asakir (tentang keberadaan al-Ghauts Ra).
16.            Syeh Ibnu Abidin, dengan karya Ijaabah al-Ghauts. Kitab ini menerangkan, bahwa Syeh Ahmad Husaini at-Tijani (guru dari Ibnu Abidin) adalah al-Ghauts Ra pada zamannya. Kitab ini membahas tentang pangkat-pangkat serta etika atau ajaran dalam  kewaliyan, khususnya al-Ghauts Ra.
17.            Imam Ibnu Hajar al-Hatami dengan karya al-Fatawi al-Haditsiyah. Dalam buku ini, menerangkan nama nama dari beberapa al-Ghauts Ra. Antara lain : Ibnu Arabi, Syeh Zakariya al-Anshari dan beberapa al-Ghauts Ra yang dirahasiakan namanya, dan hanya disebut dengan seseorang yang berpangkat al-Ghauts Ra.  Dan pada ulasan tentang “rijalul ghaib”, Syeh menuliskan hadis ghauts yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Isfahani dan Imam Ibnu Asakirt Ra.
18.            Syeh Muhammad Usman al-Mirghani Ra (w. 1268 H), karya an-Nafahatul Makkiyah wa al-Lamhah al-Haqqiyah.[3]
Sebagai pengamal saydzalaiyah dan naqsyabandi serta mursyid thariqah naqsyabandiyah, Syeh menjelaskan beberapa nama sanad dan silsilah tarekat naqsyabandi dan syadzaliyah yang berpangkat al-Ghauts Ra. Diantaranya, Syeh Abdul Wahab at-Tazi Ra, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Ra, Syeh Muhammad bin Idris Ra, Syeh Abu Yazid al-Busthami Ra (w. 261 H), Sayid Imam Ja’far Shadiq (w 148 H), Syeh Abu Abbas al-Mursi Ra, Syeh Abdus Salam bin Masyisy Ra
19.            Syeh Ismail al-‘Ajuluuni Ra karya Kasyful Khifa’ wa Muzilul Ilbas. Kitab ini merupakan kitab yang menjelaskan hadis-hadis yang diperdebatan tentang hasan, dha’if, munkar dan maudlu’nya oleh para ulama.
20.            Syeh Muhammad Amin al-Kurdi degan karyanya Tanwir al-Quluub. Dalam bahasan fadlul auliya’, Syeh mnejelaskan hadis tentang al-Ghauts yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir. Dan pula, pentahqiq kitab, dalam memberikan pengantar kitab, mengabarkan tentang karomah jabatan puncak waliyullah (al-Quthb al-Kabir, al-Ghauts) yang dicapai oleh Syeh Amin Ra.
21.           Kitab ad-Da’wah at-Tammah-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi al-Haddad al-Yamani Ra.
G.   Al-Ghauts Dalam al-Qur’an & al-Hadits........ bersambung .....

CATATAN  :


18 Kitab Siraj at-Thalibiin juz II, hlm : 74
[1].     Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[2].     Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi Ra dalam kitab Jami’al-Ushul, menjelaskan :

وَأَمَّا عِلْمُ المُكَاشَفَةِ فَلاَ يَحْصُلُ بِالتَعْلِيْمِ وَالتَعَلُّمِ وَإِنَّمَا يَحْصُلُ بِالْمُجَاهَدَةِ التِي جَعَلَهَا اللهُ تَعَالَى مُقَدِّمَةً لِلْهِدَايَةِ

 Ilmu mukasyafah (tersingkapnya hati hingga dapat sadar kepada Allah Swt) tidak dapat dihasilkan dengan pembelajaran ilmu. Da hanya dapat dihasilkan dengan bermujahadah (perjuangan batin sungguh-sungguh), yang mana Allah Swt telah menjadikan mujahadah sebagai pendahuluan dari hidayah.
13.    Kitab dari tulisan asli dari Syeh Nuruddin terseimpan pada mosium kerajaan Belanda di Den Hak. Sedangkan yang ada di Indonesia merupakan disertasi yang ditulis oleh Tujimah untuk meraih gelar doctoral, dan yang diterbitkan oleh “Penerbitan Universitas Djakarta”  tahun 15 Maret 1960).
Syeh Nuruddin, merupakan satu dari beberapa ulama yang memberantas paham wahdatul wujud..  
[3].        Lihat Majmu’ah an-Nafahah ar-Rabbaniyah ala Rasail Mirghaniyah, penerbit “al-Haramain” Singapura. 


Kamis, 14 April 2016

Tetaplah Menjadi Manusia



Tetaplah menjadi manusia, begitulah pesan terakhir K.H. Musthafa Bisri seorang ulama’ besar kharismatik Nahdlatul Ulama’ dalam sebuah acara talk shaw di stasiun televisi Metro TV berjudul Mata Najwa. Mata Najwa adalah salah satu acara yang memiliki kontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa dengan menghadirkan tokoh – tokoh besar di negara ini mulai dari dunia politik, entertainer, religious dan sebagainya. Acara ini di bawakan oleh pembawa acara yang genius putri dari mufassir besar Indonesia Prof. DR. Quraisy Syihab.

Pesan K.H. Musthafa Bisri (yang akrab di sapa dengan Gus Mus) sangat sederhana, akan tetapi memiliki pesan yang begitu mendalam bagi mereka yang mau berfikir. Manusia, ya memang kita manusia dalam bentuk fisik. Tetapi benarkah kita manusia? Pertanyaan itu kiranya perlu kita tanyakan pada diri kita masing – masing.

Allah SWT menciptakan manusia di bumi sebagai khalifah fil ardli. Artinya manusia harus mampu menjadi pengganti Allah dalam mengatur pola kehidupan di bumi sehingga seluruh potensi alam yang telah diciptakan Allah bisa diberdayakan secara maksimal sehingga tercipta keselarasan, keharmonisan dan kemashlahatan secara umum. Untuk kepentingan itulah Allah membekali manusia dengan akal yang dengan akal itu manusia bisa berfikir dan mengelola seluruh potensi yang ada sesuai dengan kehendakNya. Selain itu Allah juga menundukkan seluruh yang ada di bumi kepada manusia. Sungguh ini adalah satu nikmat yang tiada tara bagi manusia.

Manusia diciptakan dalam sebaik baik bentuk demikian penegasan ayat al qur’an dalam surat al Thin. Tentunya hal ini juga menunjukkan tentang kedudukan manusia yang mulia melebihi makhluk lain selain manusia. Lagi – lagi alqur’an juga menegaskan itu dalam al qur’an surat al isra’ ayat 70:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (70) 

“Dan sesungguhnya telah kami mulyakan anak – anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan dilautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik – baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Q.S. al Isra’; 70)

Secara eksplitis ayat diatas menerangkan tentang kemulyaan anak – anak Adam (manusia) bila dibandingkan dengan makhluk lain. Kemudian dalam ayat ini juga terkandung makna penundukan Allah terhadap daratan dan lautan untuk manusia. Ia juga memberikan rizki yang baik dan melebihkan manusia dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Ia ciptakan.

Melihat ayat diatas sudah sepatutnya manusia bersyukur atas kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya dengan cara menggunakan nikmat  - nikmat tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki Sang Pemberi nikmat “Allah Azza Wajalla”.

Pesan Gus Mus yang sederhana, “Tetaplah menjadi manusia, pahamilah manusia, mengertilah manusia, manusiakanlah manusia” seolah menjadi sentilan gaya Gus Mus yang begitu halus dalam menggambarkan kehidupan saat ini. Banyak manusia yang bertebaran di muka bumi ini, namun mereka tak ubahnya seperti bintang. Perilaku mereka seperti binatang yang tak memiliki pikiran. Menebar benih permusuhan, membuat kerusakan, saling menerkam dan saling menghisap darah. Begitulah mungkin gambaran dunia saat ini.

Disana sini banyak penyimpangan, narkoba, perjudian, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, perselingkuhan dan sebagainya selalu menjadi berita akrab yang kita dapatkan baik melalui media elektronik maupun cetak. Sungguh gambaran kehidupan yang begitu memprihatinkan. Lalu, dimanakah peran manusia sebagai khalifah fil ardli? Apakah peran mereka telah tergantikan oleh yang lain? Itulah yang mungkin patut untuk kita pertanyakan.

Ketika manusia telah terjerumus kelembah dosa dan kemaksiatan, kehancuran semakin tampak di depan mata. Manusia yang seharusnya tetap menjadi manusia yang memerankan perannya sebagai khalifah fil ardli telah berubah menjadi binatang – bintang yang tak berperikemanusiaan. Menerkam kesana kemari, membuat kerusakan dimana mana. Dalam kondisi seperti itulah pada dasarnya manusia telah dikembalikan kepada posisi paling hina diantara yang paling hina. Lebih hina daripada binatang bahkan kotorannya sekalipun. Dalam kondisi seperti ini manusia membutuhkan sebuah pencerahan untuk mengembalikan jati dirinya sebagai anak Adam.

Setiap anak Adam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik – baik yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat. Taubat artinya kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridlai Allah dan rasulNya. Jalan ini adalah jalan yang ditempuh oleh anbiya’ mursalin, syuhada’ shalihin dan auliyaillah radliyallahu ‘anhum.

K.H. Musthafa Bisri berpesan agar kita tetap menjadi manusia bukan yag lain. Menjadi sosok yang dikehendaki Allah di awal penciptaannya. Tetap menjalankan kewajibannya sebagai khalifah Allah di bumi.

Sebagai tokoh agama yang kharismatik Gus Mus memberikan pencerahan yang luar biasa bagi kita semua. Seorang ulama’ yang bersahaja, bisa bergaul dengan semua kalangan mulai rakyat jelata, politisi, ulama’ dan lain sebagainya. Nafas kehidupan beliau adalah dakwahnya dalam mengajak umat manusia untuk kembali kepada jalan Sang Khaliq “Shirathal Mustaqim”. Meski demikian beliau tidak pernah menonjolkan diri sebagai ulama besar. Akhlaq pribadinya mencerminkan akhlaq Rasulullah SAW. Semoga Allah memanjangkan umur beliau dan memunculkan generasi ulama penyejuk hati seperti beliau. Amin… Allahu A’lam..