Pengertian Dan Redaksi Shalawat.

Di Copy Paste dari Blog A
Forum Diskusi Bersama Pengamal Shalawat Wahidiyah
A.               Pengertian Shalawat.
Firman Allah Swt, Qs. al-Ahzaab : 56

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَبِي يَأَيّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمً

Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu semua kepadanya dan bersalamlah [1] dengan salam/ taslim yang semestinya.

Ayat shalawat diatas menunjukkan tentang keagungan fungsi dan ketinggian makna serta tujuan shalawat kepada Rasulullah Saw.[2] Sebelum memerintahkan kepada orang mukmin agar bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, Allah Swt bershalawat terlebih dahulu. Padahal Dia Yang Maha Pencipta, yang tidak membutuhkan pertolongan makhluk (termasuk Rasulullah Saw). Shalawat-Nya kepada Rasulullah Saw, sebagai penguat, pendorong dan sebagai penjelas terhadap pentingnya setiap mukmin bershalawat nabi. Dan karenanya, sebagai manusia yang membutuhkan Rasulullah Saw serta berhutang budi kepadanya, seharusnya senantiasa menyanjungkan shalawat kepadanya.
Diantara keagungan dan hikmah yang terkandung dalam ayat shalawat diatas :   
  a). penggunaan kata kerja (fi’il mudlari’ : يُصَلُّوْنَ /  yushalluna) yang bermakna = sedang atau akan bershalawat). Penggunaan fi’il mudlari’ disini, sebagai pemberitaan tentang kelestarian atau kesenantiasaan. Berbeda dengan fi’il madly (kata  صَلَّى: yang memiliki makna telah/ sudah bershalawat), menunjukkan arti pengamalan shalawat dalam waktu yang telah lewat (sudah dilakukan), dan sekarang tidak lagi bershalawat.
Dengan kata lain, Allah Swt dan malikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw “tidak mengenal batas jumlah dan waktu”. Artinya, Allah Swt setelah menciptakan Nabi Muhammad Saw, senantiasa bershalawat kepadanya pada waktu dahulu, sekarang dan nanti (terus menerus/ senantiasa). Demikian pula malaikat, setelah memahami kalau Allah Swt saja bershalawat, maka mereka mengikuti dan senantiasa bershalawat.
Dalam hal ini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani Ra (w. 1933 M) dalam kitabnya Afdlalus Shalawat,[3] menukil dari fatwa Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra : Aku mendengar guruku (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ali al-Khawas Ra) berkata :

صَلاَةُ اللهِ عَلَى عَبْدِهِ لاَيَدْخُلُهَا العَدَدُ لأِنَّهُ لَيْسَ لِصَلاَتِهِ تَعَالَى اِبْتِدَاءٌ وَلاَ اِنْتِهَاءٌ. وَإَنَّمَادَخَلَهَا العَدَدُ مِنْ حَدِيْثٍ مَرْتَبَةُ العَبْدِ المُصَلِّي لأَنَّهُ مَحْصُورٌ مُقَيَّدٌ بِالزَمَانِ.  فَتَنْزِلُ الحَقُّ تَعَالَى لِلْعَبْدِ بِحَسَبِ شَاكِلَةِ العِبْدِ.  فَأُخْبِرَ أَنَّهُ يُصَلِّي عَلَى عَبْدِهِ بِكُلِّ مَرَّةٍ عَشْرًا, فَافْهَمْ.

Dalam shalawat Allah Swt kepada hamba-Nya tidak dapat memasukkan jumlah bilangan. Kerana shalawat Allah Swt itu tidak ada istilah permulaan dan kesudahan waktu. Dan sekiranya memasukkan bilangan – sebagaimana keterangan dalam hadis –, dikarenakan berkaitan dengan shalawat yang dilakukan oleh hamba, yang tidak terlepas dengan adanya zaman. Allah Swt dalam menurunkan rahmat-Nya, sudah tentu menggunakan istilah yang disesuaikan dengan hamba (makhluk). Hingga penjelasan (dalam hadis), Allah membalas dengan sepuluh kali shalawat kepada orang yang bershalawat satu kali.

b. shalawat merupakan amal ibadah yang sangat mudah diterima oleh Allah Swt, tanpa memerlukan persyaratan yang berat sebagaimana dalam ibadah lainnya.
c. bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw merupakan cara paling mudah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
d. bershalawat dapat menumbuhkan rasa mahabbah kepada Rasulullah Saw dengan. Yang mana, rasa mahabbah tersebut merupakan kunci kesempurnaan iman kepada-Nya.
Makna Shalawat

Kata SHALAWAAT merupakan kata jama’ dari akar kata shalaat yang menurut bahasa, asal maknanya adalah DOA.
Makna secara umum  :
1.             Shalawat Allah Swt kepada Rasulullah Saw adalah anugrah-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Diantara anugrah tersebut, antara lain berupa rahmat, pujian, kemulyaan, keagungan (rahmat ta’dzim) dan sekaligus kedekatan-Nya kepada rasul secara khusus.  Sedangkan shalawat-Nya kepada selain Nabi Muhammad Saw adalah rahmat dan ampunan.[4]
2.             Shalawat malaikat kepada Nabi Muhammad Saw adalah menghormat serta memulyakannya, yang dilakukan dalam bentuk perbuatan dan doa permohonan agar Allah Swt menampakkan keagungan dan kemulyaan Rasulullah Saw.
3.             Shalawat orang mukmin kepada Nabi Muhammad Saw adalah memujinya, menghormatnya dan memulyakannya sesuai kedudukan dan keagungan yang diberikan oleh Allah Swt. Pujian, penghormatan dan pemulyaan ini, dilakukan dalam bentuk perbuatan dan doa permohonan agar Allah Swt menampakkan keagungan dan kemulyaan Rasulullah Saw.[5]
Kata SHALAWAT, merupakan kalimat pokok yang terdapat dalam susunan redaksi doa (baik berbahasa arab atau bahasa lainnya). Pada umumnya, redaksi shalawat menunjukkan arti sanjungan terhadap keagungan dan kemulyaan Rasulullah Saw dan juga permohonan agar Allah Swt senantiasa mencurahkan serta menampakkan keagungan dan kemulyaan Nabi Muhammad Saw ditengah-tengah kehidupan nyata. Dan pula biasanya, disertai dengan kata-kta yang memiliki makna yang menunjukkan kepada arti bahwa Rasulullah Saw adalah tempat keselamatan, kedamaian dan keberkahan bagi setiap makhluk. Dan redaksi shalawat akan lebih menjadi sempurna bila disertai sanjungan shalawat juga kepada keluarga dan sahabatnya.
Penggunaan kalimat SHALAWAT dalam redaksi shalawat yang menggunakan bahasa arab\, antara lain :
1.            Menggunakan fi’il madli (kata kerja telah lewat), seperti kata SHALLA (صَلَّى). Menurut makna aslinya kata ini menunjukkan pelaksanaan shalawat dalam waktu yang telah lewat, yakni : <Allah> telah bershalawat).
2.            Menggunakan fi’il mudlari’ (kata kerja makna sedang atau akan), seperti kata YUSHALLIY ((يُصَلِّي, yang menurut makna aslinya memiliki arti <Allah> sedang atau bershalawat). Redaksi shalawat yang menggunakan kata YUSHALLIY menunjukkan Allah Swt bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw dilaksanakan dalam waktu sekarang dan akan datang. Maknanya menunjukkan kelestarian shalawat Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw.
3.            Menggunakan isim mashdar (kata jadian), seperti kata SHALAT atau SHALAWAT صَلاَة) atau صَلَوَات. Redaksi shalawat yang menggunakan kata ini tidak menjelaskan waktu pelaksanaan (baik sudah, sedang atau akan).
4.            Menggunakan fi’il amar (kata perintah atau permohonan), seperti kata SHALLI (صَلِّ ) yang memiliki arti : (Ya Allah)  berikanlah  shalawat-Mu). Redaksi shalawat yang menggunakan kata ini menunjukkan makna permohonan agar Allah Swt menyampaikan shalawat-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, atau dengan kata lain, agar Allah Swt semakin menampakkan makna shalawat tersebut.
Kata pokok shalawat tersebut diatas, kemudian dirangkai dengan kalimat عَلَى مُحَمَّد (‘alaa Muhammad = kepada Nabi Muhammad), atau dengan asma Nabi Muhammad Saw yang lain (Thaha, Yasin, Mushthafa, al-Hadi, as-Syafi’, Musyaffa’, Nural Khalqi dan lainnya), dan atau ada tambahan rangkaian kata وَعَلَى آلِهِ   (wa ‘aalihi = dan kepada keluarganya), dan atau dengan وَصَحْبِهِ  (washahbihi = dan sahabatnya).
Para ulama telah bersepakat; bahwa didalam kata صَلَّى = shalla, sudah mengandung arti kata بَارَكَ = memberi barakah dan kata سَلَّمَ = memberikan salam. Redaksi shalawat yang hanya menggunakan kata “shalla” saja, tanpa disertai kata “baraka” dan “sallama”, maknanya sudah mencakup keduanya. Dan sering juga dalam redaksi shalawat, kedua kata tersebut dirangkai dengan kata صَلَّى = shalla, dengan maksud sebagai penguat dan penjelas kepada makna shalla.
Tujuan Pemilihan Kalimat

Makna semua redaksi shalawat, bertujuan memberitahukan bahwa Allah Swt bershalawat kepada Rasulullah Saw tanpa disebabkan oleh permohonan dari hamba-Nya,  dan murni dari kehendak-Nya Sendiri Yang Mutlak.
Sedangkan tujuan penggunaan kata shalla, yushalli atau kata jadiannya shalat, shalawat, paling tidak terdapat tiga (3) makna :
1.             Sebagai pemberitahuan (kepada mukmin) bahwa Allah Swt telah mencurahkan shalawat-Nya kepada Nabi Muhammad Saw.[6]
Kalimat pokok yang dipakai, biasanya menggunakan kalimat berita :
a.      Fi’il madly (kata kerja bermakna telah lewat/ sudah melaksanakan) :
*. صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمّد = Shallallahu ‘alaa Muhammad  : Allah telah bershalawat kepada Nabi Muhammad.
*.صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم = Shalla Allahu ‘alaihi wa sallama  : Allah telah bershalawat dan bersalam kepadanya.
*. صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وبَارَكَ وَسَلَّمَ = Shallallahu ‘alaihi wa baaraka wa sallama = Allah telah bershalawat, memberi barakah dan bersalam kepadanya (rasul)
b.      fi’il mudlari’ (kata kerja yang bermakna sedang atau akan melaksanakan) :
  اللهُ يُصَلِّي وَيُسَلِّمُ وَيُبَارِكُ عَلَيْهِ = Allahu yushalli wa yusallimu wa yubariku ‘alaihi =: Allah sedang bershalawat menyampaikan dan memberkati kepadanya (rasul).
c.      Isim mashdar (kata jadian) dari kata kerja  صَلَى : shalla,بَارَكَ   : baraka atau  سَلَّم :
sallama (yang menujukkan tanpa ada penjelasan waktu pelaksanaan) :
صَلاَةُ اللهِ سَلاَمُ اللهِ عَلَى طَهَ رَسُوْلِ اللهِ = Shalatullah salamullah ‘alaa Thaha Rasulillah : Shalawat dan salam Allah (diberikan) kepada Thaha Rasulullah.  
2.             Sebagai pengakuan, sanjungan dan penghormatan mukmin. Kalimat yang digunakan biasanya menggunakan kalam khabar (baik jumlah isimiyah atau fi’liyah). Misalnya :
a.       Ash-shalaatu was salaamu ‘alaika wa ‘alaa aalika yaa sayyidi yaa rasuulallah  : [7]    
 الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِكَ يَاسَيِّدِي يَا رَسُولَ الله

 Shalawat dan salam (Allah) senantiasa tercurah kepadamu dan keluargamu, duhai Pimpinan kami, duhai Utusan Allah.
b.      Yaa Syaafi’al Khalqis Shalaatu Wassalam, ‘Alaika Nuural Khalqi Haadiyal Anaam /

  يَا شَافِعَ الخَلْقِ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ عَلَيْكَ نُورَ الخَلْقِ هَادِيَ الأنَامِ :  Duhai Nabi Pemberi syafaat makhluk, shalawat dan salam Allah (senantiasa) kepadamu, duhai Nabi Cahaya makhluk. Nabi Pembawa hidayah manusia.

Makna yang terkandung dalam susunan redaksi shalawat diatas menunjukkan bahwa pengamal shalawat telah menyadari dan mengakui dengan sepenuh hati  bahwa shalawat dan salam Allah Swt senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Saw, baik ada atau tidak permintaan dari makhluk.
3.             Sebagai permohonan mukmin kepada Allah Swt.
Kata shalawat menggunakan kerja perintah atau permohonan (fi’il amar), misalnya :
a.       Allahumma shalli ‘alaa Muhammad =    أَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ:  Ya Allah sampaikanlah shalawat-Mu kepada Nabi Muhammad.

b.      Allahumma Shalli wa sallim wa baarik ‘ala Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad = 
صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد   اللهُمّ   
Ya Allah sampaikanlah shalawat, salam dan berkah-Mu kepada Pimpinan kami Nabi Muhammad dan kepada keluarga Pimpinan kami Nabi Muhammad.
Makna yang terkandung dalam susunan redaksi jenis ketiga ini menunjukkan mushalli (orang yang bershalawat) memohon kepada Allah Swt agar memberikan shalawat (menampakkan keagungan dan kemulyaan)-Nya kepada Rasulullah Saw.
Makna yang dapat dipahami dari penggunaan redaksi jenis ketiga ini :
a.        mushalli belum memahami tentang shalawat Allah Swt yang senantiasa tercurahkan kepada Nabi Saw, atau
b.        mushalli sudah menyadari bahwa shalawat-Nya senantiasa tercurahkan kepada rasul. Dan mereka bershalawat semata-mata atas perintah Allah Swt bukan karena meyakini Allah Swt baru/ akan bershalawat setelah ada permohonan.
c.        Mushalli berharap agar Allah Swt berkenan semakin menampakkan kebesaran dan keagungan Rasulullah Saw ditengah tengah kehidupan nyata melalui wakilnya, yaitu Ghauts pada setiap zaman.
B.               Tujuan Dan Fungsi Shalawat.
Sangat banyak fungsi atau faedah shalawat kepada Rsulullah Saw, dan hanya Allah Swt yang mengetahuinya. Perjuangan Wahidiyah dengan amalan shalawat Wahidiyah bertujuan memberi pengertian kepada ummat dan masarakat tanpa pandang bulu agar memahami dan merasakan keagungan serta kedudukan Rasulullah Saw disisi-Nya. Hanya dengan bershalawat (lebih-lebih dibimbing oleh Guru Kamil Mukammil/ al-Ghauts) Ra), jalan menuju pemahaman tentang keberadaan dan kebesarannya secara musyahadah.
Diantara keagungan fungsi atau faedah shalawat tersebut, antara lain :
1.                 Untuk memudahkan terkabulnya permohonan mukmin kepada Allah Swt.
Doa permohonan yang dipanjatkan oleh mukmin tidak akan sampai kepada Allah Swt, selama tidak disertai dengan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah Saw bersabda : [8]

الدُعَاءُ مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَمَاءِ وَالأَرْضِ لاَ يَصْعَدُ حَتَّى يُصَلِّى عَلَىَّ فَلاَ تَجْعَلُوْنِى كَغَمْرِ الرَاكِبِ فَصَلُّوا عَلَيَّ أَوَّلَ الدُعَاءِ وَأَخِرِهِ وَأَوْسَطِهِ

Doa berhenti antara langit dan bumi yang tidak dapat naik (tidak sampai kepada Allah), hingga (orang yang berdoa) bershalawat kepadaku. Maka, janganlah kamu semua membuatku bagaikan (gelas minuman pengemudi).[9] Dan bershalawatlah kepadaku, pada awal, akhir dan pada pertengahan doa.
Makna lain dari hadis ini, mengabarkan bahwa mukmin harus menyadari bahwa Rasulullah Saw merupakan penyebab terkabulnya doa. Dan karenanya, Beliau Saw harus ditempatkan pada awal, pertengahan dan akhir doa. Mukmin akan ternilai tidak baik (berakhlak buruk), jika menjadikan Rasulullah Saw bagaikan gelas pengemudi, yang dipakai jika dibutuhkan, dan diletakkan (tidak dipakai) jika sudah tidak dibutuhkan, bagaikan dalam pepatah : “habis manis sepah dibuang”.
2.                 Untuk mendapatkan rahmat dan anugrah Allah Swt yang berlimpah.
Makna bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, bukan berarti menolong kepada Nabi Saw, akan tetapi manfaatnya kembali kepada orang yang bershalawat
 itu sendiri. Sebagaimana tercermin dalam sabda  Rasulullah Saw : [10]

صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Barang siapa bershalawat kepada-ku sekali saja, maka Allah Akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.
3.                 Untuk memperoleh kedekatan kepada Allah Swt sedekat-dekatnya. Sebagaimana yang diterangkan dalam sabda Rasulullah Saw tentang Nabi Musa As.  

أَوْحَى اللهُ تَعَالَى مُوسَى : يَا مُوسَى أَتُرِيْدُ أَنْ أَكُونَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كَلاَمِكَ إِلَى لِسَانِكَ وَمِنْ وَاسْوَاسِ قَلْبِكَ إِلَى قَلْبِكَ وَمِنْ رُوحِكَ إِلَى بَدَنِكَ وَمِنْ نُورِ بَصَرِكَ إِلَى عَيْنِكَ ؟. قَالَ : نَعَمْ.  قَالَ : أَكْثِرِ الصَلاَةَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Allah Swt memberikan wahyu kepada Musa : Wahai Musa apakah kamu ingin AKU lebih dekat kepadamu daripada pembicaraanmu dengan lisanmu, daripada bisikan hatimu dengan hatimu, daripada ruhmu dengan badanmu dan dari pada cahaya matamu dengan matamu ?. Jawab Musa : Ya. Allah Swt bersabda : Perbanyaklah bershalawat kepada Muhammad Saw.[11]
4.               Untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah Saw serta memohon doa restu dan syafaatnya, serta untuk rahmat Allah Swt. Sebagaimana keterangan dalam :
a.             Firman Allah Swt, Qs. at-Taubah : 99 :

 مِنَ الأَعْرَابِ مَنْ يُؤِمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَايُنْفِقُ قُرُبَاتٍ عِنْدَ اللهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ أَلاَ إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَهُمْ سَيَدْخِلُهُمُ اللهُ فِي رَحْمَتِهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ

Dan diantara mereka, ada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (dijalan Allah) sebagai jalan pendekatan kepada Allah dan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah infaq tersebut sebagai jalan (pendekatan kepada Allah dan untuk memperoleh doa Rasul) bagi mereka. Kelak Allah akan memasukkan mereka kedalam rahmat-Nya. Sesungguhnya Allah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b.             Hadis riwayat Imam Baihaqi dari sahabat Abi Umaamah Ra  :

مَنْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبُهُمْ مِنِّي مَنْزِلَةً.

Barang siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, maka dialah yang paling dekat kedudukannya dengan aku.[12]
c.             Hadis riwayat Imam Muslim, dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda:

لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَصَلُّو عَليَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ عَلَيَّ تُبَلِّغُونِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ

Janganlah kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu jadikan kuburku  seperti  hariraya,  bershalawatlah  kamu  semua  kepadaku.   Sesungguhnya shalawatmu sampai kepadaku dimanapun kamu semua berada.

               Hadis riwayat Muslim ini, maknanya diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Syeh Abdur Razaq,[13] Ibnu Khuzaimah dan Imam Hakim dari jalur Anas Ibn Malik Rasulullah Saw bersabda :[14]

أَكْرِمُوا بُيُوتَكُمْ بِبَعْضِ صَلاَتِكُمْ وَلاَتَتَّخِذُوهَا قُبُورًا.
               Mulyakanlah rumahmu dengan sebagian shalawat (dan shalat)-mu. Dan janganlah menjadikannya sebagai kuburan.
d.             Hadis riwayat Imam Thabrani dan Imam Ibnu Majah dari Abu Darda’, Rasulullah Saw bersabda  : [15].

وَإِنْ أَحَدٌ لَيُصَلِّيَ عَلَيَّ إِلاَّ عُرِضَتْ عَلَيَّ صَلاَتُهُ حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا. قُلْتُ : وَبَعْدَ المَوتِ ؟. قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ  عَلَى الأرْضِ أَنْ تَاْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءَ, فَنَبِيُّ اللهِ حَيٌّ يُرْزَقُ

Dan tidaklah seseorang yang bershalawat kepadaku, kecuali shalawatnya diperlihatkan kepadaku sampai ia selesai dari bershalawat. Aku (Abu Darda’) berkata: dan setelah mati?. Jawab (Rasulullah Saw) : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada bumi (masa) memakan (merusak)  jasad para nabi. Nabiyullah itu tetap hidup dan mendapat rizki.[16]
Dari beberapa hadis yang tertulis diatas, dapat diambil  tiga kesimpulan :
a.      Setiap mukmin wajib beriman bahwa Rasulullah Saw masih hidup secara ruhani.
b.      Semakin banyak seseorang bershalawat kepadanya, berarti semakin dekat jiwanya kepada Rasulullah Saw.
c.      Kedekatan mukmin kepada Allah Swt, diukur dari seberapa jauh atau dekatnya dengan Rasulullah Saw. Semakin dekat jiwa mukmin kepada Rasulullah Saw berarti semakin dekat kepada Allah Swt. Demikian pula sebaliknya, semakin jauh dari Rasulullah Saw, berarti semakin jauh dari Allah Swt
5.                 Untuk memahami tingginya kedudukan Rasulullah Saw disisi Allah Swt yang mengalahkan kedudukan semua mahluk, secara musyahadah.

لِيُعَرِّفَهُمْ عُلُوَّ مِقْدَارِهِ عِنْدَهُ عَلَى جَمِيْعِ خَلْقِهِ. وَلِيُخْبِرَهُمْ أَنَّهُ لاَيَقْبَلُ مِنْ عَامِلٍ إِلاَّ بِالتوَسُّلِ إِلَى اللهِ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَمَنْ طَلَبَ القُرْبَ مِنَ الله وَتَوَجَّهَ عَلَيْهِ دُونَ التَوَسُّلِ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَلَّ سَـعْيُهُ وَخَسِرَ عَمَلُهُ

Untuk memberitahukan kepada semua mukmin tentang ketinggian kedudukan Rasulullah Saw disisi-Nya yang mengalahkan seluruh kedudukan makhluk lainnya. Dan untuk mengkabarkan bahwa sesungguhnya amal seseorang tidak akan diterima, kecuali bertawassul melalui Rasulullah Saw.
Maka, barang siapa mencari jalan kedekatan kepada Allah dan cara menghadap kepada-Nya tanpa bertawassul kepada (Rasulullah) Saw, maka tersesat jalannya serta sia-sia amalnya.[17]
6.                 Sebagai cetusan rasa cinta, rindu, menghormat, memulyakan (ikram), mengagungkan (ta’dzim) dan kepada Rasulullah Saw.
Tentang mahabbah kepada Rasulullah Saw yang dicetuskan dengan pengamalan shalawat, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah menjelaskan : [18]

أَنَّهَا سَبَبٌ لِدَوَامِ مَحَبَّتِهِ لِلرَّسُولِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزِيَادَتِهَا وَتَضَاعُفِهَا. وَذَالِكَ عَقْدٌ مِنْ عُقُودِ الإِيْمَانِ الَذِيْ لاَ يَتِمُّ إِلاَّ بِهِ. لأَنَّ العَبْدَ كُلَّمَا أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِ المَحْبُوبِ  وَاسْتِحْضَارِهِ  فِي قَلْبِهِ  وَاسْتِحْضَارِ مَحَاسِنِهِ وَمَعَانِيْهِ الجَالِيَةِ تَضَاعَفَ حُبُّهُ لَهُ وَتَزَايَدَ شَوْقُهُ إِلَيْهِ وَاسْتَوْلَى عَلَى جَمِيْعِ قَلْبِهِ.
Sesungguhnya (shalawat) menyebabkan cinta (mahabbah) seseorang kepada Rasulullah Saw bertambah-tambah dan berlipat ganda (meningkat). Hal ini (cinta) merupakan bagian yang sangat penting dari iman. Yang mana iman tidak akan sempurna tanpa cinta. Karena setiap seseorang banyak mengingat kekasihnya, menghadirkannya dalam hatinya, mengingat kebaikannya yang jelas, maka dapat meningkatkan kecintaan pada kekasih, serta rasa rindu kepada kekasih semakin bertambah dalam, dan kecintaan telah akhirnya akan menguasai hati.
Demikian pula, Imam al-Qurthubi menjelaskan[19].

         كُلُّ مَنْ أَمَنَ بِالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيْمَانًا صَحِيْحًا لاَ يَخْلُو عَنْ وِجْدَانِ شَيْئٍ مِنْ تِلْكَ المَحَبَّةِ الرَاجِحَةِ غَيْرِ أَنَّهُمْ مُتَفَاوَتُوْنَ. فَمِنْهُم ْمَنْ أَخَذَ مِنْ تِلْكَ المَرَتَّبَةِ بِالحَطِّ الأَوْفَى وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَ بِالحَطِّ الأَدْنَى كَمَنْ كَانَ مُستَغْرِقًا فِي الشَهَوَاتِ مَحْجُوبًا فِي الغَفْلاَتِ. وَلَكِنّ الكَثِيْرَ مِنْهُمْ إِذَا ذُكِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِشْتِقَاقُ إِلَى رُؤْيَتِهِ

Setiap orang yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw dengan iman yang sebenarnya, (hatinya) tidak pernah hampa dari memperoleh hasil rasa cinta kepada rasul. Hanya saja kecintaan mereka kepada Nabi Saw berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang cintanya telah mencapai tingkat yang tinggi. Dan sebagian mereka hanya mencapai tingkat yang rendah, karena masih tenggelam dengan hawa nafsunya, serta hati mereka tertutup dengan kealpaan. Tapi, sebagian besar mereka ketika disebut nama Rasulullah Saw, maka hasrat dan rindu mereka untuk bertemu dengan Beliau Saw sangat besar.
7.                 Menghindari ancaman dan murka dari Allah Saw.
Terdapatnya ancaman celaka bagi orang yang tidak tidak bershalawat kepada Rasulullah Saw ketika menyebut atau mendengar asmanya :

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٌ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

Sangat buruk wajah seseorang yang nama-ku disebut disisinya kemudian ia tidak bershalawat kepada-ku. [20]
مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ فَقَدْ شَقِيَ.

Seseorang yang nama-ku disebut disisinya, kemudian tidak bershalawat kepada-ku, maka ia niscaya celaka.[21]
8.                 Agar mukmin menjadikan Rasulullah Saw sebagai perantara antara Allah Swt dan mahluk-Nya. Diterangkan oleh al-Ghauts fii Zamanihi Syeh an-Nabhani Ra : [22].

إِشْتِغالُ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ هُوَ الوَاسِطَة بَيْنَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَبَيْنَ العِبَادِ وَجَمِيْعِ النِعَمِ الوَاصِلَةِ إِلَيْهِمْ التِي أَعْظَمَهَا الهِدَايَةُ الاِسْلاَمُ. إِنَّمَا هِيَ بِبَرَكَتِهِ وَعَلَى يَدَيْهِ

Agar hati tersibukkan dengan haq Nabi Muhammad Saw. Sebab Beliau merupakan perantara (media) antara Allah Swt dan hamba-Nya dalam seluruh nikmat yang sampai kepada mahluk, yang mana hidayah Islam merupakan nikmat yang paling agung. Sesungguhnya (seluruh nikmat yang diterima) adalah sebab berkah dan jasa dari Rasulullah Saw.
            Dengan demikian, merupakan pendapat yang salah, jika seseorang mengatakan; bahwa ridla Allah Swt dapat diperoleh tanpa melalui Rasulullah Saw. Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Imam Shawi Ra menjelaskan :

        فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَصِلُ اِلَى رِضَا اللهِ بِدُونِ اتِّخَاذِهِ صَلَّى الله عليه وسلم وَاسِطَةً وَوَسِيْلَةً بَيْنَهُ وَبيْنَ الله تعالى ضَلَّ سَعْيُهُ وَخَابَ رَأْيُه

Barang siapa memiliki anggapan, bahwa sesungguhnya dirinya dapat wushul sampai kepada ridha Allah tanpa menjadikan Rasulullah Saw sebagai penengah dan wasilah antara dirinya dan Allah Swt, maka tersesatlah jalannya dan merugikan pendapatnya itu (kepada orang lain).[23]
9.                 Untuk memudahkan memahami keberadaan Syeh Kamil Mukammil (Ghauts Hadzaz Zaman Ra).
Didalam redaksi shalawat pada umumnya, terdapat makna pencurahan shalawat kepada keturunan Junjungan kita Nabi Muhammad = وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مًحَمَّدٍ. Makna dari kata “aali/ anak keturunan” – sebagaimana penjalasan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Ghani an-Nablusi Ra – adalah :

وَهُمْ العَارِفُونَ الكَامِلُونَ مِنْ أَهْلِ الاجِتِمَاعِ الرُّوحَانِي وَاللقَاءِ الجَسْمَانِي.

                        Mereka adalah orang-orang yang makrifat (kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw) yang sempurna dari kalangan orang-orang yang bersama (Rasulllah) secara ruhani dan pertemuan tersebut secara jasmani.[24]
                        Dengan berdasar beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Saw,[25] kata “aalu” dalam redaksi shalawat, mengisyaratkan adanya Syeh Arif Yang Kamil Mukammil dalam setiap waktu. Dan shalawat jika diamalkan dengan sesuai aturan adab yang berlaku, dapat digunakan untuk mencapai derajat Ghautsiyah, serta dapat digunakan untuk mengetahui dan memahami keberadaan al-Ghauts Ra. Karena sebagai wakil dari Rasulullah Saw, sudah tentu jalan yang paling mudah untuk memahami keberadaanya,  melalui pengamalan shalawat dengan diniatkan untuk mencari dan memahami keberadaanya.
                        Sehubungan makna kata “aali” – sebagaimana penjelasan Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra dalam bershalawat, Mbah Yai Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah memohon kepada Allah Swt, agar manfaat shalawat Wahidiyah dapat digunakan untuk mencapai derajat “ghautsiyah” bagi salah satu orang dari sekian banyak pengamal Wahidiyah, serta dapat digunakan untuk memahami dan melaksanakan rabithah  kepada al-Ghauts Hadzaz Zaman Ra oleh pengamal wahidiyah lainnya serta ummat dan masarakat. Dan kemudian Beliau Qs wa Ra, mencantumkan doa rabithah [26] tersebut dalam redaksi Shalawat Wahidiyah.

يَأَيُّهَا الغَوثُ سَلاَمُ اللهِ  عَلَيْكَ رَبِّنِي بِإِذْنِ اللهِ
وَانْظُرْ إِلَيَّ سَيِّدِي بِنَظرَةٍ        مُوْصِلَةٍ لِلْحَضْرةِ العَلِيَّةِ

Duhai Ghaus, salam Allah kepadamu. Bimbinglah aku dengan izin Allah. Sinarilah aku, duhai pimpinanku, dengan radiasi batin yang mengantarkan aku kepada Tuhan Dzat Yang Maha Tinggi.
C.               Redaksi Shalawat.
Selain dapat mempermudah terkabulnya doa kepada Allah Swt, shalawat juga sebagai sarana untuk penjelas, dan sekaligus untuk mengetahui dan memahami tingginya kedudukan Rasulullah Saw disisi-Nya secara musyahadah.
Dan untuk mencapai tujuan seperti diatas (pemahaman kedudukan Rasulullah Saw secara musyahadah), serta dengan menyertakan redaksi shalawat yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw (maktsurah), para ulama Arif Billah menyusun redaksi shalawat yang disertai kalimah-kalimah yang menerangkan tentang kebesaran dan kedudukan Rasulullah Saw yang telah tertulis dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis.

Jumlah seluruh susunan shalawat yang disusun oleh para ulama, paling tidak mencapai 12000 shalawat, bahkan tidak terhitung. Dan susunan redaksi shalawat yang paling baik, jika didalamnya menyebutkan pemberian shalawat juga ditujukan  kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya.[27] 
Secara garis pokok redaksi shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, dapat dikelompokkan kedalam dua bagian  :
1.                  Shalawat MAKTSURAH.
Shalawat jenis ini redaksinya disusun oleh Rasulullah Saw, yang berfungsi sebagai petunjuk inti dan utama dari makna dan tujuan seluruh shalawat. Jumlah shalawat jenis ini sekitar 100 shalawat lebih.
2.                  Shalawat GHAIRU (tidak) MAKTSURRAH.[28]
Shalawat jenis ini redaksinya disusun oleh selain Rasulullah Saw (shahabat, tabi’in atau para ulama), yang berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dari makna, fungsi dan tujuan shalawat MAKTSURAH.
Dengan pemahaman tentang pembagian redaksi shalawat secara demikian, maka kurang tepat jika antara kedua jenis shalawat (maktsurah dan ghairu maktsurah) tersebut diperbandingkan keutamaannya.   Misalkan  saja,  dipertanyakan;  Manakah  yang  lebih utama antara mengamalkan shalawat maktsurah atau ghairu maktsurah ?.
Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan yang kurang tepat.  Mengapa demikian ?.
Para ulama yang menyusun redaksi shalawat GHAIRU MAKTSURAH bukan bertujuan menandingi shalawat maktsurah. Akan tetapi bertujuan memperjelas makna dan tujuan yang terkandung dalam shalawat MAKTSURAH. Hingga dengan mengamalkan dan memahami makna yang terkandung dalam shalawat GHAIRU MAKTSURAH, seseorang dapat memahami tujuan dan maksud dari shalawat MAKTSURAH yang dituntunkan oleh Rasulullah Saw. Dengan kata lain pengamal shalawat GHAIRU MAKTSURAH, berarti telah mengamalkan perintah Allah Swt yang terdapat dalam ayat shalawat (Qs. al-Ahzaab : 56) dan hadis tentang shalawat.
Menjabarkan shalawat maktsurah dengan menyusun shalawat ghairu maktsurah, merupakan realisasi dari anjuran Rasulullah Saw. HR Imam Muslim, Beliau Saw bersabda : [29] .

مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ. مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ.

Siapa  saja  yang  membuat  sunnah (dalam Islam dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut sesudahnya dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Dan siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Kurang tepatnya jika memperbandingkan keutamaan antara dua jenis shalawat tersebut (dengan tanpa melihat uraian kandungan yang terdapat dalam redaksinya), sama halnya tidak tepatnya jika memperbandingkan keutamaan dan pengamalan antara surat al-fatihah dengan surat-surat lainnya dalam al-Qur’an. Sebab surat al-fatihah merupakan inti dari makna dan kandungan al-Qur’an. Sedangkan surat-surat lainnya merupakan penjabaran dan penjelasan dari surat al-fatihah. Dan, jika dipertanyakan lebih utama mana membaca atau mengamalkan makna surat al-Fatihah dengan surat-surat lainnya (misal, surat Yasin, al-Baqarah, al-Waqi’ah, ayat kursi atau yang surat dan ayat lainnya) ?. Pertanyaan ini juga tidak perlu dicarikan jawaban. Karena pertanyaan ini merupakan PERTANYAAN YANG TIDAK TEPAT. Demikian pula, merupakan pertanyaan yang kurang tepat, jika antara mempelajari al-Qur’an dan mempelajari penjelasannya (misalnya; mempelajari hadis Nabi Saw, ilmu fiqh, ushulil fiqh, atau kitab-kitab agama yang lain) diperbandingkan keutamaannya. Masing-masing memiliki tujuan dan hikmah yang terkandung didalamnya.
Pertanyaan yang membandingkan keutamaan antara ketiga permasalahan tersebut diatas, tidak mungkin muncul selama seseorang dapat memahami makna, fungsi dan tujuan al-Qur’an atau tujuan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Para ulama (kaum sufi dan waliyullah Ra) telah menfatwakan; bahwa mengamalkan shalawat jenis pertama atau jenis kedua, berarti mengamalkan perintah Allah Swt tentang bershalawat kepada Rasulullah Saw.

إِنَّ الصَلاَةَ بِأَيِّ صِيْغَةٍ كَانَتْ مِنْ صِيَغِ المَأْثُورَةِ أَوْ غَيْرِهَا يَسْتَحِقُّ الأتِيْ  بِهَا  الأجْرَ المَوْعُودَ الوَارِدَ فِيْ الأَحَادِيْثِ

          Sesungguhnya shalawat dengan susunan redaksi jenis manapun, baik redaksi yang maktsurah maupun yang ghairu (tidak) maktsurah, pengamalnya berhak mendapat pahala sebagaimana yang dijanjikan dan yang berlaku dalam hadis (Nabi Saw).[30]
Pendapat yang masyhur mengatakan bahwa jumlah redaksi shalawat MAKTSURAH lebih dari 100
c.1. Redaksi Shalawat Maktsurah
shalawat. Dan oleh Rasulullah Saw shalawat tersebut tidak diberikan nama. Kemudian untuk membedakan antara shalawat maktsurah yang satu dengan lainnya, para ulama memberikan nama [31] yang disesuaikan dengan kata-kata atau makna yang terkandung didalamnya.
Nama-nama shalawat MAKTSURAH yang diberikan oleh para ulama, antara lain shalawat Ibrahimiyah, shalawat Umm, shalawat Ainul Waujud dan lain sebagainya.
1.                 Shalawat Ibrahmiyah.
Nama  Ibrahimiyah  diambil  karena  didalam  redaksi  shalawat  tersebut  terdapat
penjelasan bahwa shalawat Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, (paling tidak) setara dengan pemberian shalawat dan kesejahteraan-Nya yang diberikan kepada Nabi Ibrahim As dan keluarganya.
Shalawat Ibrahimiyah – sebagaimana kesepakatan para ulama -  merupakan penjelas utama dan pokok tentang makna, maksud dan tujuan shalawat yang diperintahkan oleh Allah Swt dalam ayat 56 surat al-Ahzaab. Artinya bentuk shalawat (berkah dan salam) Allah Swt yang dicurahkan kepada Nabi Muhammad Saw, (paling tidak) seluas dan sebanyak shalawat-Nya yang dicurahkan kepada Nabi Ibrahim As beserta keturunannya. Sebab kepada Rasulullah Saw, Allah Swt senantiasa bershalawat, sedangkan kepada Nabi Ibrahim As, Allah Swt bershalawat hanya saat itu saja. Dengan demikian, jika terdapat susunan shalawat ( صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: Allah telah bershalawat dan bersalam kepadanya [Nabi Muhammad] atau dengan redaksi lain, yang tanpa disertai redaksi كَمَاصَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ : sebagaimana Engkau (Allah) bershalawat kepada Nabi Ibrahim), maknanya tetap terkandung bahwa shalawat yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Ibrahim As beserta keluarganya.
Redaksi shalawat Ibrahimiyah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw tidaklah hanya satu redaksi saja, akan tetapi banyak macam-macam redaksi. Dan jika dipahami secara sekilas macam-macam redaksi tersebut, tampak hampir berlainan kandungan maknanya. Namun, para ulama mengatakan; bahwa perbedaan tersebut bersifat bahasa saja bukan pada esensi makna. Karena antara shalawat Ibrahimiyah yang satu dengan lainnya, sifatnya sebagai penjelas makna kepada redaksi shalawat MAKTSURAH secara umumnya. Dan pula hukum pengamalan shalawat ibrahimiyah yang satu dengan shalawat ibrahimiyah lainnya adalah sama. Artinya secara umum, tidak ada yang lebih utama diantara beberapa macam shalawat ibrahimiyah tersebut, maupun redaksi shalawat maktsurah lainnya.
 Bermacam-macam redaksi shalawat Ibrahimiyah yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Misalnya, antara lain :
a)                 Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra. Ia berkata : Kami bertanya : Wahai Rasulullah, bagaimana cara bershalawat kepadamu ?. Beliau Saw menjawab : Katakanlah:

أَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَاصَلَّيْتَ عَلَى إبْرَهِيْمَ وَعَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ. إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَالسَلاَمُ كَمَاقَدْ عَلِمْتُمْ.

Ya Allah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, dan berkahilah Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana Engkau bershalawat kepada keluarga Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Sedangkan salam (kepada-Ku) kamu semua telah mengetahuinya. [32]
Redaksi shalawat diatas terdari dari :
-         Penyempurnaan pemberian shalawat dengan pemberian barakah.
-         disertai pujian kepada Allah Swt (إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ = Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).[33]
-         penyataraan shalawat yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang diterima oleh Nabi Ibrahim As dan keluarganya.
b)                Diriwayatkan dari sahabat Abu Mas’ud Ra (bukan Ibnu Mas’ud).[34] Ia berkata : Suatu hari Rasulullah Saw mendatangi kita. Sedang kita dalam majlis Sa’ad bin Ubadah. Dan Basyir bin Sa’ad bertanya kepada Rasulullah Saw : [35].

قَدْ أَمَرَنَا اللهُ أَنْ نُصَلِّي عَلَيْكَ, فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ ؟ قَالَ : قُوْلُوا: أَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّدكَمَاصَلَّيْتَ عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا بَارَكْتَ عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ وَالسَلاَمُ كَمَاقَدْ عَلِمْتُمْ.

Sungguh Allah telah memerintahkan kepada kita agar bershalawat kepadamu.Bagaimana cara kami bershalawat kepadamu ?. Beliau Saw bersabda : katakanlah : Allahumma shalli ,alaa Muhammad wa ’alaa aali Muhammad kamaa shallaita ‘alaa aali Ibrahima, wa baarik ‘alaa Muhammad wa’alaa aali Muhammad kamaa barakta ‘alaa aali Ibrahim  : Ya Allah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau bershalawat kepada keluarga Nabi Ibrahim. Dan berkahilah Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau memberkahi kepada keluarga Nabi Ibrahim. Sedangkan salam (kepada-Ku) kamu semua telah mengetahuinya. [36]
Redaksi shalawat diatas terdiri dari :
-         tanpa disertai pujian kepada Allah Swt (إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد = Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
-         penyetaraan pemberian shalawat dan barakah-Nya kepada Nabi Muhammad Saw bukan sebgaimana yang diberikan kepada Nabi Ibrahim As (عَلَى إبْرَهِيْمَ = kepada Nabi Ibrahim), tetapi hanya sebagaiman kepada keluarga dan keturunan Nabi Ibrahim (Nabi Ishaq dan Nabi Ismail serta keturunannya). 
c)                 Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudzriy ra. Ia berkata : Kami bertanya : Wahai Rasulullah, salam kepadamu kami semua telah mengetahuinya. Dan bagaimana cara kami bershalawat kepadamu ? :[37].

 قَالَ  : قُوْلُوا أَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ كَمَاصَلَّيْتَ عَلَى إبْرَهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا بَارَكْتَ عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ

Rasulullah bersabda : Ucapkanlah : (Allahumma shalli ‘alla Muhammad ‘abdika wa rasuulikakamaa shallaita ‘alla Ibrahima wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa aali Ibrahiim) = Ya Allah sampaikanlah shalawat-Mu kepada Nabi Muhammad, hamba-Mu dan utusan-Mu sebagaimana Engkau bershalawat kepada Nabi Ibrahim. Dan berkahilah Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana Engkau memberi berkah kepada keluarga Nabi Ibrahim.
Redaksi shalawat diatas terdiri dari :
-         tanpa disertai puji-pujian kepada-Nya (إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْد = Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia, atau kalimat pujian lainnya).
-         tambahan penjelasan tentang sifat dan kedudukan Rasulullah Saw yang terpuji, yakni kata “abdika” dan “rasuulika” (عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ).[38]
-         pemberian shalawat setara dengan Nabi Ibrahim As. Sedangkan, berkah setara bukan dengan Nabi Ibrahim As, tetapi hanya dengan keluarganya.
d)                Diriwayatkan dari Zaid bin Kharijah. Sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw : [39].

يَارَسُولَ اللهِ كَيْفَ الصَلاَةُ عَلَيْكَ ؟.  قَالَ : صَلُّوا وَاجْتَهَدُوا, ثُمَّ قُوْلُوا : أَللهُمَّ َبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا بَارَكْتَ عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

Wahai Rasulullah, bagaimana bershalawat kepadamu ?. Jawab Rasulullah : Bershalawatlah kalian dan bersungguh-sungguhlah, kemudian katakanlah : Allahumma baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ‘aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa aali Ibrahima innaka hamiidun majiid =  Ya Allah berkahilah Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau memberi berkah kepada keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.[40]
Hadis diatas menjelaskan redaksi shalawat terdiri dari :
-         Tanpa adanya kejelasan penggunaan redaksi shalawat yang tertentu. Dan hanya menguatkan permohonan shalawat dengan permohonan barakah.[41]
-         disertai puji-pujian kepada Allah Swt (إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ).
-         pemberian barakah tidak disetarakan kepada Nabi Ibrahim As (عَلَى إبْرَهِيْمَ), akan tetapi hanya kepada keluarga Nabi Ibrahim As (عَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ) saja.
Dari beberapa shalawat Ibrahimiyah diatas, dapat disimpulkan :
1)                 Meskipun dalam redaksi shalawat, antara menyebutkan atau tidak tentang pujian kepada Allah Swt, artinya tetap sama. Yakni bahwa didalam bershalawat kepada Nabi Saw sudah terkandung makna menyanjungkan pujian kepadaAllah Swt.
2)                 Meskipun penyetaraan pemberian shalawat dalam redaksi shalawat ibrahimiyah berbeda-beda antara satu dengan lainnya, namun makna pemberian shalawat Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw tetap sebagaimana pemberian-Nya kepada Nabi Ibrahim As dan keluarganya.
2.           Shalawat Umm.
Dinamakan shalawat Umm, karena didalam redaksinya terdapat kata الأُمِّيّ/ al-Ummiy  : yang tidak dapat membaca dan menulis, namun memiliki pikiran sangat cerdas. Sifat ummiy ini menunjukkan apa yang dibawa oleh Nabi Saw bukan dari hasil dari kesimpulan berpikir, akan tetapi wahyu dari Allah Swt.
Didalam hadis diterangkan bahwa banyak macam redaksi shalawat Umm yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Macam-macam redaksi tersebut antara lain :
a)      Diriwayatkan dari sahabat Abi Mas’ud. [42] Ia berkata : Seseorang menghadap kepada Rasulullah Saw dan duduk disampingnya, sedangkan kami berada disampingnya pula. Dan lelaki itu bertanya :

يَارَسُولَ اللهِ أَمَّا السَلاَمُ عَلَيْكَ قَدْ عَرَفْنَا, فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ إِذَا نَحْنُ صَلَّيْنَا فِي صَلاَتِنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ ؟. قَالَ : فَصَمَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَحْبَبْنَا أَنَّ الرَّجُلَ لَمْ يَسْأَلْهُ. فَقَالَ  : إِذَا أَنْتُمْ صَلَّيْتُمْ عَلَيَّ فَقُوْلُوا : أَللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبْيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَهِيْمَ وَعَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبْيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى أَلِ مُحَمَّد كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَهِيْمَ وَعَلَى أَلِ إبْرَهِيْمَ فِي العَلَمِيْنَ  إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.  وَالسَلاَمُ كَمَا قَدْ عَلِمْتُمْ.

Duhai Rasulallah, tentang salam kepadamu kami semua telah mengetahuinya. Bagaimana cara kami bershalawat kepadamu ketika kami ingin bershalawat kepadamu?.  Abu Masud berkata : Rasulullah Saw diam, hingga kami merayu laki-laki tersebut untuk tidak bertanya kepada Beliau lagi. (Rasulullah) bersabda : ketika kalian bershalawat kepadaku : Katakanlah : Allahumma shalli ‘alaa Muhammad an-Nabiyyi al-Ummiyyi wa ’alaa aali Muhammad kamaa shallaita ‘alaa Ibrahima wa aali Ibrahima innaka hamiidun majiid, wa baarik ‘alaa Muhammad wa ’alaa aali Muhammad kamaa barakta ‘alaa Ibrahima wa aali Ibrahima fil ‘alamiina innaka hamiidun majiid =  Ya Allah sampaikan shalawat-Mu kepada Muhammad Nabi yang Ummi dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau bershalawat kepada keluarga Ibrahim. Dan berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberi berkah kepada keluarga Ibrahim. Didalam alam semesta ini, sesungguhnya Engkau Dzat Maha Terpuji lagi Maha Mulya. Sedangkan salam (kepadaku) kamu semua telah mengetahuinya.[43].

Redaksi shalawat um diatas terdiri dari :
-         diserati pujian kepada Allah Swt (فِي العَلَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ = Didalam alam semesta, sesungguhnya Engkau Dzat Maha Terpuji lagi Maha Mulya).
-         Penguatan makna shalawat dengan permohonan barakah.
-         penambahan kata an-Nabiy dan Ummiy (النَّبْيِّ الأُمِّيِّ = Nabi yang tidak bisa membaca dan menulis, namun sangat cerdas).
-         penyetaraan pemberian shalawat sebagaimana yang diterima oleh Nabi Ibrahim As dan keluarganya. [44]
b)       Shalawat Umm yang terangkum dalam redaksi doa qunut.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى (سَيِّدِنَا) مُحَمَّدٍ النَبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آَلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارَكَ وَسَلَّمَ

Allah telah bershalawat, memberi barakah dan memberi keselamatan kepada (Pimpinan kami) Nabi Muhammad yang menjadi Nabi dan yang Ummi, dan kepada keluarga dan sahabatnya.
Redaksi shalawat diatas terdiri dari :
-         Penguatan makna shalawat dengan permohonan barakah dan salam.
-         terdapat penambahan kata an-Nabiy dan Ummiy setelah kata Muhammad.
-         tanpa disertai pujian kepada Allah Swt.
-         tanpa adanya redaksi penyetaraan pemberian shalawat sebagaimana yang diterima oleh Nabi Ibrahim As dan keluarganya.
Meskipun terdapat macam-macam redaksi Shalawat umm yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, namun keutamaan pengamalannya dan makna yang terkandungan didalamnya antara redaksi satu atau lainnya, tetap sama. Tidak ada redaksi yang lebih utama dan mengalahkan yang lain. Karena diantara tujuan pengamalan shalawat adalah untuk memahami kedudukan dan keberadaan Beliau Saw ditengah-tengah kehidupan makhluk. Sebagaimana makna yang terkandung dalam redaksi shalawat umm diatas, yang mana Rasulullah Saw memperjelas tantang tujuan bershalawat dengan penambahan dan penjelasan jabatan Beliau Saw, yakni seorang nabi dan yang sekaligus yang ummiy.
3.      Shalawat ‘Ainul Wujud.  
Susunan redaksi shalawat Ainul Wujud, antara lain sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw (shal\awat maktsurah) : [45].

اللهمَّ صلِّ على رُوحِ مُحَمَّدِ فِي الأرْوَاحِ  وَعَلى جَسَدِ مُحَمَّدٍ فِي الأجْسَادِ وَعَلَى نُورِ مُحَمَّدٍ فِي الأَنْوَارِ وَعَلَى قَبْرِ مُحَمَّدٍ فِي القُبُورِ.

Ya Allah sampaikan shalawat-Mu kepada jiwa Nabi Muhammad yang ada dalam banyak (saeluruh) jiwa, kepada jasad Nabi Muhammad yang ada dalam banyak (seluruh) jasad, kepada cahaya Nabi Muhammad yang ada dalam banyak (segala) cahaya dan kepada kubur Nabi Muhammad yang ada dalam banyak (seluruh) kubur.   
Dalam redaksi shalawat diatas, Rasulullah Saw menjelaskan tentang keberadaan dan kadudukannya ditengah-tengah kehidupan ummat manusia. Penambahan dan penjelasan keberadaannya oleh Rasulullah Saw sendiri, dapat memberikan pemahaman tujuan shalawat. Yakni sebagai jalan untuk memahami keagungan serta kemulyaan kedudukan Rasulullah Saw. Dan karenanya, memberikan inspirasi kepada para ulama untuk mengulas dan menambah sifat-sifat lain (seperti al-Hadi/ pembawa hidayah, as-Syafi’/ penolong ummat, al-Mushtafa/ terpilih, al-Habib/ paling dikasihi Allah Swt, al-Jami’/ pengumpul ummat, dan sifat lainnya) yang dimiliki oleh Rasulullah Saw, didalam redaksi SHALAWAT MAKTSURAH. Dan karenanya, setelah adanya penambahan redaksi tersebut, maka SHALAWAT MAKTSURAH berubah menjadi shalawat GHAIRU MAKTSURAH.
Didalam kitab al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir Jailani Ra, dalam juz I pada “kitab haji” bab 8, diterangkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : Barang siapa yang mengucapkan shalawat (ainul wujud) : [46].

اللهمَّ صلِّ على رُوحِ مُحَمَّدِ فِي الأرْوَاحِ وَعَلى جَسَدِ مُحَمَّدٍ فِي الأجْسَادِ وَعَلَى نُورِ .... إلخ

Dan dalam hadis hadis dengan redaksi lain, diceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda : [47] Barang siapa membaca shalawat :

اللهمَّ صلِّ على رُوحِ مُحَمَّدِ فِي الأرْوَاحِ وَعَلى جَسَدِ مُحَمَّدٍ فِي الأجْسَادِ وَعَلَى نُورِ مُحَمَّدٍ فِي الأَنْوَار....., رَأَنِي فِي مَنَامِهِ وَرَأَنِي يَومَ القِيَامَةِ, وَمَنْ رَأَنِي يَومَ القِيَامَةِ شَفَّعْتُ لَهُ وَمَنْ شَفَّعْتُ لَهُ شَرِبَ مِنْ حَوضِي وَحَرَمَ اللهُ جَسَدَهُ فِي النَارِ.

akan melihat aku dalam tidurnya dan pada hari kiamat. Dan barang siapa yang melihat aku dihari kiamat, maka Aku akan memberikan syafaat kepadanya. Dan barang siapa yang Aku mensyafaatinya, maka ia akan minum telagaku dan Allah mengharamkan jasadnya dalam neraka.
Dalam rangkaian SHALAWAT WAHIDIYAH, terdapat makna yang semakna dengan shalawat Ainul Wujud tersebut. Yakni shalawat tsaljul quluub, dengan disertai redaksi pengakuan/ kesadaran diri yang senantiasa berlumuran dosa, sangat mengharapkan doa restu dan syafaat Rasulullah Saw. Redaksi shalawat tersebut :

يَاشَافِعَ الخَلْقِ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ  عَلَيْكَ نُورَ الخَلقِ هَادِيَ الأنَام
وَأَصْـلَهُ  وَرُوْحَـهُ  أَدْرِكْنِي فَقَـدْ ظَلَمْـتُ أَبَدًا  وَرَبِّنِي
وَلَيْسَ لِي يَاسـيدِي سِـوَاكَ فَإِنْ تَرُدَّ كُنْتُ شَخْصًا هَالِكً

Wahai Nabi Pemberi syafaat mahluk, shalawat dan salam (Allah) kepadamu. Engkau Cahaya mahluk, Pembawa hidayah manusia, Asal seluruh mahluk, dan Jiwa mahluk, maka temuilah kami. Sungguh kami senantiasa berbuat dzalim. Bimbinglah kami.Tidak ada yang dapat memberi syafaat kepadaku, duhai Pimpinanku, selain engkau. Dan sekiranya aku engkau tinggalkan, niscaya aku hancur binasa.  [48]
Dan alhamdulillah – sebagai tahaddus binni’mah – dengan bimbingan Beliau Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra, setelah mengamalkan shalawat tsaljul qulub ini, mendapatkan ketenangan jiwa dan mudah ingat Allah Swt serta mudah melihat aib dan dosa diri. Sehingga bertambah rasa malu dan takut kepada Allah Sw.
c.2. Redaksi Shalawat Ghairu Maktsurah.
          Perubahan yang menuju penjabaran merupakan fitrah. Seperti perubahan dari pokok permasalahan kepada rincian atau sub pokok, dari mikro kepada makro, dari juz’iyah kepada kulliyah. Demikian pula, perubahanan dari shalawat SHALAWAT MAKTSURAH kepada SHALAWAT GHAIRU MAKTSURAH.
Perubahan dari shalawat MAKTSURAH kepada GHAIRU MAKTSURAH, yang dilakukan oleh para ulama yang ahli, merupakan realisasi dari perintah Rasulullah Saw,  sebagaimana keterangan dalam beberapa hadis Rasulullah Saw.
Jumlah shalawat GHAIRU MAKTSURAH paling tidak mencapai 12000 redaksi, bahkan tak terhitung dan hanya Allah Swt yang mengetahuyinya. Untuk membedakan antara redaksi yang satu dengan lainnya, para ulama memberikan sebuah nama. Nama tersebut terkadang diambil dari nama muallifnya, seperti shalawat MASYISYIYAH (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Izzudin Abdissalam al-Masyisy Ra),  shalawat BADAWIYAH (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ahmad al-Badawi Ra) dan shalawat lainnya. Dan ada yang diberi nama berdasar kandungan makna yang terdapat didalamnya, seperti shalawat NARIYAH, shalawat WAHIDIYAH dan lainnya.
c.2.1.  Nama-Nama Shalawat Ghairu Maktsurah.
Shalawat ghairu maktsurah yang dita’lif oleh para sahabat Nabi Saw, tabi’in dan ulama Arif Billah (diantaranya, mereka ada yang menjabat sebagai Sulthanul Auliya’ Ra).  Shalawat Ghairu Maktsurah tersebut, antara lain  :
1)            Shalawat Nabi Musa As.[49]
2)            Shalawat Fatih yang dita’lif oleh Sayyidina Ali Ibn Ibi Thalib Kw.[50]
3)            Shalawat Mawaahib as-Saniyah oleh sahabat Abdullah Ibnu Abbas ra.[51]
4)            Shalawat yang disusun oleh sahabat Abdullah Ibn Mas’ud ra.[52]
5)            Shalawat yang dita’lif oleh Imam Zainul Abidin Ali Ibn Husain Ibn Ali Ra.[53]
6)            Shalawat yang ditaklif oleh Imam Syafi’i Ra. Shalawat ini tidak diberi nama baik oleh Imam Syafi’i (sebagai muallif) atau oleh ulama sesudahnya. [54]
7)            Shalawat yang dita’lif oleh Imam Thabrani. Shalawat ini tidak diberi nama baik oleh Imam Thabrani (sebagai muallif) atau oleh ulama sesudahnya.[55]
8)            Shalawat ‘Ainul Ahadiyah.[56]
9)            Shalawat Masyisyiyah yang dikenal dengan shalawat Bahrul Ahadiyah.[57]
10)       Shalawat Qashidatul Burdah.[58]
11)       Shalawat Qadiriyah, oleh al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra.[59]
12)       Shalawat Munjiyat.[60]
13)       Shalawat Nariyah. [61] Sebagian ulama menamakan dengan shalawat tafrijiyah.
14)       Shalawat Badar yang dita’lif oleh Mahmud Sami’ al-Mishri (yang terkenal dengan nama al-Baruudiy (w. 1340 H).
15)       Shalawat Barazanji/ Maulidun Nabawi. Dita’lif oleh imam Masjid Nabawi diMadinah, Syeh Ja’far al-Barazanji (w. 1177 H/ 1763 M).

Al-Fatihah ....... .               

CATATAN KAKI   :
[1].     Sebagian ulama mengartikan kata “salaam” dengan uluk salam (menyampaikan/ memberikan (kesejahteraan/ kedamaian). Dan sebagian ulama mengartikannya dengan berserah diri (sebagai pengejawantahan berserah diri) kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, dan kata tasliiman diartikan : penyerahan diri yang semestinya.
[2].     Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya ad-Durrul Mandlud, pada bahasan “rahasia shalawat”, menjelaskan : Sujudnya malaikat kepada Nabi Adam As, sebagai penghormatan dan pengagungan kepada “Nur Muhammad Saw”, yang ada pada pribadi Nabi Adam As.
[3].     Lihat kitab Afdlalus Shalawat,  pada pasal I dalam faedah kedua.
[4].     Shalawat Allah Swt kepada kepada mukmin adalah Allah Swt bertajalli melalui mereka. Sedangkan shalawat-Nya kepada Rasulullah Saw, artinya Dia bertajalli secara khusus dan sempurna melalui Nabi Saw, demikian penjelasan Imam al-Qusthalani Ra, yang dinukil dalam kitab Afdlalus Shalawat karya Imam Nabhani Ra.
[5].     Diantara keagungan Rasulullah Saw, adalah sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab ad-Durru al-Mandlud pada bahasan “makna shalawat” : Syeh Abu Bakar al-Qusyairi (ulama ahli fiqh, tafsir, hadis dan tasawuf) mengatakan; bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad Saw merupakan bentuk penghormatan dan pengakuan mukmin terhadap kemulyaan dan keagungan Rasulullah Saw disisi Allah Swt.
[6].     Jika kita menggunakan makna shalawat sebagaimana penjelasan Imam al-Qusthalani Ra, adalah pemberiatahuan kepada mukmin bahwa Allah Swt bertajalli secara khusus kepada Rasulullah Saw.
[7].   Sebagian ulama menamakan redaksi shalawat seperti ini dengan shalawat “Mukhathab”.
[8].   HR. Razin Ibn Muawiyah dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dalam penjelasan ayat 56 surat  al-Ahzaab. Hadis yang sepadan arti juga diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Umar bin al-Khatthab ra (kitab Jala’ al-Afham-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah pada ulasan nomer hadis  : 41.
[9].   Dalam al-Adzkar-nya Imam Nawawi, dan kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal ‘Iyadl al-Yahshubi, dan dalam kitab Jala’ al-Afham-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah, susunan redaksi hadis tidak menggunakan kata ghamr tapi kata qadah  : فَلاَ تَجْعَلُونِي كَقَدَحِ الرَاكِبِ فَاجْعَلُونِي فِي أَوَّلِ الدُعَاءِ وَأَوْسَطِهِ وَأَخِرِهِ  :Janganlah kamu semua menjadikan Aku bagaikan gelasnya pengendara (setelah dipakai kemudian diletakkan-pen).Maka, jadikanlah aku pada awal, pertengahan dan akhir doa.
            Hadis ini diperkuat lagi oleh,. Sebagaimana tercermin dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi dari Umar bin Khatthab Ra.  Rasulullah Saw bersabda : أَشْرِكْنَايَاأَخِي فِي دُعَاءِكَ: Jadikanlah Aku (Rasulullah) sebagai kawan, wahai saudaraku, didalam do’amu. (kitab Dalil al-Faalihin dalam jilid II, pada bab “Ziyarah Ahlil Khair”, nh : 14.
[10]    HR. Abu Daud dari Abdullah Ibn Amr (Sunan, nh : 523),  Nasai (Amalul Yaum wal Lailah, nh : 45), Tirmidzi (Sunan, nh : 3614), Muslim (Shahih, nh : 384). Kitab Jala’ al-Afhaam, nh : 104.
[11].    Kitab Afdlalus Shalawat-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh an-Nabhaani Ra (w. 1933 M) pada pasal 4.
[12].    Kitab Kasyful Khifa’, juz I, nomer hadis : 501.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim, diterangkan Rasulullah Saw adalah pemilik maqam wasilah (maqam terdekat kepada Allah Swt).  Barangsiapa dekat kepada Rasulullah Saw, maka ia akan dekat kepada Allah Swt. Dan tidak ada jalan yang paling tepat untuk mendekat kepada-Nya kecuali malalui Rasulullah Saw, demikian pendapat dari para ulama Arif Billah.
Dinegeri Yaman, sebagaimana penjelasan dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) bab “Sanadul Qaum” -, tentang mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan menggunakan amalan shalawat  :
أَنَّ جَمَاعَةً بِبِلاَدِ اليَمَنِ لَهُمْ سَنَدٌ بِتَلْقِيْنِ الصَلاَةِ  وَالسَلاَمِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ فَيُلَقِّنُونَ المُرِيْدَ ذَالِكَ, وَيَشْغِلُونَ بِالصَلاَةِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ, فَلاَ يَزَالُ مِنْهَا حَتَّى يَصِيْرَ يَجْتَمِعَ بِالنَبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ يَقَظَةً وَمُشَافَهَةً. وَيَسْاَلُهُ عَنْ وَقَائِعِهِ كَمَا يَسْاَلُ المُرِيْدُ شَيْخَهُ فِي الصُوفِيَةِ. وَأَنَّ مُرِيْدَهُمْ يَتَرَقَّي بِذَالِكَ فِي أَيَّامٍ قَلاَئِلَ. وَيُسْتَغْنَى عَنْ جَمِيْعِ الأَشْيَاخِ بِتَرْبِيَتِهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ.
Sesungguhnya terdapat sekelompok orang dinegeri Yaman. Mereka memiliki sanad thariqah dengan talqin (ijazah) shalawat kepada Rasululillah Saw. Mereka (GURU MURSYID) mentalqin murid dengan talqin shalawat. Para murid menyibukkan diri dengan shalawat kepada Rasulillah Saw. Mereka tidak henti-hentinya dengan shalawat tersebut hingga dapat berkumpul bersama dengan Nabi Saw secara jaga dan tatap muka. Mereka menanyakan kepada (Nabi Saw), tentang keadaan mereka sebagaimana murid bertanya kepada Gurunya dalam ilmu tasawuf. Dan murid tersebut dapat naik (keimanannya) dalam waktu sebentar. Dan para murid tidak membutuhkan Guru Ruhani lagi, disebabkan mendapat pendidikan Rasulullah Saw.      
[13].    Syeh Abdur Razaq adalah perawi hadis “Nur Muhammad”. Hadis ini masyhur dalam kalangan kaum sufi dan waliyullah Ra. Sebagian ulama mutaakhirin (seperti al-Albani, al-Afifi dkk) mempermasalahkan kredibel Abdur Razak. Menurut mereka, dia tidak tsiqah (kurang dipercaya) dan lagi memiliki pemikiran yang beraroma syiah serta mengalami kebutaan mata pada akhir hayatnya. Dan karenanya, al-Albani mengikuti pendapat Ibnu Ma’in yang menganggap hadis “Nur Muhammad” tidak dapat dijadikan hujjah, Namun, mayoritas ulama ahli hadis (Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Nasai dan lainnya) menilai tsiqqah (terpercaya) terhadap Abdur Razak. Mereka menjadikannya sebagai sanad dalam hadis yang diriwayatkannya. Demikian pula, ulama hadis seperti, Abu Zur’ah, Imam Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan ulama hadis lainnya mengatakan beliau adalah tsiqqah. Dan hadis riwayatnya dapat dijadikan hujjah, selama tidak bertentangan dengan hadis yang shahih.
            Dan kami dari Yayasan Perjuangan Wahidiyah mengikuti ulama yang memandang Syeh Abdur Razaq sebagai perawi yang tsiqqah (terpercaya). Untuk lebih jelasnya, lihat buku “Materi Upgrading Dai Wahidiyah”, jilid III yang diperuntukkan bagi dai/ daiyah Wahidiyah tingkat propinsi. 
[14].    Dalam kita Jami’ as-Shagir-nya Imam Suyuthi, dalam juz I pada bab “alif”.
[15].    Imam Sakhawi berkata : sanad hadis ini tsiqqah. Sedangkan al-‘Iraaqi berkata : sanadnya kurang shahih. (Lihat kitab Jalaul Afham, dalam bahasan sanad hadis diatas).
[16].    Keterangan tentang tetap hidupnya para nabi, rasul dan syuhada’ disisi Allah Swt juga dijelaskan dalam al-Qur’an : وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لاَ تَشْعَرُوْنَ.  :  Janganlah kamu semua mengatakan kepada orang yang mati dalam jalan Allah (mengalami) kematian. Akan tetapi, (mereka) tetap hidup. Sedangkan (akal) kamu semua tidak dapat menjangkaunya (Qs. al-Baqarah : 154). Dan, وَلاَ تَحْسَبَنَّ الذِيْنَ قُتِلُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ  : Janganlah kamu semua mengira kepada orang-orang yang gugur dijalan Allah (mengalami) kematian. Akan tetapi, tetap hidup disisi Tuhannya, dan mereka biberi rizki  (Qs. Ali Imran : 169).
[17].     Kitab Sa’adah ad-Daraini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh an-Nabhani Ra dalam bahasan  ke IV.
            Kebanyakan para sahabat, memiliki iman yang kuat dan taslim kepada Rasulullah Saw, setelah mendapatkan pengalaman ruhani, baik melalui ru’yah sahalihah atau lainnya, seperti ketangan batin. Demikian penjelasan dalam beberapa hadis, diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail an-Nubuwah.
[18].    Kitab Jala al-Afham dalam pasal V bahasan ke 33.
[19].    Kitab Jawaahir  al-Bukhari, hlm : 22 – 23. Dan kitab Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari oleh Imam Ibnul Hajar al-‘Asqalani, terbitan” Pustaka Azzam” Jakarta, cetakan ke 3,  tahun Juli 2003 pada  buku I,  hlm : 98/ 99.
[20].    Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah, kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi, nh : 345. Imam Tirmidzi menjelaskan, hadis ini berderajat hasan dan shahih .
[21].    Kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi, nh : 347.
[22] .   Ibid, dalam bahasan pertama. Dan dalam kitab ad-Durrul Mandlud-nya Imam Ibnu Hajar al-Haitami Ra dalam bab “makna shalawat”, juga dijelaskan bahwa Imam Bukhari mengatakan : shalawat bertujuan sebagai penghormatan kepada Rasulullah Saw.
[23].    Lihat tafsir Shawi dalam penjelasan ayat 99 surat al-Ahzaab.  
[24].    Kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh Nabhani, pada pasal I dalam tambih ketiga.
[25].    Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam materi yang membahas “Ghautsiyah” dalam “Materi Upgrading Dai Wahidiyah” ini pada jilid I, bab ajaran wahidiyah.
[26].    Rabithah adalah hubungan ruhani antara salik atau murid kepada Guru Mursyid agar cepat sadar kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
[27].    Al-Ghauts fii Zamanihi Imam Ahmad as-Shawi Ra dalam kitab tafsirnya juz III, tentang makna firman Allah Swt (ayat tentang shalawat) Qs. al-Ahzaab : 56 yang menerangkan :
وصِيَغُ الصَلاَةِ عَلَى النَبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كَثِيْرَةٌ لاَ تُحْصَى وَأَفضَلُهَا مَا ذَكَرَ فِيْهِ لَفْظُ الآل وَالصَحْبِ, فَمَنْ تَمَسَّكَ بَأَيِّ صِغَةٍ مِنْهَا حَصَلَ لَهُ الخَيْرُ العَظِيْمُ.
Susunan redaksi shalawat kepada Rasulullah Saw jumlahnya banyak sekali dan tak terhitung. Dan paling utama-utamanya, adalah yang didalamnya disebutkan kata “aali” keluarga dan “shahabat”. Barang siapa yang memegang shalawat redaksi jenis manapun dapat berhasil memperoleh kebaikan yang agung.
[28].   Dalam kitab Sa’aadah ad-Daraini Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam bahasan “shalawat ke 130”, dan pada bab “tanbih” kedua, menjelaskan bahwa  :
  مِنْهَا المَأْثُورُ عَنِ النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَمِنْهَا غَيْرُ المَأثُورِ عَنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مِمَّا هُوَ مَرْوِيٌ عَنْ بَعْضِ الصَحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ الأوْلِيَاءِ الكَرَامِ وَالعُلَمَاءِ الأ عْلاَمِ
                Diantara shalawat ada (shalawat) yang maktsurah dari Nabi Saw, dan ada yang tidak maktsurah dari Nabi Saw yang diceritakan dari sebagian sahabat dan orang-orang setelah mereka dari para wali yang mulya dan ulama yang alim.
[29].    Kitab Riyadl as-Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra
[30].     Kitab  Sa’aadah ad-Daraini fis Shalaati alaa Sayyid al-Kaunanini  (Syeh Yusuf an-Nabhani Ra) pada bab “shalawat ke 130”, atau pada bab “tanbih ke 2”.  Dan juga dalam Kitab Khazinah al-Asraar, pada bab shalawat Nabi Saw.
[31].    Jika tidak memahami makna sunnah dan bid’ah secara semestinya, kita akan mudah menuduh sebagai pelaku bid’ah kepada ulama yang memberikan nama shalawat MAKTSURAH. Karena memberikan nama kepada shalawat tersebut, merupakan hal baru, dan yang tidak dilakukan pada zaman Rasulullah Saw.
[32].     HR. Nasai (kitab Amalul Yaum wal Lailah, pada nomer hadis : 47).
[33].    Didalam kitab Jala’ al-Afham-nya Ibnul Qyyim al-Jauziyah pada pasal IX dijelaskan; bahwa makna dari kata Hamiid / حَمِيْد : Dzat Yang Maha TerpujiMakna kata “hamiid” lebih tinggi dari pada makna kata mahmuud yang secara bahasa juga memiliki makna yang paling terpuji. Karena makna “paling terpuji” dari kata mahmuud sebagai pengakuan dari selain diri-Nya. Sedangkan dalam kata hamiid, yang bermakna “paling terpuji” datangnya dari Diri-Nya dan makhluk-Nya. Sedangkan makana kata  مَجِيْد/ Majiid, yang bermakana Maha Mulya, lebih berkonotasi kepada keagungan dan keperkasaan-Nya. Dan pula, pada akhir bahasan pasal IX, tentang disertakannya kedua kata tersebut (hamiid dan majiid) dalam shalawat maktsurah, al-Jauziyah menjelaskan :
   لِيَكُونَ هَذَا الدُعَاءُ مُتَضَمِّنًا لِطَلَبِ الحَمْدِ وَالمَجْدِ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالإِخْبَارِ عَنْ  ثُـبُوتِهِ لِلرَّبِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.
            Agar doa (shalawat) menunjukan muatan tentang permintaan kemulyaan dan keagungan kepada Rasulullah Saw, dan yang mana diberitahukan bahwa petetapan sifat kemulyaan dan keagungan tersebut adalah milik Allah Swt semata.
[34].    Namanya ‘Uqbah Ibn Amr al-Anshari (w. 41 H).
[35].    Dalam kitab Jala’ al-Afham-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H), nomer hadis (nh) : 01.
[36].     HR. Muslim (Shahih Muslim, nomer hadis : 405), Imam Nasa’i (kitab Amalul Yaum wal Lailah : nh : 50), Abu Daud (nh : 980), Tirmidzi (nh : 3220) dan dalam Sunan ad-Darimi (nh : 1349).
[37].    HR. Bukhari (Shahih Bukhari, nh : 4798, 6358). Daan dalam Kiab Jala’ al-Afham, nh : 06.
[38].    Dalam shalawat maktsurah tersebut, disebutkan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai “hamba” dan “rasul”, yang merupakan inti sari kedudukan yang diberikan oleh Allah Swt. Dan agar muslim dapat memahami kedudukan rasul tersebut secara musyahadah, para ulama mengulasnya dalam shalawat  GHAIRU MAKTSURAH. Serta pemahaman dari kedua kedudukan ini, lahirlah kesimpulan kaum sufi tentang terdapatnya maqam “WAHIDIYAH” pada pribadi Rasulullah Saw.
[39].     Ibid, Jala’ al-Afham, nh : 08.
[40].    HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal (Musnad, nh : 1 : 199), dan dalam Sunan Nasai (3 : 48) namun dari jalur Sa’id bin Yahya.
[41].    Dalam kitab Jala’ al-Afham-nya Ibnul Qayyim dalam pasal X, diterangkan :
      أَنَّ المَقْصُودَ إِنَّمَا هِيَ بِالتَعْبِيْرِ وَالمَعْنَى عَنْهُ بِعِبَارَةٍ مُؤَدِّيَةٍ لَهُ. فَإِذَا عَبَّرَ بِإِحْدَى العِبَارَتَيْنِ حَصَلَ المَقْصُودُ.
            Sesungguhnya yang dimaksud (redaksi shalawat) adalah mengambil ta’bir (pengertian) dan maknanya dari redaksi shalawat. Jika mengambil pengertian dari salah satu redaksi, maka tercapailah maksud bershalawat.
[42].  Ibid, Jala’ Afham, pada pasal pertama, nh : 01.  HR. Nasai (amalul yaum wallailah) nh : 49.
[43].  HR. Ibnu Khuzaimah (Shahih, nh : 711) dan al-Haakim (Shahih, 1 : 268), Abu Daud (Sunan, nh : 981).
[44].   Makna dari kata “ummiy” menunjukkan bahwa ilmu yang dimiliki oleh Rasululllah Saw bukan dari pembelajaran manusiawi, akan tetapi merupakan wahyu dan ilham dari Allah Swt.
Penambahan sifat UMMIY atau AN-NABI oleh Rasulullah Saw sendiri, memberikan pemahaman tujuan shalawat adalah sebagai jalan untuk memahami keagungan serta kemulyaan kedudukan Rasulullah Saw. Hingga memberikan inspirasi kepada para ulama untuk mengulas dan menambah sifat-sifat lain (seperti al-Hadi/ pembawa hidayah, as-Syafi’/ penolong ummat, al-Mushtafa/ terpilih, al-Habib/ paling dikasihi Allah Swt, al-Jami’/ pengumpul ummat, al-Washil/ yang menyampaikan hidayah-Nya kepada makhluk, dan sifat lainnya) yang dimiliki oleh Rasulullah Saw, dalam redaksi SHALAWAT MAKTSURAH. Dan karenanya, setelah adanya penambahan redaksi dari ulama yang ahli tersebut, maka SHALAWAT MAKTSURAH berubah menjadi shalawat GHAIRU MAKTSURAH.
[45].  Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) mengatakan bahwa shalawat ainul wujud tersebut termasuk shalawat maktsurah. Lihat kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Nabhani dalam bahasan shalawat ke 6.
[46].  Hadis diatas juga diriwayatkan oleh al-Hafidz ad-Dimyathi dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah-nya, yang kemudian dinukil dalam kitab Sa’adah ad-Daraini-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra (w. 1931 M), pada bahasan “shalawat ke 6”, dalam ulasan ke 23.
[47]Kitab ad-Durrul Munadhdham fii Maulidil Mu’adhdham,  yang dinukil dalam kitab Sa’adah ad-Daraini –nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra (w. 1931 M) pada bahasan “shalawat ke 1”, dalam ulasan ke 39 (shalawat maktsurah)
[48].    Shalawat ini oleh Beliau Muallif Qs wa Ra diberi nama dengan “Shalawat Tsaljul Quluub
[49].       Kitab Sa’adah ad-Daraini, dalam bahasan shalawat ke 4.
[50].    Kitab as-Syifa li Ta’rif  Huquq al-Mushthafa Saw-nya Syeh Iyadl al-Yahshubi juz II pada bab 4 dalam pasal “cara bershalawat”. Kitab Majma’ az-Zawaid-nya al-Hafidz al-Haitsami (10/ 245). At-Thabrani  dalam Mu’jam al-Ausath (9089).
Sayyidina Ali Kw memiliki dua redaksi shalawat. Pertama, shalawat fatih yang didalam redaksinya menjelaskan agak mendetail tentang kedudukan Rasulullah Saw dan tugas yang diterima dari Allah Swt. Sedangkan redaksi lainnya menjelaskannya secara global saja.
[51].    Shalawat Ibnu Abbas ra ini, juga dapat dilihat dalam tafsir Imam Ibnu Katsir dalam ulasan ayat 56 surat  al-Ahzaab.
[52].    Redaksi shalawat ini dapat dilihat dalam bab shalawat ghairu maktsurah (pada bab ini juga pada bahasan berikutnya).
[53].    Lebih jelasnya lihat dalam kitab Masaalik al-Hunafa’ (Imam al-Qusthalaani Ra) dan kitab Sa’aadah, pada shalawat ke 12.
[54].    Sa’adah ad-Daraini, pada shalawat ke 15.
[55].     Sa’adah ad-Daraini, pada shalawat ke 16. Diterangkan pula, ketika Imam Thabrani mengamalkan shalawat ini bermimpi bertemu dan melihat Rasulullah Saw dengan muka yang gembira ketika mendengarkan shalawat  tersebut.  
[56].    Dita’lif oleh Syeh Muhyiddin Ibnu Arabi Ra. Sa’adah ad-Daraini, pada shalawat ke 289
[57].     Dita’lif oleh al-Ghauts fii Zamaanihi Syeh Abdus Salam Ibn Masyisy Ra (w.636 H). Afdlal as-Shalawat, shalawat ke 43.
[58].    Dita’lif oleh Imam Abu Abdullah Ibrahim Bushiri as-Syadzili al-Mishri (w. 696 H). Baliau adalah murid dari al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Ra, w. 709 H). Dan oleh al-Bushiri, shalawat ini dinamakan dengan “Kawakib ad-Durriyah”. Sedangkan yang masyhur dengan nama “Qashidah al-Burdah”. Al-Bushiri, ulama sufi yang ahli dalam bidang hadis dan sastra arab.
[59].    Lihat kitab al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir Jailani Ra.
[60].      Kitab Khaziinah al-Asraar dalam bahasan “shalawat”. Dalam kitab ini, diterangkan – sebagaimana penjelasan dari Imam al-Qurthubi - bahwa shalawat Munjiyat ini telah masyhur serta diijazahkan sejak pertengahan abat ke VII hijriyah, yakni pada masa Syeh Ibnu Arabi Ra (w. 638 H).
[61].    Dalam kitab Sa’adah ad-Darain-nya Syeh Nabhani pada ulasan shalawat ke 130 pada bagian akhir, dijelaskan, shalawat ‘NARIYAH” dita’lif oleh Syeh Arif Billah Ibrahim at-Taziy. Dan mulai dikenal oleh masyarakat sejak Imam al-Qurthubi mengijazahkannya secara mutlak. Lihat juga dalam kitab Afdlal as-Shalawat, pada shalawat ke 63, atau kitab Khaziinah al-Asraar dalam bahasan “shalawat”

Komentar