- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sebagian
mukmin dalam berpendapat, ada yang menggunakan dasar kaidah Islam yang
semestinya, merekalah orang-orang yang bertaqwa. Sedangkan sebagian lainnya,
dalam berpendapat tanpa memiliki dasar dari syariat Islam secara semestinya.
Mereka berpendapat hanya untuk menjaga dirinya, agar dinilai tidak bodoh oleh
masarakat. Ketika mereka mengeluarkan pendapat atau kesimpulan, tidak memiliki
rasa taqwa kepada Allah Swt yang memiliki Islam. Mereka berpendapat hanya demi
kehormatan diri. Hingga berani mengeluarkan pendapat hanya berdasar asumsi atau
selera. Mereka mengingkari keberadaan waliyullah dan al-Ghauts Ra, padahal
banyak hadis shahih yang menjelaskannya.
Tentang mereka yang mengingkari waliyullah dan
al-Ghaus Ra atau kurang memahaminya namun
sembrono dalam berpendapat, al-Ghauts fii Zamanihi Imam Jalaluddin
Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi juz II pada bahasan
69, mengatakan :
قَدْ بَلَغَنِي عَنْ بَعْضِ مَنْ لاَ عِلْمَ عِنْدَهُ
إِنْكَارُ مَاشْتَهَرَ عَنِ السَادَةِ الأَوْلِيَاَءِ مِنْ أَنَّ مِنْهُمْ
أَبْدَالاً وَنُقَبَاءً وَنُجَبَاءً وَأَوْتَادًا وَأَقْطَابَاً. وَقَدْ وَرَدَتْ
الأَحَادِيْثُ وَالأَثَارُ بِإِثْبَاتِ ذَالِكَ.
Telah sampai kepadaku tentang
orang yang tidak memiliki ilmu yang mengingkari sesuatu yang telah masyhur
tentang adanya pimpinan para waliyullah. Diantara mereka ada yang menjadi
abdal, nuqaba’, nujaba’, autab dan aqthab. Padahal telah banyak hadis dan atsar
yang menetapkan adanya hal tersebut.
Firman Allah Swt QS. Yunus, 62 – 63}
اَلاَ اِنَّ اّوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَقُوْنَ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya para auliyaillah itu
tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati. Yaitu orang orang yang senantiasa
beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah).
Dalam
kitab Sunan Abu Daud, juz IV,
nomer hadis : 4648, dari sahabar
Sufyanah, Rasulullah Saw bersabda :
خِلاَفَةُ النُبُوَّةِ ثَلاَثُونَ ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ المُلْكَ مَنْ يَشَاءُ
أَوْ مَلَكَهُ مَنْ يَشَاءُ
Khilafah kenabian itu tiga puluh
tahun. Kemudian Allah memberikan
kerajaan kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Atau menguasakan kerajaan itu kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Hadits
riwayat Imam Ahmad, Thabrani dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As
Shami, Rasulullah Saw bersabda 18
:
لاَ يَزَالُ فِي
أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ
تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku (Rasulullah) tiga
puluh hamba. Sebab mereka bumi (alam seisinya) tetap tegak, dan sebab mereka
manusia diberi hujan (oleh Allah), dan sebab mereka manusia ditolong oleh
Allah”.
Diantara mereka, juga ada yang mengatakan (tanpa memiliki dasar, kecuali
selera dan asumsi) : bahwa sulthanul auliya, hanyalah Syeh Abdul Qadir al-Jailani,
tidak ada Raja waliy selai Syeh, baik sebelum atau sesudahnya. Diantara mereka
ada yang mengatakan; saya hanya mempercayai adanya waliyullah yang hidup pada
masa dahulu, sedangkan waliyullah pada masa sekarang, aku tidak mempercayai
keberadaannya lagi. Demikainlah
keadaan ummat akhir zaman yang telah diprediksi oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya
: [1]
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh
yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Keberadaan al-Ghauts Ra, semestinya al-Qur'an dan
hadis telah menjelaskan secara gamblang. Sayang, kebanyakan manusia memahami
al-Qur’an dan hadis dengan tanpa disertai permohonan hidayah kepada Allah Swt secara
sungguh-sungguh, hingga terjebak dalam pemahaman yang dangkal, bahkan
menyimpang. Hingga, selain mengingkari keberadaan al-Ghauts Ra, mereka
terjerumus pada kesimpulan yang salah. Yakni menilai sebagia perbuatan syirik,
kepada seseorang yang mendekati serta memohon berkah dan doa restu al-Ghauts Ra.
Cara untuk memahami keberadaan dan tugas al-Ghauts Ra secara musyahadah, sama
dengan cara memahami keberadaan Rasulullah Saw. Pemahaman kepadanya termasuk bagian
dari ilmu mukasyafah (ketersingkapan mata hati).[2]
Dan pembuktiannya hanya dapat dicapai melalui metode
hidayah. Dan, memang tidak ada jalan bagi seseorang yang ingin memahami pribadi
Beliau al-Ghaus Ra (baik pada saat ini atau masa lampau), kecuali melalui metode
hidayah. Untuk mendapatkannya, seseorang harus melaksanakan mujahadah dengan sesuai
petunjuk yang telah lazim. Tanpa melalui cara ini, seseorang akan mengalami kesukaran
dalam memahami keberadaan Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra secara musyahadah.
Manusia Sempurna (al-Ghauts
Ra) merupakaan istilah yang sangat terkenal didalam kalangan ulama kaum sufi. Al-Qur’an telah mengisyarat keberadaan al-Ghauts Ra. Seperti yang tercermin dalam :
Firman Allah
Swt, Qs.
al-Baqarah : 30 :
وَاِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِي الارْضِ خَلِيْفَةً
Dan Tuhanmu
bersabda kepada malaikat : Sesunggunya Aku menciptakan khalifah diatas bumi.
Al-Ghauts
fii Zamanihi Qs wa Ra Imam Ahmad Ibn Muhammad as-Shawi dalam kitab tafsirnya,
juz 1 halaman 20 dijelaskan, bahwa kholifah yang pertama, jika ditinjau dari
sisi jasmani diduduki oleh Nabi Adam As,
sedangkan bila ditinjau dari sisi rohani kholifah itu pada hakikinya adalah
Nabi Mhammad Saw.
اَدَمُ فَهُوَاَبُوالبَشَرِوَاْلَخَلِيْفَةُ الاَوَّلُ بِاعْتِبَارِعاَلَمِ
الاجْسَامِ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الارْوَاحِ فَهُوَ مُحَمّدٌ
صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, اِنّهُ قَا
ئِمٌ بِالخِلافَةِ. وحِكْمَةُ جَعْلِهِ خَلِيْفَةُ الرَحْمَةِ بالعِبَاد. اِنَّ
العِبَادَ لاَ طَا قَةَ لَهُمْ علَى تَلَقَّىِ االاوَامِرِ مِنَ اللهِ بِلاَ وَاسِطَةٍ.
Adam
As adalah bapak manusia. Beliau sebagai khalifah pertama, jika dipandang dari sudut jasmani. Sedangkan bila
dipandang dari sudut ruhani, khalifah Allah adalah Nabi Muhammad Saw. Dia (Adam As) memduduki
maqam khilafah. Dan hikmah kekhalifahan (Nabi Muhammad
Saw) untuk membawa rahmat
kepada hamba-hamba (Allah). Karena sesungguhnya semua hamba Allah tidak
memiliki kekuatan untuk menerima perintah Allah tanpa adanya perantara.
Banyak buku karya dari para ulama kaum sufi
dari berbagai negara Islam yang telah menjelaskannya, dan tidak ketinggalan
pula para ulama sufi dari Indonesia dan Asia.
Telah banyak para ulama Indonesia yang
telah membahas keberadaan dan tugas al-Ghauts Ra. Namun dalam tulisan ini kami
sebutkan beberapa saja, yang antara lain :
1.
Syeh Nuruddin
ar-Raniri Aceh (w. 1773 M).
Beliau adalah penulis kitab: Asrar aI-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh war
Rahman.13 yang ditulis menggunakan bahasa melayu kuna dengan hurup arab pegon (hurup jawi).
Sebagai pengamal tarekat Syathariyah,
dalam kajian insan kamil, dalam kitabnya Asrar al-Insan, Beliau
menerangkan secara luas, bahwa insan kamil adalah hamba Allah Swt yang dalam
jiwanya memiliki Nur Muhammad. Dan karenanya, sebagai tempat tajalli Allah Swt
yang sempurna dan terakhir. Manusia sempurna sebagai khalifah (wakil) Allah Swt
dibumi. Beliau Ra ini memiliki beberapa gelar / pancaran, antara lain : Akal
Pertama, Imam Mubin, Qalam al-A’la, Durrah al-Baidla’. Sesuai dengan judul
nama kitab (Asrar al-Insan fi Makrifah ar-Ruh war Rahman) Syeh
ar-Raniri, membahas nama Manusia Sempurna (al-Ghauts Ra) dalam pasal pertama. dari folio 2b sampai folio 6a.
Dan pada folio 6b sampai folio 10a, Syeh menjelaskan kedekatan hamba kepada Tuhan terdapat maqam Wahidiyah, Ahadiyah dan Hakikah Muhmmadiyah. Sedangkan
pembahasan tentang tugas dan kedudukan al-Ghauts, dijelaskan pada folio 10b
samapai folio14a.
Diantara penjelasan Syeh ar-Raniri
tentang keberadaaan al-Ghauts Ra :
a. Pada folio 1a, Syeh menerangkan :
كَاتَ ستعَهْ دَرِفَدَ مرِكَئِتُ
بَهْوَاسَثَ رُوحُ القُدُّوسْ إِيْتُ يَائِتُ رُوحْ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kata setengah dari pada mereka itu (kaum
sufi-pen), bahwasanya Ruhul Quddus itu Ruh
Muhammad Saw.
b. Pada folio 2b Syeh
menerangkan :
خَلْيْفَة إِيْتُ دِنَمَائِي رُوْحُ
الاَعْظَمْ. كتَهُوِي أُولِهْمُوهَيْ عَارِفْ بَهْوَسَثَ رُوْحُ الاَعْظَمْ فَدَا حَقِيْقَةْ
يَائِيْتُلَهْ رُوْحُ إِنْسَانْ يَعْ مَظْهَرْ ذَاتِ الاِلَهِي دَرِفَدَ فِيْهَقْ
رُبُوبِيَتْثَ .بَهْوَسَثَ هِيْدُفْ سكَالَ عَالَمْ برْكرَاقْ دعَنْ دِيَ
دَانْلاَكِ سبَبْ كَارنَ إِعْتِبَارْ رُبُوبِيَتْثَ كأَدَأنْثََ تمْفَتْ ترْبِتْ
حَيَاتْ يَعْ حَيَةْ
Khalifah itu dinamai Ruhul A’dlam.
Ketahui olehmu, hai arif, bahwasanya Ruhul A’dlam pada hakikat, yaitulah “ruh
insan”, yang madhhar (menjadi tempat penampakan) Dzat (nur) Ilahi dari pihak
rububiyatnya. Bahwasanya, hidup segala alam bergerak dengan Dia. Dan lagi sebab
karena i’tibar rububiyat-Nya keadaannya tempat terbit hayat yang hayat.
4. Pada folio 3b
Syeh menerangkan :
دَنْ إِمَامْ مُبِيْنْ فُونْ نَامَثَ سفرْةِ فِرْمَانْ الله
تَعَالَى (وَكُلُّ شَيْئٍ أَحْصَيْنَاهُ فِيْ إِمَامٍ مُبِيْن) دَانْ تِيَفْ2 سكَالَ سسُوَاتُ تلَهْ كَامِ
هِيمْفُنكَنْْ اِيَ دَلَمْ كِتَابْ. مَكَ
سبَبْ دِنَمَائِي اَكَنْ خَلِيْفَةْ اِيْتُ اِمَامْ مُبِيْنْ. دَرِ كَارنَ بَهْوَاسَثَ سكَالَ عَالَمْ
عُلْوِي دَنْ سُفْلِي دِيْهِمْفُنْ دِدَلَمثَ مَكَ بَارَعْيَعْ أَدَ إِيَ أَصَلْ
سكَالَ سسُوَاتُ فَتُوتْلَهْ إِيَ أَكَنْ إِمَامْ دَنْ سكَالَ سسُوَاتُ إِتُ
مَأْمُومْثَ.
Dan Imam
Mubin pun namanya, seperti firman Allah Swt : Dan tiap-tiap segala sesuatu
telah Kami himpunkan ia dalam kitab mubin. Maka sebab dinamai akan khalifah
itu, Imam Mubin. Dari karena bahwasanya segala alam
(ringkasan-pen) ulwi (atas-pen) dan sufli (bawah-pen) dihimpun
didalamnya. Maka barang yang ada, ia asal segala sesuatu. Patutlah ia Imam dan segala sesuatu
itu makmum.
5. Pada
folio 4a, Syeh menerangkan :
دَنْ نُورُ الاَنْوَارْ فُونْ نَامَثَ
سفرْةِ فِرْمَانْ الله تعالى (وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرَهُ) بَهْوَسَثَ الله جُوَا
يَعْ مثمْفُرْنَاكَنْ نُورْثَ. دَنْ حَدِيثْ نَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ (أَنَا مِنْ نُور اللهِ وَالعَالَمُ مِنِّي) نُورْكُو دَرِقَدَ
نُورْ
الله دنْ عَالَمْ إِيْتُ دَرِقَدَ نُورْكُو. مَكَ سبَبْ دِنَمَائِي أَكَنْ
خَلِيْفَة إِتُ نُورُ الانْوَارْ
Dan Nurul Anwar pun namanya, seperti firman Allah Swt : Bahwasanya Allah
jua yang menyempurnakan nur-Nya. Dan hadis Nabi Saw : Nurku daripada Nur Allah, dan alam itu
daripada Nurku. Maka sebab dinamai khalifah itu, Nurul Anwar.
2.
Syeh Abus Shamad
al-Falimbani (w. 1785 M).
Beliau sebagai penulis kitab “Siirus
Saalikin”, (berbahasa melayu kuno). Beliau Ra adalah murid dari al-Ghauts
fi Zamanihi Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra (w.1758 M). Sebagaimana umumnya
kitab tasawuf, dalam menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra, buku ini mengulas
secara sekilas saja. Kitab ini merupakan syarah kitab “minhajul ‘abidin”
karya Imam Ghazali Ra. Ketika membahas bab nafsu dalam juz III, beliau
memaparkan adanya 2 (dua) kedudukan iman, wahidiyah dan ahadiyah.
Ketika mengulas
bab “ajaib al-qalbi”, Syeh menjelaskan; pencapaian martabat insan kamil sangat berkaitan dengan keberhasilan sesorang dalam melawanan tujuh nafsu yang ada dalam
jiwa; ammarah, lawwamah,
mulhamah, muthmainnah, radliyah, mardlyah dan kamilah. Dalam
melawan hawa nafsu, kekuatan dan persiapan seseorang tidak sama. Bagi orang yang memiliki kemauan
keras, Allah Swt akan menolongnya. Namun, dalam perjuangan melawan
nafsu, kebanyakan manusia berhenti pada nafsu yang keempat, nafsu mutmainnah. Sedangkan
maqam nafsu mauthmainnah ini, sebagai tahapan awal kedekatan seseorang pada Allah Swt. Dan masih ada maqam
diatasnya lagi, yakni maqam ahadiyah atau tamkin.
Yang mana maqam ini merupakan tahap awal
dalam memasuki maqam nafsu mutmainnah. Dan tahapan selanjutnya, seseorang
akan memasuki maqam wahidiyah.
Memang - sebagaimana penjelasan Imam
al-Ghazali dalam bab “dzammul ghurur” - banyak manusia yang tertipu oleh
ke-aku-annya (ego/ diri rendah), hingga merasa sudah sampai ke puncak makrifat.
Padahal masih ditengah jalan. Semestinya – demikian Syeh Palimbani -, menjelang
tahapan maqam muthmainnah, setiap salik harus meningkatkan kesyauqan, kerinduan
dan dapat melihat negatifnya nafsu tingkat tinggi dan kemudian menangis dengan
segala kekurangan dan aibnya tersebut. Setelah nafsu muthmainnah –demikian Syeh
Palimbani -, masih terdapat nafsu diatasnya, yaitu radliyah, mardliyah
dan nafsu kamilah. Dan salik yang mencapai nafsu kamilah, hanya satu orang
saja, dialah Insan Kamil lagi Mukammil atau dialah Manusia Khawas lagi Kawash
al-Khawash (al-Ghauts Ra). Dalam penjelasan
selanjutnya, Syeh Palimbani menerangkan, bahwa Syeh Muhammad Ibn Syeh Abdul
Karim As-Samani, mampu mencapai derajat nafsu kamilah/ Manusia Sempurna/
Syeh al-Waliy al-Kamil al-Mukammil/ Quthb az-Zaman Ra.
3.
Mohammad
Nafis ibn Idris al-Banjari (1735 M).
Beliau sebagai penulis kitab “Durrun
Nafis”. Kitab ini juga berbahasa melayu kuno.
Dan mengulas
keberadaan waliyullah, kitab ini mengulas keberadaan al-Ghauts secara sekilas
saja. Dan ketika membahas ke-Esaan Allah Swt, beliau memaparkan iman wahidiyah
dan ahadiyah.
4.
KH. Mishbah Zain Al Mushthafa.
Beliau adalah penulis kitab Tahrir ad Durar Fii Aqwal al
Auliya’ al Abrar-nya Bangilan - Tuban- Jawa timur. Buku ini menerangkan keberadaan 9 orang al-Ghauts Ra dengan disertai beberapa fatwa dan amanat
dari mereka.
5.
Dr. Yunasril Ali.
Beliau adalah penulis buku yang berjudul Manusia
Citra Ilahi. Didalam buku ini mengulas tentang perbedaan antara Syeh Ibnu
Arabi Ra dan Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra dalam mengulas martabat wahidiyah,
ahadiyah, hakikatul Muhammadiyah dan Insan Kamil
(al-Ghauts). Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra – sebagaimana
keterangan Yunasril - lebih condong kepada aqidah sunni (al-wujud minal ‘adam/
creasio ex nihilo), sedangkan Ibnu Arabi Ra lebih condong kepada ulasan para
ahli filasaf Islam. Sebab ulasan para filusuf muslim – menurut Syeh Ibnu Arabi
-, tidak keluar dari kaidah al-Qur’an dan hadis.
6.
Prof. Dr.
Dawam Raharja (Pakar ekonomi Islam Indonesia).
Dengan karyanya Insan Kamil Dalam
Konsepsi Islam. Buku ini bersifat kumpulan dari berbagai pendapat para
pakar muslim dan non muslim yang membahas tentang keberadaan manusia sempurna (al-Ghauts
Ra), yang diantaranya membahas pendapat Muhammad Iqbal tentang adanya manusia
yang memiliki jiwa super ego.
7.
Drs. Idrus
Abdullah al-Kaaf dengan karya Bisikan Bisikan Ilahi.
Buku ini merupakan ulasan terhadap kitab ad-Durrul Mandzum
li Dzawil Uquul wal Fuhuum-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi
al-Haddad Ra. Dalam buku ini - selain menerangkan derajat Ghauts yang dijabat
oleh Imam Ghazali Ra, Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra dan Syeh Umar al-Ahdali -,
Idrus al-Kaf juga menerangkan bahwa Syeh Abdullah Alwi al-Haddad Ra dapat
mencapai derajat al-Ghauts fii Zamanihi Ra yang wafat pada tahun 1132 H.
Sedangkan kitab dan karya para ulama dari
luar Indonesia yang telah membahas keberadaan al-Ghauts Ra, antara lain :
1.
Imam Abul
Qasim Hawazin al-Qusyairi Ra, karya Risalah al-Qusyairiyah.
2.
Syeh Umar
Suhrawardi Ra, karya Awarif
al-M’arif.
3.
Syeh Abdul
Qadir al-Jilani, karya al-Ghunyah li
Thalib al-Haqqi.
4.
Abdul Wahab
As Sya’rani Ra al-Yawaqit wal Jawahir dan Tabaqatul Kubro
5.
Syeh Abdul
Karim Al Jilliy Ra, karya al-Insan al-Kamil. Syeh Ahmad Kamsykhanawi Ra,
karya Jami’ul ushul al Auliya’
6.
Syeh Muhammad
Amin Al Kurdi Ra, karya Tanwir al-Qulub
7.
Syeh Isma’il
Nabhani Ra, karya Sa’adah ad-Daraini, Syawahid al-Haq, Jami’
Karamah al-Auliya’
8.
Syeh
Jalaluddin Suyuthi Ra, karya al-Hawiy
lil Fatawiy
9.
Abu Nuaim
al-Ishbahani Ra, karya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah as-Shufiyah
10.
Syeh Ali
al-Jurjani Ra, karya Kitab at-Ta’rifat.
11.
Ibnu Arabi
Ra, karya Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam
12.
Imam Ghazali
Ra, dengan karya Misykat al-Anwar, al-Imla’ fi Isykalah al-Ihya, al-Madlnun
Bih, dan al-Maqshad al-Asna dan Iljam al-‘Awam. Dalam beberapa
kitabnya, Imam Ghazali menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra dengan istilah
al-Kamil.
13.
Imam Ahmad
bin al-Mubaarak dengan karya al-Ibriiz min Kalami Sayyidi Abdul Azziiz.
Kitab ini merupakan catatan sejarah dan beberapa fatwa dan ajaran dari
al-Ghauts Ra pada waktu itu. Yakni Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag. Syeh, yang
menjabat al-Ghauts p[ada masanya , adalah seseorang yang tidak dapat membaca
dan menulis (buta hurup). Namun, dalam menjawab pertanyaan tentang segala
disiplin ilmu (hadis, tafsir, fiqih, nahwu/ balaghah, sejarah, maupun lainnya),
jawaban Beliau Ra sangat melebihi dari jawaban para ahlinya yang tidak buta hurup.
14.
Syeh Ahmad
bin Zaini Dahlan, dengan karya Taqriib al-Ushul li Tashiil al-Wushuul fii
Ma’rifatilla wa ar-Rasuul.
15.
Kitab tafsir
Siraj al-Munir nya Syeh al-Khathib
as-Syarbini.
Dalam kitab tafsir ini, Syeh al-Khathb
memeperjelas ayat 251 surat al-Baqarah dengan hadis Nabi Saw dari Ibnu Mas’ud
riwayat Abu Nuaim dan Ibnu ‘Asakir
(tentang keberadaan
al-Ghauts Ra).
16.
Syeh Ibnu
Abidin, dengan karya Ijaabah al-Ghauts. Kitab ini menerangkan, bahwa
Syeh Ahmad Husaini at-Tijani (guru dari Ibnu Abidin) adalah al-Ghauts Ra pada
zamannya. Kitab ini membahas tentang pangkat-pangkat serta etika atau ajaran
dalam kewaliyan, khususnya al-Ghauts Ra.
17.
Imam Ibnu
Hajar al-Hatami dengan karya al-Fatawi al-Haditsiyah. Dalam buku ini, menerangkan
nama nama dari beberapa al-Ghauts Ra. Antara lain : Ibnu Arabi, Syeh Zakariya
al-Anshari dan beberapa al-Ghauts Ra yang dirahasiakan namanya, dan hanya
disebut dengan seseorang yang berpangkat al-Ghauts Ra. Dan pada ulasan tentang “rijalul ghaib”, Syeh
menuliskan hadis ghauts yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Isfahani dan Imam
Ibnu Asakirt Ra.
18.
Syeh Muhammad
Usman al-Mirghani Ra (w. 1268 H), karya an-Nafahatul Makkiyah wa al-Lamhah
al-Haqqiyah.[3]
Sebagai pengamal saydzalaiyah dan naqsyabandi serta mursyid
thariqah naqsyabandiyah, Syeh menjelaskan beberapa nama sanad dan silsilah
tarekat naqsyabandi dan syadzaliyah yang berpangkat al-Ghauts Ra. Diantaranya,
Syeh Abdul Wahab at-Tazi Ra, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Ra, Syeh Muhammad bin
Idris Ra, Syeh Abu Yazid al-Busthami Ra (w. 261 H), Sayid Imam Ja’far Shadiq (w
148 H), Syeh Abu Abbas al-Mursi Ra, Syeh Abdus Salam bin Masyisy Ra
19.
Syeh Ismail
al-‘Ajuluuni Ra karya Kasyful Khifa’ wa Muzilul Ilbas. Kitab ini
merupakan kitab yang menjelaskan hadis-hadis yang diperdebatan tentang hasan,
dha’if, munkar dan maudlu’nya oleh para ulama.
20.
Syeh Muhammad
Amin al-Kurdi degan karyanya Tanwir al-Quluub. Dalam bahasan fadlul
auliya’, Syeh mnejelaskan hadis tentang al-Ghauts yang diriwayatkan oleh
Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir. Dan pula, pentahqiq kitab, dalam memberikan
pengantar kitab, mengabarkan tentang karomah jabatan puncak waliyullah (al-Quthb al-Kabir, al-Ghauts)
yang dicapai oleh Syeh Amin
Ra.
21.
Kitab ad-Da’wah
at-Tammah-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi al-Haddad al-Yamani
Ra.
G. Al-Ghauts
Dalam al-Qur’an & al-Hadits........ bersambung .....
CATATAN :
18 Kitab Siraj at-Thalibiin juz II, hlm : 74
[1]. Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin
Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
وَأَمَّا
عِلْمُ المُكَاشَفَةِ فَلاَ يَحْصُلُ بِالتَعْلِيْمِ وَالتَعَلُّمِ وَإِنَّمَا
يَحْصُلُ بِالْمُجَاهَدَةِ التِي جَعَلَهَا اللهُ تَعَالَى مُقَدِّمَةً
لِلْهِدَايَةِ
Ilmu
mukasyafah (tersingkapnya hati hingga dapat sadar kepada Allah Swt) tidak dapat
dihasilkan dengan pembelajaran ilmu. Da hanya dapat dihasilkan dengan
bermujahadah (perjuangan batin sungguh-sungguh), yang mana Allah Swt telah
menjadikan mujahadah sebagai pendahuluan dari hidayah.
13. Kitab
dari tulisan asli dari Syeh Nuruddin terseimpan pada mosium kerajaan Belanda di
Den Hak. Sedangkan yang ada di Indonesia merupakan disertasi yang ditulis oleh
Tujimah untuk meraih gelar doctoral, dan yang diterbitkan oleh “Penerbitan
Universitas Djakarta” tahun 15 Maret
1960).
Syeh
Nuruddin, merupakan satu dari beberapa ulama yang memberantas paham wahdatul
wujud..
[3]. Lihat Majmu’ah
an-Nafahah ar-Rabbaniyah ala Rasail Mirghaniyah, penerbit “al-Haramain”
Singapura.
Komentar
Posting Komentar