Melestarikan Tradisi Shalih



Melestarikan Tradisi Shalih

Saat ini kita sedang berada dalam era teknologi yang sarat akan berbagai kemajuan di semua lini kehidupan, seolah tingkat progresifitas itu tak terbendung lagi. Kian hari semakin marak berbagai kemajuan yang luar biasa, tidak jarang sebagian di antara kita yang tergilas oleh roda perubahan zaman disebabkan ketidakmampuannya dalam mengikuti perkembangan zaman.

 

Era modern ini penuh dengan berbagai persaingan yang menuntut setiap orang untuk secara aktif terlibat di dalamnya. Bila tidak, bisa dipastikan ketertinggalan bahkan keterpurukannya. Semua akses terbuka lebar di era digital ini. Siapapun anda, apa latar belakang pendidikan anda, profesi anda, pangkat dan kedudukan anda semuanya mempunyai kesempatan yang sama dalam mengakses berbagai informasi dari manapun dan kapanpun anda mau. Persoalannya hanya satu mau atau tidak. Itu saja.

Kesempatan dalam mengakses semua informasi secara cepat ini memberi pengaruh positif bagi perkembangan kemajuan peradaban, namun demikian juga menyisakan berbagai problema yang mulai menggejala bahkan tingkat progresifitasnya juga perlu diperhatikan, termasuk di dalamnya adalah pengaruh budaya dan tradisi asing yang kian merajalela tanpa bisa di bendung.

Bagi masyarakat timur tentu memiliki budaya dan tradisi yang tidak sama dengan masyarakat barat. Kebaikan dalam pandangan barat tidaklah sama dengan kebaikan dalam pandangan masyarakat timur. Oleh karenanya tidak semua budaya barat –yang konon katanya maju, selalu sesuai dengan nilai – nilai dan tradisi keshalihan dan kepatutan masyarakat timur. Hal ini perlu menjadi perhatian serius khususnya bagi kalangan akademisi sebagai agent yang mempersiapkan calon pendidik generasi bangsa ini. Kemajuan dalam berbagai lini kehidupan ini harus dimanfaatkan secara positif sebagai media bantu dalam mempersiapkan calon pemimpin negeri ini, jangan sebaliknya.

Kabar yang baru – baru ini muncul tentu telah mencoreng wajah dunia akademik. Bagaimana tidak, seorang dosen dari salah satu perguruan tinggi menurut informasi yang beredar telah melakukan tindak asusila kepada seorang anak di bawah umur. Sungguh kenyataan ini menjadi satu pukulan telak bagi kalangan akademisi yang kental dengan berbagai disiplin ilmu, kaum intelektual terpelajar yang menjadi ujung tombak dalam membangun generasi bangsa. Ini jelas merupakan korban dari era digital yang dengan leluasanya menyuguhkan berbagai sajian yang kurang atau bahkan tidak patut bagi semua orang di semua jenjang usia untuk ditonton.

Berangkat dari berbagai persoalan di atas, nampaknya perlu bagi semua orang untuk kembali mengaca pada tradisi bangsa yang telah mengakar kuat sebagai sebuah nilai kearifan lokal.  Langkah yang di tempuh oleh salah satu organisasi yang –konon, memiliki masa terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama, pada era 80 an dengan kembali pada khittahnya, kiranya cukup bisa dijadikan sebagai bahan rujukan. Hal ini diperlukan –menurut saya, agar masyarakat timur, tidak kehilangan identitas dirinya dan tidak kehilangan nilai – nilai luhur yang semenjak dahulu telah diajarkan dan diwariskan oleh para leluhur. Terlepas dari semua pro dan kontra bagi saya hal ini sangat diperlukan.

Adagium dalam ushul fiqh pun juga mendukung hal ini. Kita mengenal qaidah ushul yang sangat tekenal yaitu, al-muhafadzatu ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Setidaknya kaidah ini memberikan ruang bagi kita, umat Islam untuk melestarikan tradisi – tradisi yang baik sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan nilai – nilai dan ketentuan syariat yang telah ditentukan oleh Islam. Selain itu kaidah ini juga memberikan ruang bagi kita untuk menerima sekaligus melakukan tajdid terhadap hal baru yang inovatif yang dirasakan perlu dan memberi manfaat yang lebih. Bebarapa di antaranya adalah ijtihad para ulama dalam menyebarkan ajaran Isalm di tanah Jawa dengan merubah tradisi – tradisi hindu budha yang sarat akan perbuatan syirik menjadi sebuah tradisi yang bernuansa Islami semisal tahlilah, yasinan, shalawatan, manakiban, maulidan, isra’ mi’raj-an dan seterusnya.

Tradisi – tradisi di atas telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Islam di Jawa khususnya. Menurut hemat saya, tradisi semacam ini sangat positif dan bagus untuk tetap di ‘uri – uri’. Bukankah itu bid’ah? Sementara kalangan mungkin akan menyebutnya dengan bid’ah, khurafat dan seterusnya, tetapi dalam pandangan saya, hal semacam ini juga memiliki wadah tersendiri dalam lapangan ushul fiqh, yakni termasuk ke dalam kajian tentang al-mashlahah al-mursalah, suatu kemaslahatan yang itu belum ditetapkan oleh Nabi yang bisa dikembangkan oleh umat Islam pada umumnya karena di dalamnya terddapat sebuah nilai yang positif. Selain itu kiranya kaidah ushul fiqh yang bertolak dari hadits Rasulullah SAW. yakni, ‘Maa ra’aahu al-muslimuna khairan fahuwa ‘indallahi khairun’, juga layak dan bisa digunakan dalam memperkuat argumen ke absahan tahlilan, manakiban, shalawatan dan sederet tradisi masyarakat Islam Jawa.

Setidaknya yang harus di akui oleh dunia internasional bahwa Islam Indonesia khususnya Jawa, memiliki karakter yang berbeda dari Islam di belahan dunia yang lain. Islam di Indonesia memiliki rasa solidaritas yang kuat antara yang satu dengan yang lain. Meskipun, tidak bisa dipungkiri, ada perbedaan antara satu kelompok komunitas muslim di Indonesia, namun semua itu masih tetap bisa rekat dengan toleransi yang diperkuat oleh semangat kebhinekaan yang menjadi semboyan bangsa Indonesia.

K.H. Abdurahman Wahid, Guru Bangsa, yang terkenal dengan sikap pluralisnya pernah memberikan statemen kaitannya dengan hal ini, mengapa Islam Indonesia ini bisa kuat dan sulit dipecah belah bila dibandingkan dengan masyarakat muslim Timur Tengah. Beliau mengatakan bahwa muslim Indonesia bisa menjadi kuat dan sulit dipecah belah oleh karena memiliki tradisi yang tidak dimiliki muslim lain di luar Indonesia yaitu, tahlilan, yasinan, selametan dan sebagainya.

Di akui maupun tidak, selain tradisi – tradisi tersebut memiliki nilai religi, tradisi – tradisi tersebut juga memiliki dimensi sosial yang bisa menjadi perekat hubungan muslim yang satu dengan yang lain. Bayangkan saja, seharian penuh kita disibukkan dengan berbagai urusan ma’isyah dalam mencukupi kebutuhan hidup. Tentunya, kesempatan kita untuk bertemum berkumpul, saling bertukar pikiran dan berbagi keluh kesah antar yang satu dengan yang lain sulit untuk bisa diwujudkan. Beruntung para ulama kita decade awal telah menciptakan tradisi – tradisi yang bisa memberikan ruang, waktu dan kesempatan bagi kita untuk berbagi antar satu dengan yang lain melalui jam’iyyah – jam’iyyah yang ada di sekitar kita saat ini. Tradisi inilah yang sesungguhnya menjadikan watak dan karakter umat Islam di Indonesia yang toleran, menyatu dan penuh dengan keakraban.

Sebagai masyarakat akademik, sudah selayaknya kita ikut serta dalam melestarikan budaya – budaya dan tradisi yang positif ini di tengah – tengah masyarakat kita khususnya pada mahasiswa sebagai generasi bangsa. Tetapi yang perlu diingat adalah bukan hanya sekedar melestarikan, tetapi kita harus mampu memberikan warna, inovasi dan menjadikan tradisi – tradisi ini sebagai media untuk menanamkan nilai luhur Islam, memberikan nuansa yang sekaligus bernilai di hadapan Allah SWT. Bukankah salah satu bukti bahwa iman seseorang itu baik adalah ketika ia mau meninggalkan hal – hal yang kurang bermanfaat bagi dirinya?

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Komentar