Isra’ Mi’raj
Jum’at ini tanggal merah, satu penanda bahwa kegiatan belajar
mengajar di tempat di mana saya mengabdikan diri tentunya libur untuk
sementara. Itulah sebabnya shalat Jum’at kali ini saya ikut berjamaah di Masjid
al-Muttaqin yang letaknya tidak seberapa jauh dari rumah saya tinggal. Kira –
kiran 50 an meter sudah sampai ke lokasi masjid tersebut.
Bertindak sebagai khatib sekaligus imam shalat hari ini adalah
Bapak Imam Fanani, seorang pegiat kegiatan keagamaan di desa saya yang anaknya
juga salah satu mahasiswa di mana saya mengajar, tepatnya pada Fakultas Ushuludin
Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung.
Seperti biasanya khutbah jum’at di awali dengan wasiat untuk
senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT. dengan berusaha sekuat tenaga untuk
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Dengan bekal taqwa maka
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat bisa diperoleh.
Sehubungan dengan bulan Rajab, maka tema yang diangkat khatib hari
ini berkaitan dengan “Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.”. Dalam khutbahnya khatib
menyampaikan bahwa peristiwa isra’ mi’raj termasuk peristiwa besar dalam
sejarah Islam yang secara akal tidak bisa diterima. Bagaimana mungkin seorang anak
manusia bisa menempuh perjalanan sebegitu jauh dalam waktu hanya satu malam,
belum lagi naik ke langit ketujuh dan menghadap Allah di Sidratul Muntaha dan
Mustawa. Sungguh satu peristiwa yang sulit atau bahkan tidak bisa diterima oleh
akal sehat pada umumnya.
Saat berita isra’ mi’raj itu disampaikan kepada umat Islam dan
penduduk Makkah kala itu, spontan saja banyak di anatara mereka yang tidak
percaya, bahkan menuduh Nabi Muhammad SAW. sebagai pembohong dan bahkan gila,
tidak waras akalnya. Begitu dahsyatnya peristiwa isra’ mi’raj hingga
menimbulkan efek yang maha dahsyat di tengah – tengah masyarakat Arab kala itu.
Mereka yang pada awalnya ingkar dan tidak percaya kepada kerasulan Nabi
Muhammad SAW. semakin bertambah ingkarnya, semakin bertambah kebenciannya
kepada Nabi Muhammad SAW. dan semakin menunjukkan sikap memusuhi.
Di sisi lain kedahsyatan peristiwa isra’ mi’raj juga menimbulkan
goncangan pada diri umat Islam. Sebagian umat Islam yang kala itu masih lemah imannya merasa ragu
terhadap kebenaran peristiwa isra’ mi’raj itu, bahkan tidak sedikit di antara
mereka meninggalkan Rasul dan kembali kepada kekafirannya. Sementara orang yang
telah kuat imannya, mereka semakin bertambah keimanannya kepada Allah SWT. dan
semakin meyakini kebenaran ajaran Nabi Muhammad SAW. Tinta emas sejarah Islam
telah mencatat nama Abu Bakar sebagai orang yang pertama kali mempercayai
peristiwa maha dahsyat yang dialami Nabi itu. Abu Bakar telah melihat reputasi
Nabi Muhammad SAW. jauh sebelum Islam datang saat Rasul diagung – agungkan oleh
bangsa Arab dan mendapat gelar penghormatan dari mereka dengan sebutan “al-Amin”.
Ia yakin seyakin – yakinnya bahwa sosok Nabi Muhammad SAW. tidak pernah
berbohong, baik sebelum lebih – lebih setelah diangkat sebagai Nabi dan Rasul.
Sikap tegas Abu Bakar dalam menerima dan meyakini kebenaran isra’
mi’raj telah mengantarkannya menjadi sosok yang oleh Nabi diberi gelar
kehormatan sebagai “al-Shiddiq”. Dialah orang yang dengan bulat penuh keyakinan
percaya kepada segala hal yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW.
Keagungan peristiwa isra’ mi’raj adalah mukjizat yang diberikan
oleh SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini diabadikan dalam al-Qur’an
al-Karim Surat al-Isra’ (17); 1:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ
مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (1)
Artinya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepdanya sebagian tanda – tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S.
al-Isra’ (17); 1)
Demikanlah Allah mengabadikan peristiwa isra’ mi’raj dalam al-Qur’an.
Keagungan peristiwa ini adalah sebagai bukti atas kebesaran Allah. Kiranya perlu
dicatat bahwa peristiwa dahsyat ini terjadi sesaat setelah Rasul mengalami
kegoncangan dalam dirinya sebagai manusia pada umumnya saat ditinggal wafat
oleh dua sosok yang selalu mendukung perjuangannya, Abu Thalib dan Istri
tercinta Khadijah. Waktu kepulangan mereka berdua kehadirat Allah yang sangat
berdekatan hanya berselisih tiga hari tentu semakin menambah kesedihan Nabi,
belum lagi ditambah dengan ancaman dan terror yang diberikan Quraisy yang
semakin bertubi – tubi pasca pengasingan bani Hasyim dan bani Muthalib di
lembah Syiib. Tentunya saat itu adalah saat – saat tersulit bagi Nabi sehingga
beliau memerlukan penguatan dan dukungan terhadap misi dakwahnya. Itulah mengapa
kemudian Allah menunjukkan sebagian tanda kekuasan-Nya kepada Nabi Muhammad
SAW. melalui perjalanan isra’ mi’raj.
Isra’ mi’raj bagi sebagian orang yang lemah imannya maupun ingkar terhadap
kerasulan Nabi semakin menambah keingkaran mereka, sementara bagi mukmin yang
beriman semakin menambah keimanan dan kekaguman mereka terhadap kekuasaan Allah
SWT. Peristiwa ini termasuk bagian dari
ujian keimanan kepada mereka. Jika lulus dalam ujian ini artinya keimanan
mereka semakin meningkat menuju haqqul yakin.
Setelah sekian lamanya peristiwa itu terjadi, saat ini umat Islam
banyak yang memperingatinya sebagai bagian dari sejarah umat Islam yang tetap
harus dilestarikan. Memang benar, saat Rasul masih hidup beliau tidak pernah
melakukan peringatan – peringatan semacam itu. Tetapi seandainya saja
peringatan – peringatan seperti itu tidak ada, bukan tidak mungkin atau bahkan
mungkin banyak di antara generasi muda yang tidak tahu menahu dan mengenal
perjalanan isra’ mi’raj. Terlepas dari sekelompok muslim lain yang tidak
sepakat akan adanya peringatan – peringatan hari besar umat Islam. Setidaknya,
sampai saat ini penulis masih meyakini bahwa tradisi – tradisi dalam
memperingati hari besar – hari besar Islam itu memiliki dampak positif yang
besar dalam pembentukan karakter generasi Islam.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar