Tampilkan postingan dengan label kontemporer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kontemporer. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Juni 2020

Fenomena Gangguan Jin dalam Perspektif Islam


Fenomena Gangguan Jin dalam Perspektif Islam
Catatan Webinar Nasional Ma’had 1

Hari ini, Selasa 23 Juni 2020, saya mengikuti Webinar Nasional Ma’had 1 dengan tema Fenomena Gangguan Jin dalam Persperktif Islam. Webinar ini menghadirkan Ustadz Edy Waluyo, S.Th.I, M.S.I, Kepala UPT Ma’had al-Jami’ah IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung serta konsultan dan praktisi ruqyah syar’iyyah serta pakar psikologi Islam Siska Dwi Paramitha, M.Psi. ahli psikolog.

Kegiatan ini dilaksanakan melalui media zoom meeting mulai pukul 09.00 WIB s/d 11.00 WIB. Tentu banyak hal yang patut dijadikan sebagai ilmu yang bermanfaat bagi kita dalam rangka untuk melindungi diri dari gangguan-gangguan kejiwaan yang terkadang tidak kita sadari.

Jumat, 14 Februari 2020

Wasiat Luqman Hakim


Wasiat Luqman Hakim
Seri Khutbah Jum’at

Sebagaimana biasa, khatib mengajak kepada jama’ah jum’at untuk senantiasa meningkatkan iman dan taqwa kehadirat Allah Swt. Hanya dengan bermodalkan iman dan taqwalah, seseorang bisa meraih kebahagiaan hidupnya di dunia lebih-lebih di akhirat.

Pada kesempatan khutbah ini khatib menyampaikan wasiat Luqman Hakim sebagaimana yang termaktub di dalam al-Qur’an Surat Luqman. Yakni hal yang berkenaan dengan mendidik anak yang menapaki usia remaja.

Jumat, 29 Desember 2017

Muhasabah di Penghujung Tahun 2017



Muhasabah di Penghujung Tahun 2017
(Seri Khutbah Jum’at)


Sebagaimana biasa di awal khutbahnya, khatib mengajak kepada seluruh jama’ah jum’at untuk senantiasa meningkatkan rasa iman dan taqwa kepada Allah Swt. Karena dengan iman dan taqwa maka kebahagiaan hidup baik selama di dunia lebih-lebih di akhirat bisa diraih.

Selanjutnya, khatib mengajak jama’ah jum’at untuk semakin menambah rasa syukur kepada Allah Swt. karena atas nikmat dan karunia-Nya semata, hingga detik ini masih diberi kesempatan menghirup nafas di penghujung tahun 2017. Bulan Desember, yang beberapa jam ke depan akan segera ditinggalkan dan Januari 2018 akan segera menyapa. Satu tanda bahwa perputaran waktu telah mengantarkan pada tahun baru yang sama sekali tidak sama dengan tahun sebelumnya, 2017.

Selasa, 12 September 2017

Dasar dan Tujuan Filsafat Pendidikan Islam


Setiap bangunan kuat memiliki dasar dan pondasi yang kuat. Kualitas pondasi menentukan kokoh dan tidaknya bangunan yang dibangun. Bangunan tidak hanya berbentuk bangunan fisik belaka. Tetapi pengetahuan sesungguhnya juga merupakan bangunan. Kuatnya bangunan ilmu dan pengetahuan yang terejawantahkan dalam bentuk pendidikan sangat bergantung pada dasar dan asas yang menopangnya.

Dasar atau asas pendidikan merupakan landasan berpijak dalam menyusun strategi pendidikan. Asas inilah yang nantinya akan menjadi dasar pijakan pengambilan setiap kebijakan yang ditetapkan untuk meraih tujuan yang diharapkan. 

Dalam al-Qur’an Surat Ibrahim (14); 24-25 disebutkan:

Senin, 28 Agustus 2017

Pengertian dan Bentuk – bentuk Hadits



Pembahasan mengenai hadits selalu saja menarik perhatian, terutama bagi mereka yang ingin mendapatkan pemahaman yang benar tentang ajaran agama yang dianutnya. Ya, hadits diakui sebagai salah satu sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an. Ia memiliki kedudukan penting bagi umat Islam. Siapa yang tetap berpegang teguh padanya, dijamin tidak akan tersesat selama – lamanya. Demikian sabda Rasul, Muhammad SAW.


Keyakinan umat Islam akan pentingnya hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber ajaran agama, tentu tidak sembarangan. Paling tidak ada alasan kuat yang mendukung keyakinan itu. Al-Qur’an dalam Surat al-Hasyr (59); 7 menyebutkan:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7)

Artinya: Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Q.S. al-Hasyr (59); 7)

Konsep Filsafat Pendidikan Islam

Saat mendengar kata filsafat, sebagian orang akan mengernyitkan dahinya. Merasa berat, atau bahkan takut dengan istilah tersebut. Seolah ia adalah momok yang menakutkan sehingga mesti di jauhi atau bahkan diasingkan dari pergumulan. Tidak salah bila sebagian orang, karena alasan tertentu, melarang atau bahkan mengharamkan belajar filsafat. Lantas, apa sebenarnya filsafat itu?

Senin, 29 Mei 2017

Khatmil Qur'an dan Megengan Bersama



Khatmil Qur’an dan Megengan Bersama
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)
Ustadz Marzuki Sedang Memimpin Tahlil

Jum’at (26 – 05 – 2017), Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung menggelar acara khatmil Qur’an yang dirangkai dengan acara megengan bersama. Acara ini diikuti oleh segenap pengelola Ma’had al-Jami’ah yang terdiri dari unsur Mudir Ma’had al-Jami’ah, Dr. K.H. Muhammad Teguh Ridlwan, Murabbi Ma’had al-Jami’ah yang terdiri dari unsur dosen tetap bukan PNS dan Dosen Luar Biasa serta musyrifah Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung yang terdiri dari unsur mahasiswa yang duduk di semester tiga ke atas. Selain itu tampak hadir dalam acara ini beberapa tamu undangan dari beberapa dosen IAIN Tulungagung.

Minggu, 21 Mei 2017

Menempatkan Cinta Rasul di Atas yang Lain



Mencintai Rasul di Atas yang Lain

Indahnya Kebersamaan

Rasulullah Muhammad SAW adalah panutan bagi semua umat Islam. Beliau lah suri tauladan yang tiada duanya di dunia ini. Sungguh siapapun akan terkesima melihat dan mengetahui akhlak dan perangainya yang tiada duanya. 

Suatu saat sayyidina Umar ibnu Khaththab, khalifah Islam yang kedua pernah menyampaikan hal ihwal cintanya pada Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Tafsir Imam Ibnu Katsir yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Bukhari. Hadits itu berbunyi sebagai berikut:

والله يارسول الله أنت لأحب إلي من كل شيئ إلا من نفسي، فقال رسول الله صلى الله غليه وسلم: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه، فقال عمر: فأنت الأن والله أحب إلي من نفسي. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الأن يا عمر  (رواه أحمد والبخا ري)

Artinya: “Demi Allah, wahai Rasulullah, Engkau niscaya lebih aku cintai daripada segala sesuatu selain dari diriku”. Rasulullah SAW menjawab: “Tidak sempurna iman seorang di antara kalian sehingga akuu lebih dicintainya daripada dirinya”. Umar berkata: “Engkau sekarang (wahai Rasulullah), demi Allah, lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Rasulullah SAW bersabda: “Sekarang wahai Umar (telah sempurna imanmu)”. (H.R. Imam Ahmad dan Imam Bukhari)

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Bukhari di atas menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah SAW pada diri seorang mukmin harus melebihi cintanya kepada yang lain, bahkan dirinya sendiri. Seorang yang mengaku beriman kepada Allah akan tetapi kecintaannya pada Rasulullah belum melebihi kecintaannya pada diri sendiri, imannya belum dianggap sempurna.

Umar ibnu Khaththab adalah satu di antara sahabat dekat Rasulullah SAW. yang memiliki rasa cinta kepada Rasul melebihi cintanya kepada yang lain termasuk dirinya sendiri. Tentu hal ini bukan hanya sekedar pengakuan lisan saja, lebih dari itu harus dibuktikan dengan perbuatan yang nyata.

Demikian halnya dengan Umar, kecintaannya kepada Rasulullah melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri telah menjadikannya sosok yang siap berkorban demi keselamatan Rasulullah. Berulangkali ia turut serta terlibat dalam berbagai peperangan pada barisan depan untuk membela Allah dan Rasul-Nya. Ia telah menyiapkan seluruh jiwa raga dan hartanya untuk tegaknya kalimah Allah di dunia ini. Kiranya dia patut untuk dijadikan sebagai panutan bagi seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW.

Di akhir zaman seperti saat sekarang ini, di mana peradaban telah maju dengan pesatnya, teknologi informasi berkembang cepat tanpa bisa dibendung oleh siapapun, kiranya menanyakan pada diri sendiri perlu untuk dilakukan. Berapa sering manusia yang hidup di zaman sekarang menyatakan kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah SAW akan tetapi perilaku dan tabiatnya jauh dari perilaku yang menunjukkan cinta Allah dan Rasul-Nya.

Sebagai akibat dari berbagai perilaku tersebut adalah merebaknya benih – benih perpecahan di antara umat. Perpecahan yang mulai melanda umat Islam di akhir zaman ini. Saling menyalahkan, membid’ahkan bahkan mengkafirkan satu sama lainnya. Sungguh sebuah perilaku yang tidak selayaknya ditunjukkan oleh mereka yang mengaku beriman dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bukankah seorang mukmin itu bersaudara? Bahkan Rasulullah SAW mensabdakan dengan indahnya persaudaraan di antara mereka dengan hadits beliau:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا " *

Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin bagi mukmin lainnya itu bagaikan satu bangunan, sebagian menguatkan sebagian lainnya.”

Hadits di atas kiranya cukup dijadikan sebagai dasar pijakan seorang mukmin dalam berperilaku. Hendaknya seorang mukmin senantiasa menebarkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi ini. Oleh karena itu sungguh bukanlah hal yang dibenarkan bila dalam melakukan dakwah, mengajak umat ke jalan yang diridlai Allah, ditempuh sebuah metode yang justru bisa merusakkan kedamaian.

Seorang muda hebat dan berbakat, Aya Nawafi’ Maksum, asli kelahiran Tulungagung pernah update status yang menukik dalam hal ini. Status itu berbunyi, “…Silahkan kamu memburu surga, tapi jangan ciptakan neraka di bumi ini…”. Status singkat namun sarat akan makna. Selayaknyalah sebagai seorang mukmin yang mengaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi segala yang ada di dunia dan bahkan dirinya untuk senantiasa menebarkan keselamatan, kedamaian dan kasih sayang di dunia ini.

Toleransi adalah kata kunci untuk terciptanya keselarasan dan kedamaian di bumi. Semakin dalam rasa cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, semakin kuat pula rasa toleransi yang disuarakannya. Bukan berarti mendiamkan kesalahan dan kemaksiatan, namun tetap berdakwah, mengajak kepada kebaikan, tetapi tetap dengan cara santun, dan cinta akan kedamaian. Itulah sesungguhnya teladan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat beliau berdakwah mengajak umat untuk kembali mengabdikan diri kepada Allah SWT, Sang Pemilik kehidupan fana ini.

Semakin sempurna cinta seseorang kepada Rasulullah semakin ia akan menebarkan kebaikan di bumi-Nya Allah. Ia sadar betul bahwa semua ini adalah bagian dari takdir Allah yang mesti dijalani dengan ikhlas dan ridla. Bukan tempat untuk menebar kebencian, kedengkian apalagi permusuhan.

Apa yang menimpa bangsa ini kiranya cukup menjadi bahan renungan dan introspeksi diri bagi semua pihak yang terlibat dalam arus perpolitikan dan elemen bangsa. Cinta kepada Rasul akan menumbuhkan rasa cinta kepada bangsa dan tanah air.

Sejarah bangsa ini telah cukup menjadi bukti akan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh mereka yang cinta Allah dan Rasul-Nya. Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Hos Cokroaminoto, Syaikh Hasyim Asy’ari, K.H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan dan sederetan nama yang tidak bisa disebutkan satu persatu adalah sosok – sosok yang memiliki rasa cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kecintaan itu berbuah pada nasinalisme dan semangat kebangsaan. Lantas sejarah mana lagi yang hendak di dustakan?

Semoga kita mampu menjadi orang yang menjadikan cinta Rasul di atas segalanya, melebihi cinta kita pada diri kita sendiri. Semoga bangsa Indonesia, tempat di mana kita tumbuh besar,  yang saat ini diuji dengan isu – isu sektarian segera bisa keluar dari kericuhan dan perpecahan sehingga segera terwujud negara yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Negara yang  "Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo".

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Kamis, 27 April 2017

Menggugat Keummiyan Nabi Muhammad SAW

Menggugat Keummiyan Nabi Muhammad SAW


Sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan muslim bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi panutannya adalah seorang nabi yang ummi. Kata ummi umumnya diartikan sebagai ketidak mampuan nabi dalam membaca dan menulis.

Para ulama salaf dan umumnya kyai pesantren banyak yang beranggapan sebagaimana pandangan di atas. Mereka berargumen bahwa keadaan nabi yang ummi, tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis semakin menunjukkan keotentikan dan kemurnian al-Qur’an sebagai kitab suci.

Ini wajar, karena tidak mungkin bagi seorang yang tidak bisa membaca dan menulis mencipta dan mengarang kitab suci sebagaimana al-Qur’an. Kitab yang sampai detik ini belum ditemukan karya sastra yang mampu menandinginya. Setidaknya inilah yang dijadikan argument oleh para ulama utamanya salaf shalih dan kyai pesantren tentang keummian Nabi Muhammad SAW.

Berbeda dengan pendapat pada umumnya yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Aksin Wijaya mengajukan satu argumen yang -menurut saya, menarik untuk dicermati dan paling tidak bisa menjadi bahan rujukan yang berbeda dari pendapat pada umumnya.

Dalam bukunya “Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an”, ia mengatakan bahwa argumen yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi yang buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis, dan belum pernah membaca kitab – kitab umat terdahulu adalah satu argumen yang sesungguhnya merendahkan kredibilitas Nabi Muhammad SAW. sebagai seorang nabi dan rasul yang dibekali oleh sifat fathanah/cerdas.

Aksin Wijaya mengatakan, “Logika berpikir yang mengartikan “Nabi yang ummi” sebagai yang buta huruf menurut saya justru merendahkan Muhammad sendiri, dan juga merendahkan nilai al-Qur’an sebagai wahyu yang berasal dari Tuhan. Bukankah nilai al-Qur’an sebagai wahyu ilahi itu akan lebih mulia andaikata ia diturunkan pada manusia yang sempurna, yang bukan hanya pandai beretorika, menghafal, tetapi juga membaca dan menulis.”

Beliau mengatakan bahwa untuk menolak tuduhan – tuduhan orang kafir terhadap nabi, tidak selayaknya menggunakan logika yang justru merendahkan Nabi Muhammad SAW. Fakta bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang dibekali kecerdasan akal yang sempurna oleh Allah merupakan fakta yang tak terbantahkan oleh siapapun.

Sebagai misal adalah saat – saat beliau mengalami kesulitan karena hijrahnya dari Makkah ke Madinah. Saat tiba saja telah terjadi peristiwa yang boleh jadi bila tidak diselesaikan dengan cara cerdas akan berbuntut pada pertumpahan darah.

Saat Rasul tiba di Madinah, semua orang ingin agar Rasul tinggal di rumahnya. Namun, kecerdasan Rasul mengambil sebuah solusi yang bijak dan tidak menyakiti siapapun dengan mengatakan bahwa di mana unta beliau berhenti, maka di situlah beliau akan tinggal. Sungguh satu kecerdasan yang luar biasa. Coba saja seandainya beliau langsung memutuskan bahwa beliau akan tinggal di rumah si Fulan, tentu akan banyak orang yang merasa dikecewakan oleh keputusannya itu.

Tidak hanya itu beliau juga mengambil solusi tepat saat dihadapkan pada situasi sulit. Situasi di mana beliau tinggal di tempat baru, di satu sisi ada muhajirin Makkah yang merupakan pengikut setianya selama di Makkah, ada penduduk anshar yang telah menolong mereka dan ada suku – suku dan kabilah yang tinggal di Yatsrib, kala itu yang sering terlibat dalam baku hantam dan saling serang.

Sungguh satu situasi dan kondisi sulit yang menuntut beliau agar mengambil tindakan bijak dan penuh kecerdasan. Akhirnya beliau berinisiatif untuk membuat perjanjian yang kemudian hari dikenal dengan Piagam Madinah.

Nah, fakta – fakta sejarah yang tak terbantahkan ini, merupakan bukti kecerdasan Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya semakin memustahilkan keummiyan, “kebuta hurufan”, beliau sebagai Rasul Allah.

Lantas bagaimana dengan dialog yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW saat beliau ditemui oleh Malaikat Jibril di Gua Hira? Bukankah riwayat menunjukkan bahwa beliau menjawab perintah Malaikat Jibril dengan mengatakan, “Ma Aqra’” atau “Ma Ana biqariin”. Bukankah semua itu menunjukkan keummiyan Nabi Muhammad SAW?

Pak Aksin mengajukan argumen atas dialog ini. Beliau mengatakan bahwa kedua kata ini bukan mengandung naïf, melainkan istifham. Jika diartikan sebagai istifham maka kedua kata ini akan menunjuk pada arti, “Apa yang harus saya baca?”

Beliau menambahkan bahwa sebagai seorang yang manusia sempurna yang memiliki kemampuan membaca dan menulis, pemaknaan demikian juga dikarenakan di dalam dialog tersebut, sang komunikator, roh al-Amin tidak memberikan teks kepada Nabi Muhammad SAW untuk dibaca. Karena tidak adanya teks yang harus dibaca maka Rasul menanyakan perihal apa yang harus beliau baca.

Lantas, apakah dengan tidak mengartikan kata “ummi” sebagai buta huruf, tidak lantas mengurangi keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang bersih dari campur tangan manusia karena diturunkan pada nabi yang cerdas dan bisa membaca dan menulis? Jawabnya tentu tidak. Al-Qur’an memiliki dimensi kemukjizatan tersendiri yang karena kemukjizatannya itulah ia mampu mengalahkan musuh – musuhnya bahkan dengan surat terpendek yang terdapat di dalamnya.

Kemukjizatan al-Qur’an juga tercermin dari tantangan yang diberlakukannya kepada para penentangnya untuk membuat satu surat semisal al-Qur’an dengan mendatangkan semua para penolongnya selain Allah. Dan nyatanya, sampai saat ini belum atau bahkan tidak akan pernah ada seorangpun yang mampu menjawab tantangan al-Qur’an itu.

Nah, oleh karenanya untuk menunjukkan keotentikan al-Qur’an tidak perlu menggunakan argumen yang justru merendahkan kredibilitas Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah seorang Rasul yang dibekali dengan kesempurnaan akal dan kecerdasan. Sebagai umat Islam harus tetap menjaga kredibilitas dan menempatkan beliau sebagai pribadi Agung yang dilebihi kelebihan di atas yang lainnya, baik dari sisi dhahirnya, bathinnya, fisiknya, kesempurnaan akal kecerdasannya dan lain sebagainya.

Disinilah sesungguhnya nilai dari penghormatan dan pengagungan kepada Rasul sebagai utusan Allah SWT. Lantas bagaimana dengan anda? Apakah anda masih tetap bersikukuh dengan pendapat yang mengatakan tentang kebuta hurufan Nabi Muhammad SAW atau mencoba bergeser pada pemahaman baru sebagaimana yang ditawarkan oleh Pak Aksin Wijaya.

Terlepas dari berbagai perbedaan dan perselisihan yang ada, yang jelas al-Qur’an adalah kitab suci yang tetap pada keotentikannya. Rasulullah Muhammad SAW adalah nabi panutan kita yang memiliki keagungan dan kesempurnaan melebihi yang lain dalam semua hal termasuk di dalamnya dalam hal kecerdasannya. Terlepas dari mereka yang mensyaratkan kemampuan membaca dan menulis sebagai syarat kecerdasan, maupun orang yang tidak mensyaratkannya.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam..



Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam

  Keluargo Ideal Sakjerone Agomo Islam   اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ (×٣) اُلله اَكبَرُ (×٣) اُلله أَكْبَرُ كُلَّمَا...