Khatmil Qur’an dan Megengan Bersama
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)
Jum’at
(26 – 05 – 2017), Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung menggelar acara khatmil
Qur’an yang dirangkai dengan acara megengan bersama. Acara ini diikuti oleh
segenap pengelola Ma’had al-Jami’ah yang terdiri dari unsur Mudir Ma’had
al-Jami’ah, Dr. K.H. Muhammad Teguh Ridlwan, Murabbi Ma’had al-Jami’ah yang
terdiri dari unsur dosen tetap bukan PNS dan Dosen Luar Biasa serta musyrifah
Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung yang terdiri dari unsur mahasiswa yang duduk
di semester tiga ke atas. Selain itu tampak hadir dalam acara ini beberapa tamu
undangan dari beberapa dosen IAIN Tulungagung.
Acara
ini dimulai pada sekitar pukul 13.30 WIB setelah pelaksanaan shalat Jum’at.
Khatmil Qur’an sebenarnya sudah menjadi acara rutin yang dilaksanakan oleh
pengelola Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung pada tiap – tiap Jum’at legi
tepatnya dimulai pada sekitar pukul 08.00 WIB. Akan tetapi khusus Jum’at
kemarin acara ini dimulai pada pukul 13.30 WIB karena pada pagi harinya seluruh
dosen, karyawan dan mahasiswa mengikuti upacara peringatan lahirnya Pancasila
di lapangan utama IAIN Tulungagung.
Walaupun
acara ini dilaksanakan siang hari di saat udara terasa panas menyengat, namun
hal ini tidak menyurutkan semangat segenap pengelola Ma’had al-Jami’ah.
Terbukti acara ini bisa digelar dengan lancar dan dengan hasil yang memuaskan
tentunya. Dengan semangat para pengelola membaca al-Qur’an dengan antusias
hingga selesai.
Ustadz Rohmad dan Ustadz Nasikhin Sedang Khusyu'
Mengikuti Tahlil
Selain
dimaksudkan untuk khatmil Qur’an sebagaimana biasa, acara kali ini juga
dimaksudkan untuk “Megengan Bersama” seluruh pengelola Ma’had al-Jami’ah.
Megengan adalah salah satu acara yang menjadi tradisi umat Islam di tanah Jawa.
Megengan dilaksanakan pada tiap – tiap penghujung akhir bulan Sya’ban menjelang
masuknya bulan suci Ramadlan.
Tradisi
megengan telah mengakar kuat dalam darah masyarakat Islam Jawa. Rasanya tidak
lengkap atau bahkan “Saru”, bagi sebagian masyarakat apabila tidak menggelar
acara megengan, baik secara individu, dari rumah ke rumah maupun secara
berjamaah di mushalla atau di masjid sekitar tempat mereka tinggal. Tradisi ini
memiliki makna filosofis yang tinggi yang merupakan ajaran para wali penyebar
agama Islam di tanah Jawa.
Megengan
selain memiliki nilai vertikal berupa hubungan seorang muslim kepada Allah,
sebagai wujud penghambaan kepada Allah dengan mengeluarkan sebagian rizki untuk
bersedekah kepada orang lain, juga memiliki dimensi sosial yang luar biasa bila
mau mengkajinya. Islam memang agama yang sangat menekankan hubungan sosial.
Islam tidak menginginkan seorang memiliki keshalihan vertikal belaka tanpa
memiliki keshalihan sosial. Bahkan bila kita mau mengkaji dan meneliti ayat
maupun hadits sebagian besar di antaranya menerangkan tentang hungungan seorang
muslim dengan dimensi sosial yang ada di sekitarnya.
Tradisi
megengan –dalam dimensi vertikal, adalah wujud penghambaan seorang muslim
kepada Allah dengan mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya untuk
disedekahkan kepada orang lain. Para wali penyebar Islam kala itu tahu betul
kondisi masyarakat miskin yang seringkali terpaksa harus menahan lapar karena
tidak memiliki bahan makanan untuk dimasak dan dimakan. Bahkan Rasulullah SAW
pun dalam sebuah riwayat mensabdakan, ketika salah seorang di antara kalian
memasak makanan hendaknya ia memperbanyak kuahnya. Oleh karena itulah memberi
sedekah berupa makanan yang saat itu dirasa sangat dibutuhkan oleh masyarakat
Jawa menjadi suatu hal yang sangat positif sekedar untuk membantu mereka
mengisi perut yang kemungkinan kelaparan karena tidak memiliki bahan makanan
untuk di makan.
Megengan
juga dimaksudkan untuk mendo’akan arwah para leluhur yang telah kembali kepada
Allah lebih dahulu. Sebagai seorang anak atau ahli warits sudah menjadi
kewajiban bagi mereka untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kakek, nenek
atau siapapun yang telah berjasa dalam kehidupan kita. Melupakan jasa mereka
sama artinya kita tidak bersyukur kepada Allah SWT. Dalam sebuah riwayat
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dinamakan bersyukur kepada Allah, orang yang
tidak bersyukur kepada manusia –yang menjadi perantara nikmat.” Kakek, nenek,
orang tua dan seterusnya atau siapapun yang pernah berjasa kepada kita, mereka
semua berhak mendapatkan balasan syukur kita. Lantas bagaimana bila mereka
telah meninggal?
Bagi
mereka yang telah meninggal tidak ada yang mereka harapkan selain dari do’a
para ahli dunia. Oleh karenanya ahli dunia yang masih hidupm seharusnya tidak
“bakhil” kepada ahli kubur. Do’a mereka senantiasa diharapkan oleh ahli kubur.
Tradisi megengan menjadi salah satu di antara jawaban yang diberikan oleh para
auliya’ dalam rangkan menumbuhkan rasa syukur kepada para ahli kubur yang telah
mendahului kita.
Para Musyrifah Sedang Khusyu' Membaca al-Qur'an
Sementara
dalam dimensi sosial, megengan juga memberikan dampak yang sangat positif. Bisa
dibayangkan bila tidak ada acara semacam ini, mungkin kebanyakan di antara kita
hanya hidup sebagai makhluk individual yang tidak saling mengenal antara satu
sama lain. Setiap kali seseorang disibukkan oleh urusan – urusan pribadi yang
kerap kali menjadikan mereka tidak bisa bertegur sapa dengan saudara, tetangga,
dan handai tolan. Lewat megengan maka jalinan persaudaraan itu akan semakin
erat. Selain itu dengan saling bersedekah maka ikatan kasih sayang dan
silaturahim akan semakin terjalin kuat di antara mereka. Ini lah hal penting
yang harus di sadari oleh umat Islam terutama masyarakat Jawa mengenai tradisi
megengan yang telah lama mengakar kuat sebagai warisan para auliya penyebar
agama Islam.
Namun
demikian, ada beberapa hal yang kiranya perlu menjadi perhatian. Kalau dahulu,
di zaman auliya, “berkat”, akan langsung habis di makan sesampainya dirumah,
lain halnya dengan yang terjadi saat ini. Dulu memang banyak orang yang
kelaparan dan kekurangan makanan, sehingga begitu berkat sampai di rumah,
berkat itu akan segera habis disantap oleh penghuni rumah. Beda ceritanya
dengan sekarang. Banyak berkat yang kemudian bertumpuk tanpa ada yang
menyentuhnya, atau kalaupun ada yang menyentuh, itupun hanya diambil lauknya,
selebihnya dibuang atau diberikan ke binatang peliharaan bagi yang punya. Nah,
ini lah yang kemudian perlu kita cermati.
Megengan
tetap diadakan tetapi dengan cara dan format yang berbeda yang lebih baik dan
mashlahah tanpa menyisakan kemubadziran. Saat ini di beberapa tempat telah mulai
megengan bersama di masjid atau
mushalla. Satu keluarga membawa berkat sekitar empat atau lima dengan
menghitung anggota keluarga, kemudian sisa dari uang yang biasanya mereka pakai
mereka jariyahkan di masjid atau mushalla dengan maksud tsawabul a’mal-nya di
tujukan kepada ahli kubur. Menurut hemat saya ini adalah hal yang positif.
Tradisi positifnya tetap kita jaga, sementara formatnya kita memakai yang lebih
baik. Dalam kaidah ushul kita memakai kaidah, “al-Muhafadzatu 'ala al-qadimi
al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah”, melestarikan hal – hal lama yang
baik dan mengambil hal – hal baru yang lebih baik.
Alhamdulillah
khatmil Qur’an dan mengengan bersama yang digelar Ma’had al-Jami’ah IAIN
Tulungagung berjalan dengan lancar dan sukses. Acara kemudian dilanjutkan dengan
ramah tamah sambil menyantap lodo ayam dan aneka sajian yang telah disiapkan oleh Ustadz Ade Idham
Prayogi, M.Pd.I
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar