Siapa Dosennya???



Siapa Dosennya?



Beberapa waktu lalu saya sempat menanyai seorang mahasiswa yang hendak meninggalkan kelas. Iseng sebenarnya saya menanyakan kepada mahasiswa tersebut. Saya tanya, “Tidak masuk kelas mas?”, waktu menunjukkan jam yang seharusnya ia masuk. Mahasiswa tersebut menyahut, “Tidak pak, dosennya tidak masuk”. Saya kembali bertanya, “Siapa dosennya?”. Mahasiswa itu berkata, “Waduh lupa pak namanya, pokoknya dosen mata kuliah bla bla bla…”.

Saya kaget mendengar kenyataan jawaban mahasiswa ini. Sungguh satu hal yang –menurut saya, tidak patut untuk ditiru oleh seorang pembelajar. Tetapi, mau apalagi, ini lah kenyataan, fenomena yang tak terelakkan yang terjadi di dunia pendidikan.

Saya tidak tahu, entah berapa banyak pembelajar (pelajar maupun mahasiswa) yang semisal dengan mahasiswa yang saya tanyai itu. Jika jumlahnya banyak, tentu menjadi PR bagi kita para pendidik untuk memberi pemahaman yang benar kepada mereka.

Guru memiliki arti penting dalam proses pembelajaran. Tidak peduli apakah ia disebut dengan guru, dosen, ustadz maupun kyai, tetap saja mereka memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Jasa mereka teramat besar untuk dilupakan. Mungkin ada istilah mantan pacar, mantan teman dan seterusnya. Tetapi khusus untuk profesi satu ini, tidak selayaknya kita menyebutnya dengan mantan guruku, mantan dosenku, mantan ustadzku, mantan kyaiku dan sebagainya. Sungguh hal yang memprihatinkan bila ada orang yang menjadikan seorang guru sebagai mantan gurunya.

Kalau menyebut mantan guru saja adalah hal yang tabu, apalagi melupakan guru di saat kita sedang menyerap ilmunya. Sungguh terlalu, sikap yang harus dijauhkan dari diri kita yang sedang menuntut ilmu.

Ketidak tahuan kita akan nama seorang guru, menunjukkan ketidak hormatan kita kepada mereka. Padahal kita menyerap ilmunya. Sesuatu yang sangat berharga, tidak bisa dinilai dengan harta apapun. Bayangkan saja, harta bila kita berikan kepada orang lain akan berkurang dan lama kelamaan akan habis, tetapi ilmu sebaliknya semakin kita berikan semakin bertambah. Harta menjadikan kita sebagai budak yang harus menjaganya setiap saat, bila tidak ingin diambil oleh pencuri. Sebaliknya ilmu justru menjaga kita dari berbagai kesalahan sehingga hidup kita akan semakin terarah ke arah yang  lebih baik.

Bagi para salaf shalih, ketaatan kepada guru yang mengajarkan ilmu adalah hal mutlak yang tidak bisa ditawar oleh seorang murid. Mereka selalu bersikap tawadlu’ kepada para guru dan asatidz sehingga keridlaan gurunya menyebabkan ilmu yang diberikan semakin mudah mengalir masuk ke dalam hati sanubari murid.

Tidak hanya berhenti di situ. Sikap ta’dzim seorang murid di hadapan guru, menjadikannya sebagai sosok yang ikhlas dalam mengamalkan ilmu. Ilmu yang mereka dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat dan barakah. Banyak di antara salaf shalih yang meski kehidupannya serba pas - pasan, namun hidupnya bermanfaat bagi banyak orang.

Ketaatan kepada guru dalam tradisi salaf shalih seharusnya tetap dipertahankan oleh para pembelajar di era modern ini. Ya, memang, zaman dulu dan sekarang tidak sama. Dahulu serba kekurangan, banyak pelajar yang harus menahan lapar berhari – hari atau bahkan berbulan – bulan demi mendapatkan ilmu. Beda dengan sekarang, semua serba kecukupan, bila makan mereka tinggal pergi ke warung – warung dan seterusnya.

Akses informasi yang kian lancar dengan berbagai fasilitas yang secara mudah mereka dapatkan, seharusnya tidak lantas melunnturkan nilai kearifan lokal dan tradisi positif. Justru sebenarnya sebagai subjek pelaku, kita tidak menjadi korban, tetapi kita bisa menjadikannya sebagai sarana untuk semakin memperbaiki kualitas diri.

Kaitannya dengan ketaatan kepada guru, al-Syaikh al-Zarnuji mengungkap secara panjang lebar dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim”, satu kitab yang mengkaji tentang etika seorang murid dalam belajar. Sungguh, meski kitab ini terbilang kitab klasik, selayaknya seorang pelajar mempelajari kitab ini dan kemudian mengamalkannya saat mereka menuntut ilmu. Insya Allah bila mereka berpegang teguh pada apa yang ada dalam kitab ini, proses belajar mereka akan semakin lancar dan ilmu yang di dapatkan akan bermanfaat dan barakah baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam kitab ini diceritakan seorang Imam Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW, suami Fathimah, yang masyhur sebagai “Babul Ilmi”, beliau mengatakan, “Aku adalah budak bagi seorang yang mengajarkan ilmu kepadaku meski satu huruf, bila ia menghendaki, ia bisa memerdekakanku, dan apabila ia berkehendak ia bisa menjualku”. Sungguh satu hal luar biasa yang mungkin tidak akan pernah kita jumpai di era saat ini.

Pernyataan Ali ini sesungguhnya adalah sebuah ungkapan penghormatan yang tinggi kepada sosok seorang guru. Tidak mengherankan bila kemudian Ali berubah menjadi sosok yang alim melebihi yang lain hingga Rasul menjulukinya sebagai “Pintu Gerbang Kota Ilmu”.

Hal ini seharusnya dicontoh oleh para pelajar hari ini, bukan malah sebaliknya. Berapa banyak kasus yang kita dengar kaitannya dengan hubungan seorang guru dan murid. Hanya gara – gara persoalan sepele seorang wali murid menuntut dan menjebloskan guru ke penjara. Mentang – mentang dia seorang kaya yang berpangkat. Ini adalah contoh yang kurang atau bahkan tidak patut bagi dunia pendidikan kita.

Citra pendidikan -menurut saya, akan semakin terpuruk jika fenomena tidak kenal guru/dosen semakin merebak dalam dunia pendidikan kita. Menjadi kewajiban para guru dan akademisilah menyadarkan peserta didiknya akan pentingnya menghormat dan menghargai para guru dan pendidiknya. Bukan gila hormat, tetapi lebih karena menempatkan sesuatu pada tempatnya. Itu saja. Bagaimana menurut anda?

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Komentar