Selasa, 16 Mei 2017

Mencari Guru Kamil Mukammil



Mencari Guru Kamil Mukammil



Dalam dunia tasawuf, untuk menuju ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah, bukan lah hal mudah. Tidak semua orang bisa menggapainya dengan mudah. Barangkali ada di antara kita berfikir bahwa dunia tasawuf utamanya thariqah mengada – ada kaitannya dengan adanya “Guru Mursyid” yang kamil mukammil, yang selain imannya telah sempurna, ia juga mampu mentakmilkan iman muridnya sehingga sampai kepada hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT.

Keberadaan seorang guru kamil mukammil dalam dunia tasawuf untuk membimbing seorang murid yang sedang menempuh jalan menuju kepada Allah dalam pandangan sufi, hukumnya adalah wajib. Tanpa guru yang mencapai maqam seperti ini seorang salik akan mudah dijerumuskan oleh setan yang sangat lembut dalam menyesatkan manusia.

Dalam al-Qur’an Surat al-Nahl (16); 43, Allah berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43)

Artinya: Maka bertanyalah kepada ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak mengetahui. (Q.S. al-Nahl (16); 43)

Menurut pandangan sufi ahlu dzikir di sini tidak hanya sekedar mereka yang berilmu pengetahuan yang ahli dalam ilmu syariat belaka, namun lebih daripada itu mereka adalah orang yang hatinya “yathufullaha da’iman”, orang yang hatinya senantiasa thawaf kepada Allah. Orang yang memiliki hati yang senantiasa thawaf kepada Allah itu tidak lain adalah seorang yang berpangkat “al-Ghauts” atau “Wahidu Zamanihi”.

Seorang yang menempuh perjalanan menuju Allah tanpa adanya seorang guru yang membimbing dan mengarahkannya, maka setanlah yang akan menjadi gurunya. Al-Syaikh Abu Yazid al-Basthami mengatakan sebagaimana yang terdapat dalam kitab “Jami’ul Ushul fil Auliya’”, karya al-Syaikh Kamasykhanawi, pada bagian “Mutammimat” dalam “Bayan washiyatul muriidin”, dengan fatwanya:

من لم يكن له أستاذ فإمامه الشيطان. وقالوا: من لم يكن له شيخ فشيخه الشيطان

Artinya: Barangsiapa yang tidak memiliki guru (guru ruhani), maka setanlah imamnya. Dan mereka semua berkata: Barangsiapa yang tidak memiliki guru (ruhani), maka gurunya adalah setan.

Fatwa al-Syaikh Abu Yazid al-Busthami ini diperkuat oleh fatwa al-Syaikh Abdul Wahhab al-Sya’rani sebagaimana terdapat pada kitab “al-Anwar al-Qudsiyah”-nya dalam bab Adabul Murid, beliau memfatwakan:

المريد إذا مات شيخه وجب عليه اتخاذ شيخ أخر يربيه

Artinya: Seorang murid, ketika Syaikh (Guru Ruhaninya) mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syaikh penggantinya untuk membimbingnya.

Begitulah perjalanan menuju kepada Allah. Bahkan begi seorang yang berilmu luas, seluas apapun ilmu agamanya menurut para ulama ahli tasawuf sebelum dia mencapai derajat “al-Ghauts”, maka ia wajib untuk mencari seorang guru yang kamil mukammil. Keterangan tentang kewajiban seorang yang memiliki ilmu luas untuk tetap berguru pada seorang yang kamil mukammil disampaikan oleh al-Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitabnya “Tanwirul Qulub”. Beliau berfatwa:

لا ينبغي للعالم ولو تبحر فى العلم حتى صار واحدا أهل زمانه أن يقنع بما علمه وإنماالواجب عليه الإجماع بأهل الطريق ليدلوه على صراط المستقيم. ولا يتيسر ذلك (كدورات الهوى وحظوظ نفسه الأمارة بالسوء) عادة إلا على يد شيخ كامل عالم فإن لم يجد فى بلاده أو إقليمه وجب عليه السفر إليه

Artinya: Tidak patut bagi seorang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya sehingga ia menjadi Wahidu Zaman (al-Ghauts) pada masanya. Bahkan wajib baginya berkumpul bersama dengan para ahli thariqah, agar ia ditunjukkan ke arah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia di bawah kekuasaan dan bimbingan Syaikh yang kamil mukammil dan alim dalam hal tersebut. Dan apabila di daerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru atau Syaikh kamil, maka wajib baginya pergi menuju daerah yang Syaikh kamil mukamil berada di sana.

Ini lah pentingnya seorang guru ruhani yang kamil yang mampu mentarbiyah muridnya agar sampai ke hadlrah qudsiyah-Nya Allah SWT. Namun, karena sulitnya menemukan guru yang kamil mukammil, Rasul juga mengingatkan kepada umatnya agar senantiasa berhati – hati dalam memilih guru. Jangan sampai guru yang dipilih adalah guru ruhani yang menyesatkan. Sabda Rasul sebagaimana termaktub dalam kitab “Jami’ al-Shagir”-nya Imam Jalaludin al-Suyuthi, juz I bab alif:

إنما أخوف ما أخاف على أمتي الأئمة المضلون

Artinya: Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah pemimin – pemimpin yang menyesatkan.

Lantas bagaimana kita bisa menemukan seorang guru yang kamil mukammil yang berpangkat “al-Ghauts”? Perbanyak tawasul kepadanya dengan hadiah surat al-Fatihah. Hatinya seorang yang berpangkat "al-Ghauts" itu memenuhi jagat raya. Dari mana kita memanggil, maka ia bisa mendengar panggilan kita. Hubungan ruhani dengan "al-Ghauts" sangat penting untuk dilakukan agar kita mendapat tarbiyah dan nadzrah istimewanya. Dengan nadzrah dan tarbiyah tersebut kita setapak demi setapak akan meningkat hingga sampai pada "hadlrah qudsiayah"-Nya Allah. Demikian menurut para ulama ahli sufi.

Perlu diingat setiap zaman itu ada "al-Ghauts", bila beliau meninggal, maka Allah akan menggantinya dengan yang lain sampai datangnya kiamat. Bila sudah tidak ada lagi "al-Ghauts" maka itu merupakan pertanda bahwa kiamat akan segera tiba. Oleh karenanya beliau selalu ada dan selalu memperhatikan urusan umat. 

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar