Kajian Tasawuf Jilid V



Kajian Tasawuf Jilid V          
(Ma’had al-Jamiah IAIN Tulungagung)



Alhamdulillah Ma’had al-Jami’ah kembali bisa mengadakan acara rutin kajian rutin tasawuf yang jum’at kemarin telah memasuki sesi kelima. Ternyata kajian ini semakin menarik minat para penggemar tasawuf bahkan banyak mahasiswa yang mulai tertarik untuk ikut serta dalam kajian ini. 

Awalnya memang kajian ini dimaksudkan untuk para murabbi sebagai tempat sharing pengalaman dan pengetahuan. Kemudian murabbi mengajak para musyrifah yang berasal dari unsur mahasiswa yang mengelola ma’had mukim, dan kabar terakhir kemarin ada mahasiswa luar yang juga ikut dalam kajian ini. Mudah – mudahan ini bisa semakin menambah semangat sahabat – sahabat murabbi dan mahasiswa untuk semakin menekuni dunia tasawuf dalam rangka menggapai iman musyahadah dan ma’rifat billah. 

Kajian tasawuf putaran kelima ini membahas tentang kalimah hikmah al-Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandari dalam kitab hikamnya:

لا يكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح فى الدعاء موجبا ليأسك، فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فيما تختاره لنفسك، وفى الوقت الذى يريد لا فى الوقت الذى تريد

Artinya: Janganlah penundaan pemberian – pemberian (karunia – karunia) bersamaan dengan kesungguhan dalam berdo’a, menyebabkan engkau berputus asa. Maka Ia menjamin untukmu ijabah (terhadap do’a) dalam hal yang Dia pilihkan untukmu bukan hal yang engkau memilihnya untuk dirimu, dan pada waktu yang Dia inginkah bukan pada waktu yang engkau inginkan.

Kalimah hikmah ini sebelumnya sudah disinggung sedikit dalam kajian tasawuf jilid IV, namun di jilid lima ini kalimah hikmah inilah yang akan menjadi fokus topik kajiannya. Semoga bisa semakin menambah keimanan dan keyakinan kita akan kekuasaan Allah yang mutlak dan menjadikan kita sebagai ahlul muhibbin.

Allah memiliki rahasia – rahasia yang terkadang rahasia itu belum atau bahkan tidak dipahami oleh hamba-Nya. Bagi mereka yang keimanannya kuat mereka beriman dan meyakininya sembari meyakini bahwa rahasia Allah pada dirinya adalah yang terbaik. Sebaliknya bagi mereka yang tingkat keimananya lemah atau bahkan ingkar terhadap Allah, mereka cenderung mengalami gundah gulana saat memahami rahasia – rahasia ketuhanan itu.

Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman dalam Surat al-Ghafir (40); 60:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (60)

Artinya: Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang – orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (Q.S. al-Ghafir (40); 60)

Ayat di atas seolah menjadi sebuah jaminan dari Allah bahwa setiap do’a yang dipanjatkan oleh hamba-Nya akan diijabahi. Ayat ini pulalah yang kemudian menjadi sebuah motivator bagi seseorang untuk berdo’a apalagi dikala menghadapi sebuah masalah dalam hidupnya.

Kaitannya dengan kalimah hikmah Ibnu Athaillah di atas, adakalanya disaat seorang hamba memohon kepada Allah SWT dengan kesungguhan hatinya, tetapi ternyata Allah belum juga memberikan ijabah yang dijanjikan-Nya. Terkadang keadaan semacam ini membuat seorang salik merasa berkecil hati bahkan putus asa sehingga ia berhenti dari do’a yang dipanjatkannya. 

Ibnu Athaillah mengingatkan kita agar jangan sampai ditundanya pemberian Allah kepada kita bersamaan dengan kesungguhan do’a menyebabkan kita berputus asa dari rahmat Allah. Justru ditundanya pemberian itu seharusnya membuat kita semakin giat dalam berdo’a kepada-Nya. 

Ijabahnya do’a sesungguhnya bukanlah tujuan dari do’a. Tujuan hakiki dari do’a itu adalah sebuah pengakuan akan kelemahan diri dan pengakuan akan keagungan dan kemaha kuasaan Allah SWT sebagai Tuhan yang patut disembah. Oleh karenanya ketika pemberian Allah tidak kunjung datang bersamaan dengan giatnya kita berdo’a kepada-Nya, bukanlah sebuah hal yang benar bila lantas kita berputus asa dan meninggalkan do’a kepada Allah.

Orang yang meninggalkan do’a sebenarnya adalah orang yang sombong. Meninggalkan do’a sama artinya dengan menganggap bahwa ia mampu melakukan segala sesuatu tanpa bantuan Allah. Sebaliknya do’a menunjukkan akan kelemahan diri kita sebagai seorang hamba yang senantiasa memerlukan bantuan dan rahmat Allah SWT.

Belum terijabahnya do’a boleh jadi juga karena Allah masih menginginkan kita agar kita senantiasa menyebut – nyebut dan mengagungkan-Nya. Allah merasa cinta kepada kita sehingga Allah ingin terus mendengarkan suara rintihan kita dalam setiap do’a yang kita panjatkan kepada-Nya. Boleh jadi juga do’a itu masih antri, seperti kita antri tiket di dunia ini. Bila karena tak kunjung sampai pemberian itu kemudian kita pergi, maka ijabah itu tidak jadi akan datang.

Ibnu Athaillah mengingatkan kita bahwa ijabah adalah sesuatu yang telah dijanjikan Allah, padahal Allah itu tidak akan mengingkari janji-Nya. Oleh karenanya janganlah tertundanya atau telatnya pemberian Allah menyebabkan kita menjadi putus asa dari rahmat-Nya Allah. Sebaliknya do’a itu harus terus kita panjatkan setiap waktu dan kesempatan untuk membuktikan penghambaan kita kepada-Nya.

Ijabahnya do’a itu tergantung pada iradah-Nya Allah, kapan waktunya dan dalam bentuk apa ijabah itu, semua adalah hak mutlak Allah. Hukum bagi seorang hamba adalah tidak boleh memilih sesuatu melebihi pilihan Tuhannya. Ia juga tidak patut untuk mengatakan patut pada dirinya suatu hal karena ia bodoh, tidak mengetahui apakah hal tersebut baik bagi dirinya atau tidak. Karenanya seorang hamba harus senantiasa menerima dengan ikhlas ketentuan yang diberikan Allah kepadanya. Ini bukan berarti ia lantas menjadi malas dan tidak mau melakukan ikthtiar. Ingat ini adalah urusan kesadaran hati.

Hati tetap sadar dan menerima ketentuan Allah. Adapun mengenai syariat tetap saja ia harus berusaha dengan sungguh – sungguh, tidak boleh malas. Ini namanya, yukti kulla dzi haqqin haqqahu, memberikan hak pada yang punya hak atau disebut dengan mengisi bidang. Bidang hati ya harus diisi, sebaliknya bidang jasmani juga harus dipenuhi.

Ijabahnya do’a oleh Allah adalah mutlak hak prerogatif-Nya yang tidak bisa diganggu gugat oleh yang lain. Oleh karenanya ketika Allah telah memilihkan waktu dan bentuk ijabah-Nya, maka seorang hamba tidak boleh memilih keinginannya sendiri. Artinya, ketika waktu dan bentuk ijabah itu tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapannya, ia harus tetap ridla dan ikhlas menerimanya. Abu Hasan al-Syadzili mengatakan:

لا تختر من أمرك شيئا واختر أن لا تختار وفر من ذلك المختار

Artinya: Janganlah engkau memilih sesuatu untuk urusanmu, pilihlah untuk tidak memilih, dan larilah dari pilihan (yang kamu pilih sendiri) itu.

Jadi janganlah memilih sesuatu untuk urusan dirimu. Serahkan semuanya pada Allah. Biarkan Allah memilihkannya untukmu. Pilihlah untuk tidak memilih sesuatu untuk dirimu. 

Kebanyakan orang yang mengalami stress karena mereka memilih urusannya sendiri. Mereka tidak menyandarkan hal itu kepada Allah sehingga begitu mengalami kegagalan dalam hidupnya, apa yang diinginkannya tidak kunjung sampai, ia mengalami stress bahkan tidak jarang yang lantas kemudian memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Na’udzu billah.

Ijabah do’a akan terwujud bila do’a itu sudah murni tulus kepada Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa:

لا يكون الفضل إلا للقلوب المنكسرة للنفحات الإلهية مع التبري عن الحول والقوة

Artinya: Fadlal Allah tidak akan diberikan melainkan kepada hati yang menghadang sangat membutuhkan pertolongan Ilahiyyah disertai dengan membebaskan diri dari (perasaan) berdaya dan mempunyai kekuatan (billah).

Do’a akan diijabahi oleh Allah ketika kita sudah tidak lagi bersandar kepada do’a itu sendiri. Sandaran kita hanya kepada Allah. Ketika kita sudah bisa melepaskan diri dari ego yang menguasai diri, itu adalah tanda bahwa do’a itu akan ijabah. Semua terjadi semata karena fadlal Allah (Billah). 

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Komentar