Workshop Penelitian Perspektif
Gender Jilid II
(LP2M IAIN Tulungagung)
Bersama DR. K.H. Muntahibun Nafis, M.Pd.I
Hari kedua atau hari terakhir workshop penelitian perspektif gender
yang diadakan oleh Pusat Studi Gender, LP2M IAIN Tulungagung berlangsung dengan
lancar. Hadir sebagai narasumber dalam sesi kedua ini adalah Anis Masykur. Beliau
menyampaikan materinya dengan mantab dan luar biasa.
Di awal paparan materinya beliau menyampaikan keresahan tentang
berbagai penelitian yang selama ini ditemuinya saat menjadi seorang reviewer
maupun sebagai pembaca hasil penelitian. Menurutnya, banyak sekali penelitian
yang hanya berkutat pada penelitian itu sendiri. Artinya penelitian yang
dilakukan hanya sebatas untuk memuaskan dirinya sendiri. Mereka meneliti,
tetapi penelitian mereka hanya sebatas memaparkan data belaka sehingga efek
dari penelitian itu hanya kembali pada dirinya sendiri, bukan pada masyarakat
yang sedang ditelitinya. Penelitian cenderung berdampak pada kemasyhuran
seseorang sebagai seorang peneliti, tetapi nihil dari manfaat untuk masyarakat
yang menjadi objek penelitiannya. Secara kasar beliau menyebutnya dengan
istilah “Penelitian Masturbasi”.
Foto Bersama Narasumber I Prof. Iwan Abdullah, P.Hd.
Penelitian masturbasi beliau gunakan untuk menyebut penelitian yang
hanya dilihat, dinikmati dan dirasakan oleh peneliti sendiri tanpa melibatkan
objek yang ditelitinya sebagai penikmat hasil penelitiannya. Masuk dalam
kategori penelitian semacam ini –menurut Anis, adalah penelitian yang hanya
dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan serdos, kenaikan jabatan dan seterusnya. Penelitian
semisal yang manfaat dan dampaknya hanya bisa dirasakan oleh peneliti masuk
dalam kategori penelitian masturbasi.
Dalam perspektif gender isu utama yang diangkat adalah upaya
penyetaraan posisi dan peran perempuan dan laki – laki. Artinya perbedaan yang
disebabkan oleh kodrat ilahi dalam penciptaan, tidak seharusnya dijadikan
sebuah alasan untuk melakukan hal – hal yang dirasa tidak adil dan cenderung
menjadikan posisi perempuan menjadi kelompok subordinat yang termarginalkan. Tradisi
dan budaya yang selama ini telah mengakar kuat ditengah – tengah kehidupan
masyarakat kita, baik sebagai imbas dari budaya kolonial, etnisitas, paradigm agama
dan seterusnya tidak seharusnya menjadi alasan untuk memandang sebelah mata
kaum hawa ini. Sebaliknya semua itu harus didobrak dan dilakukan dekonstruksi
sehingga tercipta sebuah tatanan yang ideal dan sarat akan kesetaraan. Oleh karenya
–Anis Masykur berpendapat, penelitian gender harus memiliki makna pembelaan
terhadap perempuan dan menggunakan perspektif yang berbeda.
Jika penelitian gender tidak memiliki nilai pendobrakan terhadap system yang salah,
namun diyakini kebenarannya mengakar kuat dalam tradisi masyarakat, maka
sesungguhnya semua itu tidak ada artinya. Lebih baik peneliti diam dirumah,
duduk sambil menikmati seduhan kopi torabika saja. Hmm… rasanya dahsyat. Artinya,
penelitian gender mutlak harus mampu memberikan solusi atau setidaknya sebuah
tawaran riil yang berbeda dan mampu membawa perubahan yang mengarah pada kesadaran
akan adanya kesetaraan peran lelaki dan perempuan.
Foto Bersama Narasumber II Anis Masykur
Namun perlu diingat juga, melakukan hal ini bukanlah pekerjaan
mudah semudah kita membalikkan telapak tangan. Perlu adanya kebulatan tekad
dalam melakukan upaya ini. Saking beratnya, maka Anis Masykur, menyebutnya
sebagai jihad. Artinya, dalam melakukan sebuah penelitian apapun itu, termasuk
didalamnya gender, harus ada kesadaran bahwa peneliti tidak sekedar meneliti
dan mengamati, namun sesungguhnya ia sedang melakukan jihad. Jihad dalam arti
melakukan perlawanan pada kedzaliman dan ketidak adilan. Dengan kesadaran jihad
ini, maka peneliti tidak akan melakukan penelitian yang hanya bersifat
deskriptif, naratif dan argumentative, namun ia akan melakukan sebuah
penelitian yang destruktif, konstruktif dan progressif.
Untuk sampai pada penelitian yang berujung pada perubahan memang
bukan perkara mudah. Perlu upaya serius dan usaha yang berulang – ulang. Ketelatenan,
keuletan dan kesabaran adalah kuncinya. Tanpa semua itu mustahil penelitian
akan mampu memberikan dampak perubahan positif terhadap perilaku, sikap dan
karakter masyarakat yang diteliti. Ini lah sesungguhnya arti penting dari
sebuah pengembangan dan pembangunan riset yang bermutu dan berkualitas.
Dalam penelitian gender paradigma yang dipakai seharusnya adalah holistic
dan inter-disipliner, begitu kata Anis Masykur. Artinya, harus secara utuh dan
menyentuh berbagai tinjauan keilmuan. Bayangkan saja sejak dahulu perempuan
selalu dalam ketertindasan. Peran perempuan dianggap sebagai sampingan yang
hanya “melu – melu”. Pantas saja ada istilah Jawa yang bilang, “Suwargo nunut,
neroko katut”, satu ungkapan yang sesungguhnya memandang perempuan sebelah
mata, seolah hanya sebagai pelengkap belaka.
Banyak para peneliti yang menggunakan perspektif gender tidak
sampai pada apa yang diinginkan dari penelitian perspektif ini oleh karena
mereka hanya melihat dari satu disiplin keilmuan saja tanpa melibatkan keilmuan
yang lain. Taruhlah misalkan hanya menggunakan perspektif agama. Akibatnya,
karena penelitian tersebut diawali dengan ketertundukan pada hukum – hukum fiqih
yang cenderung condong pada lelaki akibatnya sakralitas dari hukum fiqih
tersebut membuat penelian perspektif gender itu menjadi konyol dan gagal
menemukan hasilnya. Ini lah yang harus di antisipasi.
Foto Bersama Ketua P2M dan Peserta Workshop
Beda halnya apabila kajian gender tersebut menggunakan berbagai
perspektif, maka semua itu bisa diminimalisir bahkan mungkin akan diperoleh
penelitian yang sesuai dengan apa yang sesungguhnya diinginkan. Taruhlah sebagai
misal, mengapa dalam hukum akikah itu, bila bayi yang lahir laki – laki, maka kambing
yang disembelih adalah dua, bila perempuan, maka satu. Tinjauan fiqih demikian,
teks al-Qur’an, dalam hukum waris, menyatakan bagian laki – laki sepadan dengan
bagian dua orang perempuan. Apakah hal ini bisa dibilang adil? Bolehkah kita
mencoba mendobrak dan memberikan tawaran lain yang lebih mewakili? Ataukah kita
hanya akan berhenti pada teks al-Qur’an tersebut? Atau yang sebenarnya
diinginkan oleh ayat tersebut, dan bukan sekedar arti tekstualnya saja?
Nah, contoh di atas bisa dilakukan sebagai sebuah upaya untuk
melakukan penalaran terhadap berbagai permasalahan yang selama ini muncul dalam
bias gender. Anis Masykur memberikan contoh, bahwa dalam kasus sebagaimana di
atas sesungguhnya kita juga bisa melibatkan perspektif sejarah, budaya maupun
antropologi.
Perlu dicatat, bahwa tradisi Arab ketika mereka menyambut kelahiran
seorang bayi, dahulu di masa jahiliyah, sangat berbeda dengan apa yang kita
temukan saat ini. Dulu masyarakat Arab akan merasa sangat malu bila mereka
memiliki bayi perempuan. Sebaliknya ketika mereka memiliki bayi laki – laki,
luapan kegembiraan itu sangat luar biasa, bahkan untuk menyambut kelahirannya,
mereka tidak segan – segan membuat pesta besar – besaran sebagai ungkapan
kebahagiannya. Lain halnya bila bayi yang lahir perempuan. Jangankan mengadakan
pesta, diketahui orang lain saja malu, bahkan tidak jarang mereka membunuh bayi
perempuannya dengan menguburnya hidup – hidup. Setelah Rasul di utus maka semua
itu dirubah oleh Nabi sehingga keberadaan perempuan semakin dihargai dan
diangkat posisinya oleh Nabi beberapa tingkat bila dibandingkan masa jahiliyah.
Mereka juga mendapatkan warisan setelah sebelumnya tidak mereka dapatkan di era
jahiliyah. Nah, di sinilah nampak peran Nabi dalam membela kaum hawa ini.
Lantas bagaimana kemudian kita sebagai kalangan akademisi menyikapi
akan hal ini. Apakah kita akan berhenti pada satu titik, bahwa penelitian itu
yang penting bermanfaat bagi saya. Serdos saya dapatkan, urusan mereka berubah
atau tidak tergantung hidayah Allah. Kiranya hal ini perlu untuk semakin
diperhatikan sehingga diperoleh apa yang semestinya ada.
Isu gender tidak hanya berkutat pada persoalan peran perempuan pada
ranah publik, ranah politik, keluarga, materi, kekerasan tetapi juga pada ranah
keilmuan. Semua itu sesungguhnya perlu untuk digarap dan diperhatikan. Tidak hanya
berhenti pada urusan kuantitatif tetapi juga kualitatif.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar