Minggu, 21 Mei 2017

Menempatkan Cinta Rasul di Atas yang Lain



Mencintai Rasul di Atas yang Lain

Indahnya Kebersamaan

Rasulullah Muhammad SAW adalah panutan bagi semua umat Islam. Beliau lah suri tauladan yang tiada duanya di dunia ini. Sungguh siapapun akan terkesima melihat dan mengetahui akhlak dan perangainya yang tiada duanya. 

Suatu saat sayyidina Umar ibnu Khaththab, khalifah Islam yang kedua pernah menyampaikan hal ihwal cintanya pada Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab Tafsir Imam Ibnu Katsir yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Bukhari. Hadits itu berbunyi sebagai berikut:

والله يارسول الله أنت لأحب إلي من كل شيئ إلا من نفسي، فقال رسول الله صلى الله غليه وسلم: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه، فقال عمر: فأنت الأن والله أحب إلي من نفسي. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الأن يا عمر  (رواه أحمد والبخا ري)

Artinya: “Demi Allah, wahai Rasulullah, Engkau niscaya lebih aku cintai daripada segala sesuatu selain dari diriku”. Rasulullah SAW menjawab: “Tidak sempurna iman seorang di antara kalian sehingga akuu lebih dicintainya daripada dirinya”. Umar berkata: “Engkau sekarang (wahai Rasulullah), demi Allah, lebih aku cintai daripada diriku sendiri”. Rasulullah SAW bersabda: “Sekarang wahai Umar (telah sempurna imanmu)”. (H.R. Imam Ahmad dan Imam Bukhari)

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Bukhari di atas menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah SAW pada diri seorang mukmin harus melebihi cintanya kepada yang lain, bahkan dirinya sendiri. Seorang yang mengaku beriman kepada Allah akan tetapi kecintaannya pada Rasulullah belum melebihi kecintaannya pada diri sendiri, imannya belum dianggap sempurna.

Umar ibnu Khaththab adalah satu di antara sahabat dekat Rasulullah SAW. yang memiliki rasa cinta kepada Rasul melebihi cintanya kepada yang lain termasuk dirinya sendiri. Tentu hal ini bukan hanya sekedar pengakuan lisan saja, lebih dari itu harus dibuktikan dengan perbuatan yang nyata.

Demikian halnya dengan Umar, kecintaannya kepada Rasulullah melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri telah menjadikannya sosok yang siap berkorban demi keselamatan Rasulullah. Berulangkali ia turut serta terlibat dalam berbagai peperangan pada barisan depan untuk membela Allah dan Rasul-Nya. Ia telah menyiapkan seluruh jiwa raga dan hartanya untuk tegaknya kalimah Allah di dunia ini. Kiranya dia patut untuk dijadikan sebagai panutan bagi seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW.

Di akhir zaman seperti saat sekarang ini, di mana peradaban telah maju dengan pesatnya, teknologi informasi berkembang cepat tanpa bisa dibendung oleh siapapun, kiranya menanyakan pada diri sendiri perlu untuk dilakukan. Berapa sering manusia yang hidup di zaman sekarang menyatakan kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah SAW akan tetapi perilaku dan tabiatnya jauh dari perilaku yang menunjukkan cinta Allah dan Rasul-Nya.

Sebagai akibat dari berbagai perilaku tersebut adalah merebaknya benih – benih perpecahan di antara umat. Perpecahan yang mulai melanda umat Islam di akhir zaman ini. Saling menyalahkan, membid’ahkan bahkan mengkafirkan satu sama lainnya. Sungguh sebuah perilaku yang tidak selayaknya ditunjukkan oleh mereka yang mengaku beriman dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bukankah seorang mukmin itu bersaudara? Bahkan Rasulullah SAW mensabdakan dengan indahnya persaudaraan di antara mereka dengan hadits beliau:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا " *

Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin bagi mukmin lainnya itu bagaikan satu bangunan, sebagian menguatkan sebagian lainnya.”

Hadits di atas kiranya cukup dijadikan sebagai dasar pijakan seorang mukmin dalam berperilaku. Hendaknya seorang mukmin senantiasa menebarkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi ini. Oleh karena itu sungguh bukanlah hal yang dibenarkan bila dalam melakukan dakwah, mengajak umat ke jalan yang diridlai Allah, ditempuh sebuah metode yang justru bisa merusakkan kedamaian.

Seorang muda hebat dan berbakat, Aya Nawafi’ Maksum, asli kelahiran Tulungagung pernah update status yang menukik dalam hal ini. Status itu berbunyi, “…Silahkan kamu memburu surga, tapi jangan ciptakan neraka di bumi ini…”. Status singkat namun sarat akan makna. Selayaknyalah sebagai seorang mukmin yang mengaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi segala yang ada di dunia dan bahkan dirinya untuk senantiasa menebarkan keselamatan, kedamaian dan kasih sayang di dunia ini.

Toleransi adalah kata kunci untuk terciptanya keselarasan dan kedamaian di bumi. Semakin dalam rasa cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, semakin kuat pula rasa toleransi yang disuarakannya. Bukan berarti mendiamkan kesalahan dan kemaksiatan, namun tetap berdakwah, mengajak kepada kebaikan, tetapi tetap dengan cara santun, dan cinta akan kedamaian. Itulah sesungguhnya teladan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat beliau berdakwah mengajak umat untuk kembali mengabdikan diri kepada Allah SWT, Sang Pemilik kehidupan fana ini.

Semakin sempurna cinta seseorang kepada Rasulullah semakin ia akan menebarkan kebaikan di bumi-Nya Allah. Ia sadar betul bahwa semua ini adalah bagian dari takdir Allah yang mesti dijalani dengan ikhlas dan ridla. Bukan tempat untuk menebar kebencian, kedengkian apalagi permusuhan.

Apa yang menimpa bangsa ini kiranya cukup menjadi bahan renungan dan introspeksi diri bagi semua pihak yang terlibat dalam arus perpolitikan dan elemen bangsa. Cinta kepada Rasul akan menumbuhkan rasa cinta kepada bangsa dan tanah air.

Sejarah bangsa ini telah cukup menjadi bukti akan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh mereka yang cinta Allah dan Rasul-Nya. Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Hos Cokroaminoto, Syaikh Hasyim Asy’ari, K.H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan dan sederetan nama yang tidak bisa disebutkan satu persatu adalah sosok – sosok yang memiliki rasa cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Kecintaan itu berbuah pada nasinalisme dan semangat kebangsaan. Lantas sejarah mana lagi yang hendak di dustakan?

Semoga kita mampu menjadi orang yang menjadikan cinta Rasul di atas segalanya, melebihi cinta kita pada diri kita sendiri. Semoga bangsa Indonesia, tempat di mana kita tumbuh besar,  yang saat ini diuji dengan isu – isu sektarian segera bisa keluar dari kericuhan dan perpecahan sehingga segera terwujud negara yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Negara yang  "Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo".

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar