Mencintai
Rasul di Atas yang Lain
Indahnya Kebersamaan
Rasulullah
Muhammad SAW adalah panutan bagi semua umat Islam. Beliau lah suri tauladan
yang tiada duanya di dunia ini. Sungguh siapapun akan terkesima melihat dan
mengetahui akhlak dan perangainya yang tiada duanya.
Suatu saat
sayyidina Umar ibnu Khaththab, khalifah Islam yang kedua pernah menyampaikan
hal ihwal cintanya pada Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana termaktub dalam
kitab Tafsir Imam Ibnu Katsir yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam
Bukhari. Hadits itu berbunyi sebagai berikut:
والله
يارسول الله أنت لأحب إلي من كل شيئ إلا من نفسي، فقال رسول الله صلى الله غليه
وسلم: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه، فقال عمر: فأنت الأن والله أحب
إلي من نفسي. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الأن يا عمر (رواه أحمد والبخا ري)
Artinya: “Demi Allah, wahai Rasulullah, Engkau niscaya lebih aku
cintai daripada segala sesuatu selain dari diriku”. Rasulullah SAW menjawab: “Tidak
sempurna iman seorang di antara kalian sehingga akuu lebih dicintainya daripada
dirinya”. Umar berkata: “Engkau sekarang (wahai Rasulullah), demi Allah, lebih
aku cintai daripada diriku sendiri”. Rasulullah SAW bersabda: “Sekarang wahai
Umar (telah sempurna imanmu)”. (H.R. Imam Ahmad dan Imam Bukhari)
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Bukhari di atas
menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah SAW pada diri seorang mukmin harus
melebihi cintanya kepada yang lain, bahkan dirinya sendiri. Seorang yang
mengaku beriman kepada Allah akan tetapi kecintaannya pada Rasulullah belum melebihi
kecintaannya pada diri sendiri, imannya belum dianggap sempurna.
Umar ibnu Khaththab adalah satu di antara sahabat dekat Rasulullah
SAW. yang memiliki rasa cinta kepada Rasul melebihi cintanya kepada yang lain
termasuk dirinya sendiri. Tentu hal ini bukan hanya sekedar pengakuan lisan
saja, lebih dari itu harus dibuktikan dengan perbuatan yang nyata.
Demikian halnya dengan Umar, kecintaannya kepada Rasulullah
melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri telah menjadikannya sosok yang siap
berkorban demi keselamatan Rasulullah. Berulangkali ia turut serta terlibat
dalam berbagai peperangan pada barisan depan untuk membela Allah dan Rasul-Nya.
Ia telah menyiapkan seluruh jiwa raga dan hartanya untuk tegaknya kalimah Allah
di dunia ini. Kiranya dia patut untuk dijadikan sebagai panutan bagi seorang
yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasulullah SAW.
Di akhir zaman seperti saat sekarang ini, di mana peradaban telah
maju dengan pesatnya, teknologi informasi berkembang cepat tanpa bisa dibendung
oleh siapapun, kiranya menanyakan pada diri sendiri perlu untuk dilakukan. Berapa
sering manusia yang hidup di zaman sekarang menyatakan kecintaannya kepada
Allah dan Rasulullah SAW akan tetapi perilaku dan tabiatnya jauh dari perilaku
yang menunjukkan cinta Allah dan Rasul-Nya.
Sebagai akibat dari berbagai perilaku tersebut adalah merebaknya
benih – benih perpecahan di antara umat. Perpecahan yang mulai melanda umat
Islam di akhir zaman ini. Saling menyalahkan, membid’ahkan bahkan mengkafirkan
satu sama lainnya. Sungguh sebuah perilaku yang tidak selayaknya ditunjukkan
oleh mereka yang mengaku beriman dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bukankah seorang mukmin itu bersaudara? Bahkan Rasulullah SAW
mensabdakan dengan indahnya persaudaraan di antara mereka dengan hadits beliau:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " الْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا " *
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin
bagi mukmin lainnya itu bagaikan satu bangunan, sebagian menguatkan sebagian
lainnya.”
Hadits di atas kiranya cukup dijadikan sebagai dasar pijakan
seorang mukmin dalam berperilaku. Hendaknya seorang mukmin senantiasa
menebarkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi ini. Oleh karena itu sungguh
bukanlah hal yang dibenarkan bila dalam melakukan dakwah, mengajak umat ke
jalan yang diridlai Allah, ditempuh sebuah metode yang justru bisa merusakkan
kedamaian.
Seorang muda hebat dan berbakat, Aya Nawafi’ Maksum, asli kelahiran
Tulungagung pernah update status yang menukik dalam hal ini. Status itu berbunyi,
“…Silahkan kamu memburu surga, tapi jangan ciptakan neraka di bumi ini…”.
Status singkat namun sarat akan makna. Selayaknyalah sebagai seorang mukmin
yang mengaku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi segala yang ada di dunia
dan bahkan dirinya untuk senantiasa menebarkan keselamatan, kedamaian dan kasih
sayang di dunia ini.
Toleransi adalah kata kunci untuk terciptanya keselarasan dan
kedamaian di bumi. Semakin dalam rasa cinta seseorang kepada Allah dan
Rasul-Nya, semakin kuat pula rasa toleransi yang disuarakannya. Bukan berarti
mendiamkan kesalahan dan kemaksiatan, namun tetap berdakwah, mengajak kepada
kebaikan, tetapi tetap dengan cara santun, dan cinta akan kedamaian. Itulah sesungguhnya
teladan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW saat beliau berdakwah mengajak
umat untuk kembali mengabdikan diri kepada Allah SWT, Sang Pemilik kehidupan
fana ini.
Semakin sempurna cinta seseorang kepada Rasulullah semakin ia akan
menebarkan kebaikan di bumi-Nya Allah. Ia sadar betul bahwa semua ini adalah
bagian dari takdir Allah yang mesti dijalani dengan ikhlas dan ridla. Bukan tempat
untuk menebar kebencian, kedengkian apalagi permusuhan.
Apa yang menimpa bangsa ini kiranya cukup menjadi bahan renungan
dan introspeksi diri bagi semua pihak yang terlibat dalam arus perpolitikan dan
elemen bangsa. Cinta kepada Rasul akan menumbuhkan rasa cinta kepada bangsa dan
tanah air.
Sejarah bangsa ini telah cukup menjadi bukti akan rasa nasionalisme
yang dimiliki oleh mereka yang cinta Allah dan Rasul-Nya. Pangeran Diponegoro,
Kyai Mojo, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Hos Cokroaminoto, Syaikh Hasyim Asy’ari, K.H.
Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan dan sederetan nama yang tidak bisa disebutkan
satu persatu adalah sosok – sosok yang memiliki rasa cinta terhadap Allah dan
Rasul-Nya. Kecintaan itu berbuah pada nasinalisme dan semangat kebangsaan. Lantas
sejarah mana lagi yang hendak di dustakan?
Semoga kita mampu menjadi orang yang menjadikan cinta Rasul di atas
segalanya, melebihi cinta kita pada diri kita sendiri. Semoga bangsa Indonesia,
tempat di mana kita tumbuh besar, yang
saat ini diuji dengan isu – isu sektarian segera bisa keluar dari kericuhan dan
perpecahan sehingga segera terwujud negara yang “baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafur”. Negara yang "Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto
Raharjo".
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar