Bahaya yang Menimpa Agama
Pada dasarnya agama diturunkan di mukabumi adalah untuk menciptakan
kehidupan yang tentram, damai dan penuh dengan keserasian. Akan tetapi nyatanya
banyak terjadi penyimpangan – penyimpangan yang terjadi dalam tubuh bangunan
yang bernama agama. Bukan salah agama tentunya, melainkan kesalahan oknum
pemeluk agama yang lantas kemudian dinisbatkan kepada agama. Hal ini
menyebabkan agama terkadang dikambing hitamkan oleh sekelompok umat agama lain
yang berseberangan dengan agama tersebut.
Islam sebagai salah satu agama tentunya juga menginginkan
kedamaian, ketentraman dan keserasian dalam kehidupan ini. Namun tidak sedikit
di antara pemeluk Islam yang nyatanya telah menodai Islam itu sendiri sehingga menjadikan
orang diluar Islam menjatuhkan klaim bahwa Islam adalah agama yang anti
terhadap perdamaian, radikal bahkan teroris. Ini –menurut saya, tidak serta kesalahan
dari mereka yang menvonis Islam dengan kata tersebut. Boleh jadi dan sangat
mungkin hal ini terjadi karena kesalahan oknum umat Islam yang kemudian
menjadikan citra Islam tercoreng dan bahkan dianggap sebagai agama teroris. Tentu
klaim itu juga tidak bisa dibenarkan, tetapi kita tidak sepenuhnya bisa
menyalahkan.
Peribahasa Indonesia mengatakan, “Karena nila setitik rusak susu
sebelanga”. Ada baiknya umat Islam mencermati peribahasa ini. Artinya, hanya
gara – gara kesalahan kecil sesuatu yang baik akhirnya menjadi rusak. Islam jelas
kita yakini sebagai agama terbaik di antara yang lain. Tidak ada ajaran Islam
yang membenarkan seseorang untuk melakukan sebuah tindakan anarkis, merusak,
bahkan menyakiti saja tidak boleh meski hanya dengan kata. Ini harus dicermati
secara benar dan dipahami secara baik agar tidak ada kesalahan dalam
mempraktikkan ajaran agama yang sesungguhnya.
Sangat ironis bila ada sekelompok umat Islam yang lantas
meneriakkan kata – kata kasar kepada orang lain yang tidak menyerang mereka,
atau mengusir mereka dari negara yang mereka diami. Boleh jadi mereka menghina
umat Islam, tetapi Islam justru mengajarkan agar umatnya justru mengajak mereka
ke jalan yang baik, menyadarkan mereka dengan cara yang baik, bukan dengan cara
yang salah. Bila karena sebuah kesalahan yang dilakukan seseorang yang menyalahi
lantas kemudian umat Islam meneriaki mereka dengan bahasa yang kasar, penuh
cacian dan semisalnya, boleh jadi mereka bukannya sadar kepada Allah, tetapi
justru lari karena menganggap Islam sebagai agama yang menyeramkan. Jangan salahkan
mereka, salah oknum umat Islam.
Mungkin anda tidak sepakat dengan apa yang saya sampaikan, itu
tidak mengapa. Cukuplah –bagi saya, sebagai bukti adalah apa yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW saat beliau menyampaikan dakwahnya. Saat Rasul
berangkat ke masjid seseorang selalu meludahi Rasul, beliau tidak marah, bahkan
ketika orang tersebut sakit, Rasul adalah orang pertama yang menjenguknya. Akhirnya
orang tersebut masuk Islam. Suraqah bin Malik mengejar Rasul saat perjalanan
hijrah ke Madinah, untuk mendapatkan hadiah besar sebagai balasan membawa
kepala Rasul. Hampir mendekati Rasul, ia terperosok. Apakah Rasul marah? Beliau
datangi dia dan tmenolong Suraqah, hingga tiga kali, akhirnya ia masuk Islam.
Tetapi mereka menistakan agama Islam? Ya, tetapi lebih baik umat
Islam tidak membesar – besarkan hal itu, namun besarkanlah sifat santun dan
memaafkan, bukankah mereka non muslim? Wajar saja bila mereka melakukan hal itu.
Artinya dakwah berhenti? Tidak, banyak cara untuk melakukan dakwah. Dakwah bisa
dilakukan dengan banyak cara, melalui banyak media dan seterusnya yang semua
itu bisa saja menjadikan orang lebih tertarik dengan Islam.
Kehidupan di zaman akhir ini, memang ditandai dengan banyak hal
yang seolah tidak bisa dicerna dengan kekuatan akan semata. Perlu kearifan yang
lebih berbicara. Tidak selamanya manusia yang baik selalu baik, pun pula tidak
selamanya mereka yang buruk, kafir dan seterusnya akan tetap pada keburukan dan
kekafirannya. Sebagai manusia tugas kita tidak lain hanyalah menyampaikan. Urusan
mereka iman dan mendapatkan hidayah itu bukan menjadi wilayah kita. Semua itu
hanyalah hak prerogatif Allah yang menciptakan segala yang ada ini.
Oleh karenanya seyogyanya kita selalu husnudzan kepada Allah dan
kepada siapa saja. Jangan salah kekuatan terbesar yang dimiliki manusia yang mengaku
beriman kepada Allah adalah do’a. Do’a disebut sebagai otaknya ibadah. Ibadah tanpa
do’a artinya adalah kekonyolan belaka.
Kata do’a seringkali kita dengar, tetapi saya tidak yakin semua
paham apa sesungguhnya do’a itu. Do’a mengandung pengertian permohonan dari
seseorang yang berkedudukan rendah kepada Dzat yang memiliki kedudukan tinggi. Seorang
yang berdo’a sesungguhnya ia harus menempatkan dirinya diposisi yang rendah,
hina dan sangat membutuhkan pertolongan dari Dzat yang dimintainya, bukan
memaksakan dan memohon dengan kesombongan.
Ini penting untuk diketahui umat Islam. Ketidak mengertian mereka
terhadap hakikat do’a seringkali berujung pada situasi yang tidak diharapkan
yakni keputus asaan. Putus asa kepada Allah sehingga mereka nekat melakukan
sesuatu yang tidak diridlai Allah SWT.
Nah, dalam berdakwah seringkali pula seseorang melupakan aspek ini.
Seharusnya sebelum mereka melaksanakan dakwah, terlebih dahulu munajat kepada
Allah, istighatsah, memohon petunjuk dan pertolongan-Nya harus di dahulukan. Tidak
hanya sebatas persiapan fisik. Persiapan fisik penting, tetapi persiapan ruhani
dengan do’a, mujahadah penyongsongan, istighatsah jauh lebih penting. Bagaimana
tidak, itulah yang menjadi otak dari dakwah yang dijalankan. Jika tidak dilakukan,
ibarat orang buta yang menuntun orang buta, ya kesasar semuanya.
Kesalahan dalam menerapkan dakwah seringkali menimbulkan
ketimpangan – ketimpangan yang terjadi di tengah – tengah masyarakat. Hal inilah
yang sesungguhnya harus dihindari agar tidak terjadi hal – hal yang tidak
diinginkan.
Mengenai bahaya dalam agama sesungguhnya jauh – jauh hari
Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
al-Dailami dari Ibnu Abbas:
أفة الدين ثلاثة فقيه فاجر وإمام جائر
ومجتهد جاهل (رواه الديلمي)
Artinya: Bahaya Agama itu ada tiga, ahli fiqih yang durhaka,
imam yang tidak adil, dan mujtahid (penafsir al-Qur’an dan hadits) yang bodoh. (H.R.
al-Dailami)
Menurut keterangan hadits di atas bahaya besar yang mengancam agama
itu bisa jadi berasal dari tiga orang, ahli fiqih yang durhaka, imam yang tidak
adil dan mujtahid. Ahli fiqih yang durhaka sangat berbahaya. Mereka adalah
orang yang banyak dijadikan panutan oleh umat Islam. Bila mereka adalah orang
yag durhaka sudah bisa dibayangkan umat yang mengikutinya juga akan menjadi
umat yang tersesat.
Imam atau pemimpin yang tidak adil. Adil artinya menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Maka imam yang tidak adil sama artinya dengan iman yang
tidak mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Imam tempatnya di depan. Boleh jadi
imam itu adalah para pemimpin negara yang membawahi warganya. Mereka ini bila
tidak terdiri dari orang – orang yang adil, maka mereka akan menjadi penyebab
hancurnya tatanan agama. Oleh karenanya penting untuk memilih seorang pemimpin
yang adil.
Mujtahid yang bodoh. Al-Qur’an dan hadits keduanya menggunakan
bahasa Arab. Oleh karenya tidak semua orang boleh memaknai dan menafsirkan
al-Qur’an dan hadits seenak perutnya. Akan tetapi ada berbagai kerangka ilmu
pengetahuan yang menjadi syarat bagi bolehnya seseorang untuk menafsirkan
al-Qur’an. Tidak benar hanya memahami
al-Qur’an dengan membaca terjemahnya saja. Hal ini sangat jauh dari kebenaran
dan justru sangat berbahaya.
Mereka yang rendah kemauannya untuk belajar dan mengkaji al-Qur’an
dan al-Hadits secara mendalam sesuai dengan keilmuan yang semestinya, seringkali
terjebak dalam kesalahan saat berusaha memahami al-Qur’an dengan bermodak
terjemah. Hal ini juga yang seringkali membuat dangkal pengetahuan yang mereka
miliki, sehingga sempitlah pandangan mereka terhadap satu masalah yang muncul
di tengah – tengah kehidupan masyarakat. Tidak jarang pada akhirnya mereka
bergabung dengan kelompok – kelompok radikal yang justru mengarah pada perilaku
yang sesungguhnya tidak dibenarkan oleh Islam. Inilah pentingnya belajar dan
mengaji secara sungguh – sungguh di pesantren.
Mujtahid yang bodoh sangat berbahaya bagi agama. Boleh jadi mereka
akan mengekuarkan fatwa dan omongan yang dianggap oleh banyak orang, tetapi
sesungguhnya apa yang dia fatwakan adalah salah dan bahkan menyesatkan. Oleh karena
itu di akhir zaman ini kita harus lebih selektif lagi dalam menelaah dan
memahami hal – hal yang berkaitan dengan agama. Jangan mudah percaya pada
omongan seseorang. Dengarkan, pikirkan, telaah, bila tidak paham tanyakan kepada
ahlinya. Dengan demikian selamatlah agama kita.
Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…
Komentar
Posting Komentar