Rabu, 24 Mei 2017

Bahaya yang Menimpa Agama



Bahaya yang Menimpa Agama

Pada dasarnya agama diturunkan di mukabumi adalah untuk menciptakan kehidupan yang tentram, damai dan penuh dengan keserasian. Akan tetapi nyatanya banyak terjadi penyimpangan – penyimpangan yang terjadi dalam tubuh bangunan yang bernama agama. Bukan salah agama tentunya, melainkan kesalahan oknum pemeluk agama yang lantas kemudian dinisbatkan kepada agama. Hal ini menyebabkan agama terkadang dikambing hitamkan oleh sekelompok umat agama lain yang berseberangan dengan agama tersebut. 

Islam sebagai salah satu agama tentunya juga menginginkan kedamaian, ketentraman dan keserasian dalam kehidupan ini. Namun tidak sedikit di antara pemeluk Islam yang nyatanya telah menodai Islam itu sendiri sehingga menjadikan orang diluar Islam menjatuhkan klaim bahwa Islam adalah agama yang anti terhadap perdamaian, radikal bahkan teroris. Ini –menurut saya, tidak serta kesalahan dari mereka yang menvonis Islam dengan kata tersebut. Boleh jadi dan sangat mungkin hal ini terjadi karena kesalahan oknum umat Islam yang kemudian menjadikan citra Islam tercoreng dan bahkan dianggap sebagai agama teroris. Tentu klaim itu juga tidak bisa dibenarkan, tetapi kita tidak sepenuhnya bisa menyalahkan.

Peribahasa Indonesia mengatakan, “Karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Ada baiknya umat Islam mencermati peribahasa ini. Artinya, hanya gara – gara kesalahan kecil sesuatu yang baik akhirnya menjadi rusak. Islam jelas kita yakini sebagai agama terbaik di antara yang lain. Tidak ada ajaran Islam yang membenarkan seseorang untuk melakukan sebuah tindakan anarkis, merusak, bahkan menyakiti saja tidak boleh meski hanya dengan kata. Ini harus dicermati secara benar dan dipahami secara baik agar tidak ada kesalahan dalam mempraktikkan ajaran agama yang sesungguhnya.

Sangat ironis bila ada sekelompok umat Islam yang lantas meneriakkan kata – kata kasar kepada orang lain yang tidak menyerang mereka, atau mengusir mereka dari negara yang mereka diami. Boleh jadi mereka menghina umat Islam, tetapi Islam justru mengajarkan agar umatnya justru mengajak mereka ke jalan yang baik, menyadarkan mereka dengan cara yang baik, bukan dengan cara yang salah. Bila karena sebuah kesalahan yang dilakukan seseorang yang menyalahi lantas kemudian umat Islam meneriaki mereka dengan bahasa yang kasar, penuh cacian dan semisalnya, boleh jadi mereka bukannya sadar kepada Allah, tetapi justru lari karena menganggap Islam sebagai agama yang menyeramkan. Jangan salahkan mereka, salah oknum umat Islam.

Mungkin anda tidak sepakat dengan apa yang saya sampaikan, itu tidak mengapa. Cukuplah –bagi saya, sebagai bukti adalah apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW saat beliau menyampaikan dakwahnya. Saat Rasul berangkat ke masjid seseorang selalu meludahi Rasul, beliau tidak marah, bahkan ketika orang tersebut sakit, Rasul adalah orang pertama yang menjenguknya. Akhirnya orang tersebut masuk Islam. Suraqah bin Malik mengejar Rasul saat perjalanan hijrah ke Madinah, untuk mendapatkan hadiah besar sebagai balasan membawa kepala Rasul. Hampir mendekati Rasul, ia terperosok. Apakah Rasul marah? Beliau datangi dia dan tmenolong Suraqah, hingga tiga kali, akhirnya ia masuk Islam.

Tetapi mereka menistakan agama Islam? Ya, tetapi lebih baik umat Islam tidak membesar – besarkan hal itu, namun besarkanlah sifat santun dan memaafkan, bukankah mereka non muslim? Wajar saja bila mereka melakukan hal itu. Artinya dakwah berhenti? Tidak, banyak cara untuk melakukan dakwah. Dakwah bisa dilakukan dengan banyak cara, melalui banyak media dan seterusnya yang semua itu bisa saja menjadikan orang lebih tertarik dengan Islam.

Kehidupan di zaman akhir ini, memang ditandai dengan banyak hal yang seolah tidak bisa dicerna dengan kekuatan akan semata. Perlu kearifan yang lebih berbicara. Tidak selamanya manusia yang baik selalu baik, pun pula tidak selamanya mereka yang buruk, kafir dan seterusnya akan tetap pada keburukan dan kekafirannya. Sebagai manusia tugas kita tidak lain hanyalah menyampaikan. Urusan mereka iman dan mendapatkan hidayah itu bukan menjadi wilayah kita. Semua itu hanyalah hak prerogatif Allah yang menciptakan segala yang ada ini.

Oleh karenanya seyogyanya kita selalu husnudzan kepada Allah dan kepada siapa saja. Jangan salah kekuatan terbesar yang dimiliki manusia yang mengaku beriman kepada Allah adalah do’a. Do’a disebut sebagai otaknya ibadah. Ibadah tanpa do’a artinya adalah kekonyolan belaka.

Kata do’a seringkali kita dengar, tetapi saya tidak yakin semua paham apa sesungguhnya do’a itu. Do’a mengandung pengertian permohonan dari seseorang yang berkedudukan rendah kepada Dzat yang memiliki kedudukan tinggi. Seorang yang berdo’a sesungguhnya ia harus menempatkan dirinya diposisi yang rendah, hina dan sangat membutuhkan pertolongan dari Dzat yang dimintainya, bukan memaksakan dan memohon dengan kesombongan.

Ini penting untuk diketahui umat Islam. Ketidak mengertian mereka terhadap hakikat do’a seringkali berujung pada situasi yang tidak diharapkan yakni keputus asaan. Putus asa kepada Allah sehingga mereka nekat melakukan sesuatu yang tidak diridlai Allah SWT.

Nah, dalam berdakwah seringkali pula seseorang melupakan aspek ini. Seharusnya sebelum mereka melaksanakan dakwah, terlebih dahulu munajat kepada Allah, istighatsah, memohon petunjuk dan pertolongan-Nya harus di dahulukan. Tidak hanya sebatas persiapan fisik. Persiapan fisik penting, tetapi persiapan ruhani dengan do’a, mujahadah penyongsongan, istighatsah jauh lebih penting. Bagaimana tidak, itulah yang menjadi otak dari dakwah yang dijalankan. Jika tidak dilakukan, ibarat orang buta yang menuntun orang buta, ya kesasar semuanya.

Kesalahan dalam menerapkan dakwah seringkali menimbulkan ketimpangan – ketimpangan yang terjadi di tengah – tengah masyarakat. Hal inilah yang sesungguhnya harus dihindari agar tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.

Mengenai bahaya dalam agama sesungguhnya jauh – jauh hari Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Dailami dari Ibnu Abbas:

أفة  الدين ثلاثة فقيه فاجر وإمام جائر ومجتهد جاهل (رواه الديلمي)

Artinya: Bahaya Agama itu ada tiga, ahli fiqih yang durhaka, imam yang tidak adil, dan mujtahid (penafsir al-Qur’an dan hadits) yang bodoh. (H.R. al-Dailami)

Menurut keterangan hadits di atas bahaya besar yang mengancam agama itu bisa jadi berasal dari tiga orang, ahli fiqih yang durhaka, imam yang tidak adil dan mujtahid. Ahli fiqih yang durhaka sangat berbahaya. Mereka adalah orang yang banyak dijadikan panutan oleh umat Islam. Bila mereka adalah orang yag durhaka sudah bisa dibayangkan umat yang mengikutinya juga akan menjadi umat yang tersesat.

Imam atau pemimpin yang tidak adil. Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka imam yang tidak adil sama artinya dengan iman yang tidak mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Imam tempatnya di depan. Boleh jadi imam itu adalah para pemimpin negara yang membawahi warganya. Mereka ini bila tidak terdiri dari orang – orang yang adil, maka mereka akan menjadi penyebab hancurnya tatanan agama. Oleh karenanya penting untuk memilih seorang pemimpin yang adil.

Mujtahid yang bodoh. Al-Qur’an dan hadits keduanya menggunakan bahasa Arab. Oleh karenya tidak semua orang boleh memaknai dan menafsirkan al-Qur’an dan hadits seenak perutnya. Akan tetapi ada berbagai kerangka ilmu pengetahuan yang menjadi syarat bagi bolehnya seseorang untuk menafsirkan al-Qur’an.  Tidak benar hanya memahami al-Qur’an dengan membaca terjemahnya saja. Hal ini sangat jauh dari kebenaran dan justru sangat berbahaya.

Mereka yang rendah kemauannya untuk belajar dan mengkaji al-Qur’an dan al-Hadits secara mendalam sesuai dengan keilmuan yang semestinya, seringkali terjebak dalam kesalahan saat berusaha memahami al-Qur’an dengan bermodak terjemah. Hal ini juga yang seringkali membuat dangkal pengetahuan yang mereka miliki, sehingga sempitlah pandangan mereka terhadap satu masalah yang muncul di tengah – tengah kehidupan masyarakat. Tidak jarang pada akhirnya mereka bergabung dengan kelompok – kelompok radikal yang justru mengarah pada perilaku yang sesungguhnya tidak dibenarkan oleh Islam. Inilah pentingnya belajar dan mengaji secara sungguh – sungguh di pesantren.

Mujtahid yang bodoh sangat berbahaya bagi agama. Boleh jadi mereka akan mengekuarkan fatwa dan omongan yang dianggap oleh banyak orang, tetapi sesungguhnya apa yang dia fatwakan adalah salah dan bahkan menyesatkan. Oleh karena itu di akhir zaman ini kita harus lebih selektif lagi dalam menelaah dan memahami hal – hal yang berkaitan dengan agama. Jangan mudah percaya pada omongan seseorang. Dengarkan, pikirkan, telaah, bila tidak paham tanyakan kepada ahlinya. Dengan demikian selamatlah agama kita.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar