Pilih di Racun atau...???



Pilih di Racun atau…???

 Foto Penutupan Dirasah Qur'aniyyah

Salah satu media yang darinya dapat diperoleh informasi dan pengetahuan adalah media elektronik. Media elektronik menjadi salah satu media yang menarik tentunya untuk digunakan sebagai media penyebaran informasi dan pengetahuan.

Memang di era digital yang serba canggih seperti saat ini, memisahkan diri atau -kalau boleh saya katakan, anti terhadap perkembangan iptek adalah satu pilihan yang kurang atau bahkan tidak bijak sama sekali. Memang diakui maupun tidak, sisi negatif dari iptek itu ada, namun sisi positifnya tidak lantas kemudian dinafikan begitu saja.

Banyak kasus menunjukkan tentang bahaya penyalahan penggunaan iptek. Kalangan pelajar terjerums pada pergaulan bebas yang sarat dengan berbagai tindak penyimpangan. Minuman keras, konsumsi obat – obatan terlarang, tawuran antar pelajar dan seabrek bentuk penyimpangan lainnya adalah sederetan contoh yang ikut serta mewarnai dibalik penyalahgunaan iptek.

Namun, tidak boleh dinafikan adanya berbagai capain yang mencengangkan pula dari dampak penggunaan iptek. Dalam waktu yang relative singkat, bukan jam – jaman, melainkan menit atau bahkan detikan, berbagai informasi yang ada dibelahan bumi lain bisa diperoleh dan diakses dengan kian cepatnya. Para remaja mampu menciptakan inovasi yang menakjubkan melalui informasi yang mereka terima dari berbagai media yang merupakan dampak dari kemajuan iptek.

Seorang ilmuan mengatakan sesuatu yang sangat menarik. Saya lupa namanya. Saya belum pernah mendapatkan informasi ini sebelumnya melalui literatur buku, tetapi saya menemukannya saat sebuah acara ILK (Indonesia Lawyers Klub) sedang berlangsung di sebuah Stasiun TV, TV One. Kata – kata itu disampaikan oleh Karni Ilyas yang merupakan presenter acara ILK. Kira – kira begini bunyinya:

“Kebanyakan manusia lebih suka diracuni dengan berbagai pujian yang disampaikan kepadanya daripada dibangun dengan kritikan yang ditujukan kepadanya”.

Mungkin banyak di antara para pembaca yang telah mendengar ungkapan ini, namun tidak dengan saya. Saya baru saja mendengar ungkapan ini sesaat sebelum akhirnya menulis artikel ini.

Apa yang disampaikan dalam ungkapan tersebut kiranya bukan hanya sekedar basi – basi belaka, tetapi merupakan hal yang seolah telah mendarah daging dalam diri setiap manusia. Memang diakui maupun tidak kebanyakan kita, cenderung lebih senang apabila mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain.

Saat mendapat pujian dari orang lain, kita mengira bahwa memang kita memiliki hal yang patut kita banggakan di depan banyak orang. Kita merasa bahwa apa yang kita miliki telah diakui eksistensinya oleh orang lain atau bahkan membuat orang lain terkagum – kagum dengan kita.

Tidak jarang pula setelah mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain, kita merasa terbuai dan tinggi hati. Akibabatnya, muncul sifat bangga dan tinggi hati bahkan sombong dan takabbur. Awas! Waspadalah sahabat!

Rasa bangga diri dan takabbur seringkali menjadikan pelakunya menjadi ceroboh dan akhirnya jatuh dalam keterpurukan. Akhirnya, sesungguhnya pujian dan sanjungan yang kita dapatkan bukan lagi menjadi satu hal yang patut kita banggakan. Pujian dan sanjungan itu tak lain berubah menjadi racun yang mematikan, yang pada akhirnya mampu melenyapkan segala bentuk kewaspadaan dan seluruh sisi baik dalam diri kita.

Berubahnya pujian dan sanjungan sebagai racun  yang meracuni setiap anak manusia ini, kerapkali tidak disadari oleh seseorang. Akibatnya, mereka tetap belagu dan belagak sok segalanya, namun pada saat mereka terperosok, barulah mereka menyadari akan hal tersebut, namun kebanyakan sudah tidak ada gunanya.

Mengapa manusia lebih suka mendapat pujian dan sanjungan? Manusia lebih menyukai pujian dan sanjungan oleh karena dalam diri manusia terdapat nafsu. Kodrat dari nafsu adalah ingin dipuja, dimanja, dimengerti, diakui dan seterusnya. Keinginan nafsu untuk diakui eksistensinya, menyebabkan nafsu mudah sekali merasakan kebagiaan manakala ia mendapat pujian dan sanjungan. Keinginan nafsu untuk dipuja dan dimanja menyebabkannya selalu meminta agar dipahami bukan dibuli apalagi dimaki.

Sebaliknya kritik cenderung tidak disukai oleh semua orang. Mengapa? Karena dalam kritikan seolah terdapat sebuah cacat yang ada dalam diri kita, sehingga –menurut kita, kritik itu disampaikan adalah untuk menegasikan keberadaan kita, atau minimal meragukan keberadaan kita.

Pandangan inilah sesungguhnya yang harus diluruskan oleh setiap orang. Akan tetapi menyadarkan manusia akan hal ini, bukanlah perkara mudah. Perlu upaya serius dan terus menerus untuk menjadikan seseorang memiliki kesadaran akan pentingnya menerima kritik yang berasal dari orang lain.

Kiranya fenomena dalam kehidupan ini cukup menjadi sebuah bukti akan pentingnya kritik. Manusia, siapapun orangnya, ia tidak akan pernah mampu untuk melihat “githok”-nya sendiri. Ia memerlukan bantuan orang lain untuk bisa melihatnya. Minimal bila bukan orang lain, ia butuh bantuan cermin atau benda sejenisnya untuk melihat sisi yang berada dibalik lehernya itu.

Ketidakmampuan manusia dalam melihat sisi yang berada dibalik lehernya ini, kerapkali dihubungkan dengan ketidakmampuan manusia dalam melihat sisi buruk dalam dirinya. Manusia cenderung melihat dan menyangka bahwa setiap apa yang muncul dari dirinya adalah hal baik yang patut diakui oleh orang lain. Sebaliknya, keterbatasan kemampuan yang dimilikinya telah menutup isi kepalanya dari melihat segala cacat dan kelemahan pada apa yang diyakininya benar.

Pepatah mengatakan, “Gajahh dipelupuk mata tidak tampak, namun semut semut diseberang lautan tampak”. Pepatah ini sesungguhnya ingin mengikis keyakinan seseorang akan kebenaran mutlak yang selalu didapatkan olehnya dalam diri. Artinya, kebanyakan orang sering menganggap bahwa dirinya benar, meski sebenarnya ia melakukan banyak kesalahan. Sebaliknya kesalahan yang dimiliki orang lain, selalu saja tampak meskipun itu sangat kecil. Apa maknanya?

Maknanya, kesalahan dan kelemahan kita sesungguhnya kerapkali dipahami dan dilihat oleh orang lain. Orang yang tahu kelemahan dan kekurangan kita, adalah mereka yang berada diluar diri kita. Nah, di sini lah sesungguhnya makna pentingnya sebuah kritik.

Seseorang yang telah memiliki kedewasaan dalam berpikir dan bersikap, tentu tidak akan berpandangan sempit saat kritik ditujukan kepadanya. Ketika kritik ditujukan kepadanya, ia justru akan menggunakan kritik itu sebagai cermin yang dengannya ia bisa berbenah diri kearah yang lebih baik. 

Sejarah telah membuktikan banyaknya orang yang tumbuh dan berkembang serta memperoleh capaian yang mencengangkan setelah sebelumnya ia mendapat kritikan yang luar biasa dalam hidupnya. Nabi kita, Muhammad SAW adalah sosok yang tepat kiranya kita jadikan sebagai panutan dalam memperbaiki diri. Betapa banyak hambatan dan rintangan yang dihadapinya dalam hidup, bukan hanya kritikan, caci – makian bahkan terror baik secar fisik maupun psikis, namun semua itu beliau hadapi dengan tegar dan sabar. Semakin beliau mendapat tantangan semakin pula beliau berusaha berbenah diri sehingga pada akhirnya Allah menjawab segala munajatnya.

Sama halnya dengan manusia pada umumnya. Sesungguhnya kritik yang disampaikan kepada kita, bukanlah serta merta menunjukkan ketidak sukaan/senangan seseorang pada kita. Ya, boleh jadi kebanyakan kritik itu adalah ungkapan ketidaksenangan, namun sebagai objek yang dikritik seharusnya kita tidak berpikiran sempit.

Kita bisa saja mengubah sebuah kritik itu menjadi factor yang membangun diri untuk meningkatkan kualitasnya. Semakin sering mendapat kritik semakin sering pula kita memperbaiki kualitas diri. Bila ini yang kita lakukan, bukan mustahil kita akan menjadi pribadi yang berkualitas dalam arti sebenarnya.

Nah, sekarang pertanyaannya, mana yang lebih kita sukai? Diracuni dengan berbagai pujian dan sanjungan atau dibangun dengan berbagai kritikan? Jawabannya tentu semua kembali kepada pribadi kita masing – masing.

Saya yakin, kodrat kita sebagai manusia yang memiliki nafsu selalu menginginkan untuk dipuja dan disanjung. Namun, tentunya kita juga tidak boleh lupa bahwa banyak orang yang dipuja dan disanjung justru mengalami hal yang buruk dalam hidupnya.

Sebaliknya, ketidaksukaan terhadap kritik sesungguhnya adalah hal yang tidak bisa kita hilangkan begitu saja. Akan tetapi cobalah membuka mata dan pikiran. Lihatlah kenyataan. Ingat, hidup itu bukan hanya mimpi yang sering menjadi bunga tidur. Namun, ia adalah nyata dan penuh dengan tantangan. Kerikil dan batu – batu tajam siap menghadang, dibutuhkan ketegaran, keberanian dan kesabaran untuk menyambut kesuksesan di masa yang akan datang.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam…


Komentar