Kajian Tasawuf Jilid IV

Kajian Tasawuf Jilid IV
(Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung)


Jum’at, 5 Mei 2017, Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung kembali menggelar agenda rutin kajian tasawuf. Alhamdulillah ini adalah kali ke-IV kajian yang diselenggarakan oleh Ma’had al-Jami’ah untuk kajian tasawuf pada tiap – tiap Jum’at sore selepas shalat Jum’at. Mudah – mudahan bisa terus konsisten dan istiqamah.

Pada kesempatan kali ini yang diangkat adalah qaul Ibnu Athaillah al-Sakandariy:

أرح نفسك عن التدبير فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك

Artinya: Istirahatkan dirimu dari mentadbir (yakni bersusah payah dan merasa risau di dalam mengatur urusan – urusan hidup), maka apa yang telah didirikan oleh orang lain (Allah telah mengatur untuk kita), janganlah engkau mendirikannya pula untuk dirimu sendiri.

Dalam kehidupan ini seringkali kita membuat perencanaan – perencanaan untuk sebuah program yang akan kita jalani di kemudian hari. Perencanaan –perencanaan ini tentunya penting bagi kita, dalam arti agar semua yang kita harapkan bisa berjalan secara efektif, efisien sesuai dengan harapan, atau minimal mendekatinya.

Foto Kajian Tasawuf JIlid IV

Al-Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan kita untuk jangan mengatur hal – hal yang bukan menjadi urusan kita. Sesuatu yang telah menjadi urusan orang lain, maka tidak sepatutnya kita ikut campur mengurusi hal tersebut. Serahkan saja kepada mereka yang telah mengurusinya, sementara untuk kita, lakukan saja apa yang menjadi tugas kita.

Apa maksudnya? Nasib yang akan memimpa seseorang itu sesungguhnya sudah ada yang mengatur. Baik, buruk, kaya, miskin, sukses, gagal, dan seterusnya sesungguhnya hal itu adalah urusan Allah SWT. Manusia tidak perlu repot – repot untuk mengurusinya. Justru sesungguhnya bila kita disibukkan dengan mengurusi semua itu, boleh jadi kita akan merasakan kekecewaan bila pada akhirnya nanti, apa yang menjadi harapan kita tidak sesuai dengan kenyataan.

Apa manusia tidak boleh melakukan perencanaan? Boleh dan harus melakukannya secara syar’i. Yang tidak boleh adalah memaksakan kehendak. Artinya kita punya perhitungan dengan perencanaan kita. Setelah itu kita berusaha dengan sungguh – sungguh agar semua berjalan sesuai dengan harapan. Tetapi sekali lagi urusan hasil itu adalah urusan Allah, bukan urusan kita. Inilah yang harus dipahami.

Murabbiy, Musyrifah dan Para Penikmat Kajian

Demikian halnya dengan urusan ubudiyah kepada Allah SWT. Ibadah adalah perintah yang Allah berikan kepada semua hamba-Nya, entah bangsa jin maupun  manusia. Secara tegas Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Dzariyat (51); 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)

Artinya: Dan tiadalah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah/menyembah-Ku.  (Q.S. al-Dzariyat (51); 56)

Dalam hal ibadah kepada Allah, janganlah seseorang memandang pada hasil dan memaksakan hasil itu agar sampai pada dirinya. Satu misal, para ulama salaf shalih sering mengatakan agar kita memperbanyak membaca Surat al-Waqi’ah misalnya, agar rizki kita lancar. Memang dorongan awal ketika kita membaca adalah keinginan agar rizki kita dimudahkan oleh Allah. Namun, dalam praktiknya, jangan lantas menyibukkan hati kita dengan lancarnya rizki itu, tetapi sandarkan pada Allah, ikhlaskan apa yang kita lakukan dan tidak usah mengatur Allah agar melancarkan rizki kita. Sungguh orang yang memaksakan hal itu ia telah berbuat sesuatu yang tidak patut dan Allah justru akan membenci orang semacam ini. Tugas kita adalah ibadah, bukan mengatur hasilnya ibadah. Oleh karenanya ikhlas itulah kuncinya saat kita beribadah kepada Allah SWT.

Al-Syaikh Ibnu Athaillah mengingatkan kepada kita agar janganlah kesungguhan kita dalam urusan rizki menyebabkan kita melalaikan hal – hal yang dituntut dalam ibadah kepada Allah. Melalui kalimah hikmahnya beliau mengatakan:

إجتهادك فيما ضمن لك وتقصيرك فيماطلب منك دليل على انطماس البصيرة منك

Artinya: Kegigihan usahamu pada (perkara – perkara) yang telah dijaminkan untukmu (yakni dalam urusan – urusan rizki) dan kelalaianmu pada (perkara – perkara) yang telah dituntut darimu (yakni dalam mengerjakan ibadah) adalah satu dalil bagi terhapusnya bashirah (penglihatan mata hati) darimu.

Al-Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandariy mengingatkan kepada kita agar jangan sampai kesibukan kita dalam urusan rizki, sesuatu yang Allah telah menjaminkannya untuk kita, menyebabkan kita lalai dari apa yang telah dituntut dari kita dalam menjalankan ibadah.

Suasana Kajian Tasawuf

Bolehlah secara syar’i kita melakukan perencanaan - perencanaan untuk urusan duniawi kita, tetapi jangan sampai melalaikan hal – hal lain yang justru hal itu dituntut untuk kita lakukan. Ingat, rizki sudah ada yang mengurusi, Allah. Manusia hanya wajib berusaha, bukan yang lainnya. Sementara dalam hal urusan ibadah kepada Allah, maka kita dituntu untuk berlaku ikhlas, tanpa pamrih, semata hanya menjalankan perintah Allah SWT belaka.

Jika ternyata saat kita bersungguh – sungguh dalam upaya untuk memenuhi urusan syar’i, tetapi kita melalaikan urusan – urusan yang dituntut bagi kita, yakni keikhlasan hati kita saat ibadah kepada Allah, hal itu merupakan dalil atau tanda bahwa bashirah telah hilang dari diri kita. Bashirah adalah penglihatan mata hati yang tajam, yang mampu membedakan antara yang haq dan bathil.

Nah, inilah yang sesungguhnya harus diperhatikan oleh para salikin yang menghendaki perjalanan wushul kepada Allah SWT. Seorang salik harus benar – benar waspada dalam mengelola hatinya agar tidak terjerumus kedalam hal yang tidak benar namun kelihatannya benar.

Usaha adalah kewajiban sementara hasil adalah urusan Allah. Ibadah adalah kewajiban yang harus kita jalankan, selebihnya bukan urusan kita.

Lantas bagaimana jika ternyata ibadah yang kita jalankan hasilnya tidak nampak sama sekali, sedangkan ibadah seseorang yang kita anggap ketaatannya kepada Allah SWT kurang, namun ternyata seolah menunjukkan hasil. Suatu contoh, orang yang tekun ibadahnya tetapi rizkinya tak kunjung lancar. Satu sisi ada orang yang ibadahnya tak seberapa bahkan mungkin sering melakukan maksiat, tetapi rizkinya lancar.

Untuk menjawab hal ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa lancar dan tidaknya rizki tidak bisa dijadikan ukuran kedekatan seseorang kepada Allah SWT. Boleh jadi seseorang yang tekun ibadah kepada Allah, rizkinya tidak kunjung lancar, kehidupannya tetap dalam kesusahan adalah tanda akan kasih sayang Allah kepadanya. Sebaliknya boleh jadi seseorang yang rizkinya lancar justru menunjukkan kebencian Allah SWT kepadanya.

Logikanya begini, orang yang berdo’a kepada Allah kita ibaratkan sebagai seorang pengamen yang meminta sedekah dari orang yang mendengarkan suaranya. Seorang pengamen yang bagus suaranya, akan disenangi oleh pendengarnya. Ia tidak kunjung memberi, tetapi terus meminta kepada pengamen tersebut untuk menyanyikan beberapa lagu karenanya cintanya dengan suara pengamen tersebut. Beda halnya dengan seorang pengamen yang suaranya sengau, tidak enak didengar, maka orang yang mendengarkan akan buru – buru mengambil receh dan memintanya menyudahi lagunya karena tidak berkenan atas pengamen tersebut.

Begitu halnya dengan seseorang yang ibadah kepada Allah SWT. Boleh jadi Allah SWT senang dan sangat cinta kepada hamba-Nya sehinnga Allah tidak ingin terburu – buru memberi kepada Allah agar hadiah itu tidak menjadikannya lalai dari-Nya. Sebaliknya ketidak tulusan rasa cinta seorang hamba saat ibdah kepada Allah memaksa Allah untuk memberikan sesuatu yang diinginkannya secara cepat. Sekali lagi bukan karena ia dekat kepada Allah apalagi wali-Nya Allah, tetapi karena kebencian Allah atas ketidak tulusan cintanya kepada Allah SWT.

Oleh karena itu al-Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandariy mengingatkan kita semua kaitannya dengan hal ini dengan kalimah hikmatnya:

لا يكن تأخر أمد العطاء مع الإلحاح فى الدعاء موجبا ليأسك، فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك لا فيما تختاره لنفسك، وفى الوقت الذى يريد لا فى الوقت الذى تريد

Artinya: Janganlah penundaan pemberian – pemberian (karunia – karunia) bersamaan dengan kesungguhan dalam berdo’a, menyebabkan engkau berputus asa. Maka Ia menjamin untukmu ijabah (terhadap do’a) dalam hal yang Dia pilihkan untukmu bukan hal yang engkau memilihnya untuk dirimu, dan pada waktu yang Dia inginkah bukan pada waktu yang engkau inginkan.

Demikianlah boleh jadi kita telah bersungguh – sungguh dalam berdo’a kepada Allah SWT, tetapi Allah tak kunjung memberikan apa yang kita minta. Penundaan pemberian Allah kepada apa yang kita minta bersamaan dengan kesungguhan kita dalam berdo’a kepada Allah SWT ini, jangan lantas menyebabkan kita menjadi putus asa.

Ijabah adalah jaminan yang telah diberikan Allah kepada hamba-Nya yang memohon kepada-Nya. Tetapi yang perlu diperhatikan ijabah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, tidak mesti sesuai dengan apa yang diinginkan oleh hamba tersebut. Boleh jadi hamba tersebut meminta kekayaan, tetapi sebaliknya, Allah justru memberikan kemiskinan kepadanya, boleh jadi ini adalah bentuk ijabahnya do’a.

Lho, kok bisa begitu? Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Ia mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya. Maka Allah akan memilihkan sesuatu yang terbaik bagi hamba yang dicintai-Nya. Oleh karenanya jangan memaksakan diri ketika Allah SWT berkehendak lain dari apa yang kita kehendaki dan jangan berputus asa. Boleh jadi itulah yang sesungguhnya terbaik buat kita. Allah memberikan ijabah sesuai apa yang Ia pilihkan, bukan yang kita inginkan. Ia memberikan ijabah diwaktu yang Ia inginkan, bukan pada waktu yang kita inginkan. Ini harus kita tanamkan dalam hati.

Apa yang disampaikan oleh al-Syaikh Ibnu Athaillah al-Sakandariy ini sesuai denga firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah (2); 216:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (216)

Artinya: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. al-Baqarah (2); 216)

Allah mengetahui segala rahasia dalam kehidupan ini. Oleh karenanya ketika sesuatu yang tidak kita sukai menimpa diri, jangan lantas kemudian terburu – buru berkesimpulan kalau Allah tidak sayang pada kita. Jangan mudah berputus asa terhadap usaha kita bila Allah belum mengabulkan, karena boleh jadi akan ada rahasia yang jauh lebih besar yang akan diberikan Allah pada kita.
Demikianlah khusnudzan harus tetap kita dahulukan daripada su’udzan. Khusnudzan kepada ketentuan Allah yang masih Dia rahasiakan untuk kita. Yakinlah bahwa setiap rencana-Nya adalah yang terbaik. Perhatikan ungkapan berikut:



“Aku meminta kepada Allah binatang yang mungil nan cantik, tetapi Ia berikan kepadaku ulat bulu, aku minta kepada Allah bungan yang cantik, tetapi Ia berikan kepadaku kaktus yang berduri, aku hanya tertegun, gerangan apa yang diinginkan Allah kepadaku, namun, lama – lama ulat – ulat itu berubah jadi kupu – kupu mungil nan cantik, kaktus itu mengeluarkan bunganya nan indah, begitulah Allah, Dia memberi apa yang kita butuhkan, bukan memberi apa yang kita inginkan”.

Semoga bermanfaat…
Allahu A’lam …


Komentar