Saat
mendengar kata filsafat, sebagian orang akan mengernyitkan dahinya. Merasa berat,
atau bahkan takut dengan istilah tersebut. Seolah ia adalah momok yang
menakutkan sehingga mesti di jauhi atau bahkan diasingkan dari pergumulan. Tidak
salah bila sebagian orang, karena alasan tertentu, melarang atau bahkan
mengharamkan belajar filsafat. Lantas, apa sebenarnya filsafat itu?
Secara
etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani Philos dan Sophia. Philos
artinya cinta, Sophia artinya kebijaksanaan, pemahaman yang mendalam. Dengan demikian
secara etimologis Filsafat memiliki arti cinta terhadap kebijaksanaan. Orang yang
ahli filsafat dikatakan sebagai seorang yang cinta terhadap kebijaksanaan.
Berfilsafat
berarti berfikir secara radikal, atau merenung secara mendalam terhadap segala
sesuatu secara metodik, sistematik menyeluruh atau universal untuk mencari
hakikat sesuatu (Dagobert D. Runner Dictionary
of Philosophy). Secara radikal artinya tanpa terikat oleh sesuatu yang
membatasi kebebasannya dalam berfikir. Berpikir filsafat berarti berfikir
secara mendalam tanpa terikat oleh sesuatu yang membatasi kebebasannya
berfikir, dengan menggunakan metode yang sistematis, bersifat menyeluruh,
sehingga mampu menghasilkan kesimpulan yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Pola
pikir seorang filosof tidak akan terikat oleh teks yang telah didoktrinkan. Ia bebas
berpikir sedalam – dalamnya. Kedudukan teks hanyalah sebagai konfirmasi atas
kesimpulan yang telah diperolehnya.
Dalam
islam, istilah filsafat seringkali disepadankan dengan kata hikmah. Para
Filosof muslim mengatakan bahwa hikmah itu sepadan dengan kebijaksanaan atau
shopia. Hikmah mengandung kematangan wawasan, cakrawala pemikiran yang jauh,
pemahaman yang mendalam, yang tidak dapat dicapai pengamatan sepintas saja. Karenanya filsafat bukanlah
istilah asing dan baru bagi Islam, melainkan ia adalah hal yang erat dan tidak
bisa dipisahkan dari Islam itu sendiri. Lukman al-Hakim seorang yang disebut –
sebut dalam al-Qur’an dianggap sebagai seorang yang memiliki kedudukan istimewa
lantaran kemampuan dan kemahirannya dalam berfilsafat. Hal itu nampak jelas
dari julukannya al-Hakim, ahli hikmah, ahli filsafat. Al-Qur’an sendiri dalam
satu ayatnya, Surat al-Baqarah (2); 269, menyebutkan keistimewaan seorang yang
diberi hikmah/pengetahuan filsafat:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (269)
Artinya:
Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Dan barang siapa
yang diberikan hikmah, maka sesungguhnya telah diberikan kebaikan yang banyak.
Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang – orang yang berakal
(Q.S. al-Baqarah (2); 269)
Allah
menghendaki memberikan hikmah (pengetahuan tentang kebijaksanaan/filsafat)
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Siapa yang diberi hikmah, sama artinya
diberikan kepadanya kebaikan yang banyak. Seorang yang diberi hikmah tidak akan
terburu – buru dalam mengambil kesimpulan. Tidak bersifat subyektif dalam
bertindak, sebaliknya ia akan berlaku obyektif, berpikir secara mendalam,
sehingga memperoleh pengetahuan yang benar. Perilaku semacam ini hanya dimiliki
oleh orang ulul albab, mereka yang dikarunia akal sempurna dan mau menggunakan
akalnya sesuai dengan apa yang dikehendaki pemberinya, Allah SWT.
Berpikir
filsafat tidak lantas menyebabkan seseorang keluar dari jalan yang benar. Sebaliknya
justru dengan berfikir filosofis, jalan kebenaran akan diperoleh. Sejarah mencatat,
tidak seorangpun dari filosof muslim yang berakhir dengan kekafiran, murtad,
menafikan keberadaan Tuhan, sebaliknya justru mereka semakin mantap dalam
keimanannya. Menjadi seorang yang semakin teguh beribadah kepada-Nya. Lain
halnya dengan para filosof barat yang banyak berujung pada kesalahan dengan
menyatakan diri anti Tuhan. Menganggap Tuhan telah mati, atau agama adalah
candu. Filosof muslim pada akhir hayatnya banyak yang kemudian menyibukkan diri
dalam dunia spiritual, tassawuf, semisal al-Ghazali, Ibnu Arabi dan sebagainya.
Dalam
sebuah hadits riwayat al-Tirmidzi disebutkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ
بْنِ الْوَلِيدِ الْكِنْدِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ
بْنِ الْفَضْلِ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ
الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا
نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ الْفَضْلِ الْمَدَنِيُّ
الْمَخْزُومِيُّ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ
Artinya: (TIRMIDZI - 2611) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Umar bin Al-Walid Al-Kindi telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair
dari Ibrahim bin Al Fadlal dari Sa'id Al-Maqburi dari Abu Hurairah ia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ""Kalimat hikmah
adalah barang seorang mukmin yang hilang, maka dimana saja ia menemukannya ia
lebih berhak untuk mengambilnya." Abu Isa berkata; Hadits ini gharib, kami
tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini, Ibrahim bin Al-Fadlal Al-Madani Al-Makhzumi dilemahkan dalam masalah hadits dari sisi hafalannya." (H.R. Tirmidzi)
Hikmah/kebijaksanaan
atau disebut juga dengan filsafat adalah barang hilang dari seorang mukmin. Karenanya
dimanapun ia ditemukan, ia lebih berhak mengambilnya. Artinya tidak ada alasan
bagi seorang mukmin untuk tidak belajar filsafat. Dimanapun dan kapanpun ia
berada, sesungguhnya belajar filsafat menjadi sebuah hal yang dianjurkan bagi
seorang mukmin. Dengannya ia dapat berlaku bijak dalam mensikapi semua
persoalan yang dihadapi. Tidak terburu – buru dalam memutuskan sesuatu, selalu
berusaha untuk melihat setiap persoalan secara komprehensif, utuh dari berbagai
sisi, sehingga ditemukan sebuah kesimpulan, konklusi, keputusan dan tindakan
yang tepat. Sebaliknya, mereka yang tidak mau belajar filsafat, cenderung
terburu – buru mengambil kesimpulan, konklusi, keputusan dan tindakan sehingga
tidak jarang terjerumus pada tindakan yang kurang tepat.
Prof.
Dr. Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, mengajukan lima unsur yang ada dalam
hikmah. Lima unsur tersebut adalah universal, pandangan yang luas, cerdik,
pandangan secara merenung (meditative) dan pengetahuan yang disertai dengan
tindakan yang baik. Lima unsur ini setidaknya harus ada dalam diri seorang yang
berfikir filosofis.
Secara
praktis filsafat merupakan aktifitas pikir murni (reflektif thinking), atau
kegiatan akal manusia untuk memahami secara mendalam terhadap segala sesuatu. Pemikiran
manusia yang tak terikat oleh sesuatu yang memaksanya untuk tidak berlaku
objektif. Filsafat berusaha mengungkap segala persoalan dengan komprehensif,
menyeluruh dan penuh dengan perenungan.
Sementara
dari sisi teoritisnya, filsafat merupakan satu bentuk perbendaharaan yang
terorganisasi, dan memiliki sistematika tertentu. Ia adalah bentuk pemikiran
yang terorganisasi secara sistematis. Bukan suatu pemikiran sembarangan yang
serampangan, asal – asalan tanpa perenungan. Pemikiran filosofis menghendaki
adanya pemikiran mendalam, kontemplasi dilakukan sesuai dengan metodologi yang
benar dan bersifat sistematis.
Adapun
objek materia filsafat adalah sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik material,
konkrit, phisis maupun yang non material abstrak, psikis. Sementara objek
formanya adalah menyelidiki segala sesuatu itu guna mengerti hakikatnya sedalam
– dalamnya. Sesuatu yang secara nyata ada, mungkin ada, berada dalam pikiran
semua itu termasuk bagian dari objek filsafat.
Filsafat
mengajarkan dan menghendaki adanya pemikiran secara mendalam, komprehensif,
menyeluruh terhadap segala sesuatu hingga ditemukan kebenaran sejati atau
setidaknya sesuatu yang mendekati kebenaran sesungguhnya. Bukan kebenaran yang
bersifat parsial, subyektif dan berdasarkan syak wasangka belaka. Tentu bukan
pekerjaan mudah, tetapi tetap harus dilakukan sebagai upaya untuk memaksimalkan
kinerja akal yang memang diciptakan Tuhan untuk berfikir. Mereka yang tidak mau
berfikir, justru terkecam dan mendapat ancaman dari agama. Lantas, apa dan
bagaimana filsafat pendidikan itu?
Filsafat
pendidikan meliputi usaha untuk mencari konsep – konsep yang mengarahkan
manusia diantara berbagai gejala yang tentunya mempunyai perbedaan satu sama
lain, sehingga memerlukan suatu proses dalam pendidikan dalam rancangan yang
integral dan terpadu. Filsafat Pendidikan merupakan suatu pemikiran mendalam
yang sistematis tentang masalah pendidikan. Masalah – masalah yang melingkupi
semua hal yang berkaitan dengan pendidikan, untuk kemudian dipecahkan dan
dicarikan solusi yang tepat untuk perbaikan kedepannya. Filsafat pendidikan
berusaha untuk menjawab semua prolematika dan tantangan – tantangan yang ada
dalam dunia pendidikan sehingga diperoleh solusi yang tepat, dan tujuan yang
diharapkan dari penyelenggaraan pendidikan bisa diperoleh dengan maksimal. Tidak
hanya berbicara soal teoritis, tetapi juga langkah – langkah praktis dan
efektif yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Lantas bagaimana dengan
filsafat pendidikan islam?
Filsafat
pendidikan islam adalah pemikiran mendalam yang sistematis tentang masalah
pendidikan yang sesuai dengan nilai – nilai ajaran Islam . Nilai – nilai yang
berlandaskan pada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber ajarannya. Karenanya semua
bentuk pemikiran yang berseberangan dengan nilai – nilai ajaran Islam, meskipun
dianggap benar pemiliknya, tidak bisa diterapkan dalam pemikiran filsafat yang
bernafaskan Islam.
Adapun
fungsinya adalah sebagai kerangka atau landasan dasar bagi pendidikan islam
(teoritis) dan sebagai penunjang bagi pemecahan berbagai problematika dalam
pendidikan islam (praktis). Semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan
nama islam, wajib menggunakannya sebagai landasan dasar teoretisnya dan
menggunakannya sebagai cara dalam menyelesaikan problematika dan permasalahan
yang ada di dalamnya.
Filsafat
pendidikan Islam menjadi landasan dalam pengembangan lembaga – lembaga pendidikan
Islam sehingga terwujudlah pendidikan Islami. Pendidikan yang tetap bertumpu
pada nilai – nilai luhur yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai
sumber pokoknya. Bukan menjadikan selain keduanya sebagai rujukan utamanya.
Semoga bermanfaat...
Allahu a'lam...
Komentar
Posting Komentar