Nadzrah



Nadzrah

Sebagian orang mungkin sudah akrab dengan istilah ini, namun tidak dengan sebagian yang lain. Istilah nadzrah berasal dari bahasa Arab نظر ينظر نظرة, yang secara bahasa memiliki arti melihat. Istilah ini merupakan serapan dari isim mashdar yang mengandung arti melihat dengan sungguh – sungguh.

Ya, istilah nadzrah mungkin jarang didengar oleh masyarakat awam secara umum, namun akrab di sebagian orang yang menekuni dunia spiritual dalam perjalanan menuju ke hadhrah qudsiyah-Nya Allah SWT. Nadzrah adalah pancaran radiasi batin yang dimiliki oleh seorang guru ruhani yang sampai pada maqam ‘kamil mukammil’, sempurna imannya dan mampu menyempurnakan iman santrinya hingga mencapai wushul ilallah


Dalam dunia kaum sufi keberadaan seorang guru mursyid yang mampu membimbing muridnya secara ruhani untuk menapaki tangga demi tangga menuju hadhrah ilahiyyah mutlak adanya. Mereka yang menuju kepada Allah tanpa mendapat bimbingan dari syaikh mursyid al-kamil mukammil besar kemungkinannya untuk bisa sampai ke hadhrah-Nya Allah. Betapa tidak, perjalanan spiritual bukanlah perjalanan layaknya perjalanan pada umumnya, akan tetapi perjalanan ini penuh dengan berbagai rintangan dan halangan. Rintangan dan halangan dalam perjalanan ini, adakalanya mudah dikenali dan adakalanya sulit dikenali oleh karena saking lembutnya. Yang mudah dikenali itu biasanya diistilahkan dengan hijab dzulmah sementara yang sulit disebut dengan hijab nur.

Hijab dzulmah mudah dikenali. Keberadaannya yang secara nyata bertentangan dengan laku syariat yang telah ditentukan oleh Allah, menjadikannya mudah dipahami oleh kebanyakan salikin. Pada akhirnya mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkannya dan bertobat, istighfar, mohon ampun kepada Allah SWT.

Sementara hijab nur begitu lembut adanya. Secara dzahir barangkali banyak orang yang akan menyebut pelakunya sebagai seorang ahli surga, ahli ibadah, seorang kyai atau kalau perlu wali. Maaf, wali hanya bisa dikenali oleh wali. Para ulama mengatakan, ‘Tidak ada yang melihat/mengetahui wali melainkan dia seorang wali’. Yang kenal wali, ya hanya wali. Sementara masyarakat yang hanya berdasar pada prasangka baiknya, menyebut seseorang wali, hakikatnya belum tentu orang tersebut wali di hadapan Allah SWT. Inilah sulitnya.

Banyak orang yang telah berupaya untuk membersihkan hatinya, menghias diri dengan berbagai akhlak al-karimah untuk bisa mencapai hadrah ilahiyyah, akan tetapi dalam proses perjalannya justru mereka terjebak dengan perangkap Iblis yang lembut. Banyak orang ahli ibadah secara lahir, asrar kauniyahnya dibuka, ampuh, bisa menyembuhkan seseorang hanya dengan do’anya, bisa terbang ke atas awan dan sebagainya, tetapi kalau tidak hati – hati dan tidak ada yang membimbing boleh jadi dia berhenti pada urusan karamah. Allahnya menjadi hilang, tetapi ia tidak merasa. Perasaannya ia sudah dekat kepada Allah tetapi sebenarnya dia jauh dari Allah. 

Karena itulah dalam perjalanan spiritual menuju kepada Allah, seorang salik diharuskan memiliki seorang guru yang mampu mentarbiyah muridnya, meski secara dlahir sang murid di belahan bumi timur sementara sang guru berada di tempat terbenamnya matahari. Hati seorang guru yang kamil mukammil itu memenuhi jagat raya, ia mampu membimbing muridnya meski secara lahir mereka dipisahkan oleh jarak. Kemampuan mentarbiyah ini dikenal dengan istilah nadzrah.

Sebagian orang mungkin tidak percaya akan hal itu. Dalam pandangan mereka kaum sufi dianggap sebagai kelompok sesat, paganis dan berlebihan dalam beragama. Itu hak mereka untuk tidak percaya. Tetapi yang jelas literatur sufi banyak yang membahas mengenai pentingnya mengambil seorang guru mursyid untuk mencapai wushul ilallah. Bahkan seorang sufi besar dalam kitabnya ‘al-Anwar al-Qudiyah’, Syaikh Abdul Wahab al-Sya’rani mengatakan:

المريد إذا مات شيخه وجب عليه اتخاذ شيخ أخر يربيه

Artinya: Seorang murid, ketika Syaikh (guru ruhaninya)-Nya wafat, maka wajib baginya mengambil (mencari) Syaikh pengganti yang lain untuk membimbingnya.

Begitulah pentingnya keberadaan guru ruhani dalam perjalanan spiritual menuju hadhrah ilahiyyah. Keberadaannya mutlak diperlukan dan tidak bisa ditawar lagi, mengingat sulit dan beratnya perjalanan menuju wushul ilallah. Bahkan Syaikh Yusuf Ismail al-Nabhani dalam kitabnya, ‘Jami’i Karamah al-Auliya’, mengatakan:

اعلم من أراد شيئا فأعطاه الله مراده لم يدل ذلك عاى كون ذلك العبد وجيها عند الله قد يكون إكراما للعبد وقد يكون استدراجا له

Artinya: Ketahuilah, orang yang menginginkan sesuatu, dan Allah memberinya. Pemberian itu belum tentu menunjukkan bahwa ia berkedudukan tinggi dihadapan Allah SWT. Kadang pemberian tersebut sebagai karamah, dan kadang sebagai istidraj.

Karena itulah meski seseorang memiliki karamah yang luar biasa, dipandang oleh banyak orang sebagai seorang yang dekat dengan Allah, tetapi hal tersebut belumlah jaminan atas kedekatannya kepada Allah. Boleh jadi sebaliknya, ijabahnya do’a yang dipanjatkan hanyalah sebatas istidraj yang justru menyebabkan orang tersebut semakin jauh dari Allah. Sebab itu ia membutuhkan seorang guru yang mampu mengarahkannya sehingga ia tidak terjebak dalam kesesatan.

Keberadaan nadzrah ini sesungguhnya terus memancar menerangi seluruh penjuru alam. Ia bagaikan matahari yang bersinar terang menerangi setiap ruang bebas yang tak tertutupi. Begitu juga sinar nadzrah ini memancar ke seluruh penjuru dunia menerangi hati setiap umat manusia yang mau untuk membuka hatinya. Hati yang terbuka akan menerima sinar nadzrah ini dan pada akhirnya orang tersebut akan mendapatkan hidayah Allah. Sedikit demi sedikit, ia akan mengalami perbaikan dalam seluruh aspek kehidupannya hingga sampai pada hadhrah-Nya Allah. Lantas siapakah pemilik nadzrah yang sesungguhnya?

Pemilik nadzrah yang sesungguhnya adalah seorang yang dipilih oleh Allah sebagai hamba-Nya yang terdekat di zaman itu. Dia adalah Abdul Wahid, seorang yang berpangkat al-Ghauts (Quthub). Al-Syaikh Ahmad Dliyauddin Kamasykhanawi r.a. mengatakan dalam kitabnya, ‘Jami’ul Ushul’:

عبد الواحد هو الذي بلغه الله الحضرة الواحدية وكشف له عن أحدية جميع أسمائه، فيدرك ما يدرك ويفعل ما يفعل بأسمائه ويشاهد وجوده بأسمائه الحسنى وهو وحيد الوقت صاحب الزمان الذي له القطبية الكبرى بالأحدية

Artinya: Abdul Wahid adalah seorang yang telah dikehendaki Allah sampai pada hadrah wahidiyyah dan Allah telah membuka tabir baginya dari sinar Ahadiyah seluruh asma-Nya. Hamba ini dapat menemukan sesuatu (atas izin Allah semata) yang Dia temukan, dan melakukan sesuatu yang Dia lakukan, dan musyahadah tentang wujud-Nya dengan asma-Nya yang baik. Dia-lah satu – satunya hamba Allah (yang sempurna) pada waktu itu. Dialah orang yang memahami (baik buruknya) zaman, dan baginya (derajat) wali quthub yang besar dengan pemahaman iman Ahadiyah.

Pemilik nadzrah yang sesungguhnya adalah seorang yang berpangkat wali quthub (al-Ghauts). Darinya memancar sinar nadzrah yang akan dipancarkan oleh seorang murid. Tidak heran bila saja seorang murid suul adab kepadanya, maka bisa saja karamah murid itu akan luntur. Karena itulah memahami kedudukan dari seorang guru menjadi penting bagi seorang yang menempuh perjalanan spiritual agar ia tidak suul adab kepada gurunya.

Nadzrah seorang guru kamil mukammil berpangkat al-Ghauts ini mampu menghilangkan kotoran hati, sehingga hati tersebut bersih dan dipenuhi hidayah Allah. Tidak semua orang diberi keistimewaan itu selain mereka yang dikehendaki oleh Allah. Syaikh Amin al-Kurdi dalam kitab ‘Tanwirul Qulub’-nya menyebutkan: 

لا يذهب كدر القلب إلا بنظر نبي أو ولي ذي تجربة فى هذاالشأن

Artinya: Kotoran hati tidak akan hilang, kecuali dengan nadzrah seorang nabi atau wali yang memiliki keahlian yang teruji dalam bidang ini.


Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam....


Komentar