Pailit
Kata
pailit telah lama akrab ditelinga masyarakat, khususnya Jawa. Bagi masyarakat
Jawa asli yang tetap berpegang teguh pada nilai – nilai luhur budaya Jawa,
tentu paham betul arti kata ini. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi mereka yang
mulai meninggalkan tradisi jawanya. Pada akhirnya penyakit ini juga merambah
pada anak – anak keturunan jawa asli. Karenanya muncul istilah “Wong Jowo
ning ora njawani”.
Mengapa
banyak keturunan jawa yang ndak jawani? Ini tidak lepas dari pengaruh budaya –
budaya asing yang telah meraja lela di tengah – tengah bangsa ini. Hal ini
sesungguhnya perlu mendapat perhatian serius dari orang tua sehingga mampu
membentengi dan membendung budaya – budaya asing yang kurang baik atau bahkan
bertentangan dengan nilai – nilai luhur budaya jawa.
Istilah
pailit digunakan untuk menunjuk pada seseorang yang mengalami ‘bangkrut’
tingkat dewa. Artinya merugi hingga semua yang dimilikinya habis, tidak
tersisa. Ada istilah lain yang juga digunakan, ‘entek sak leger genthonge’.
Habis – habisan, tanpa menyisakan apapun yang bisa digunakan. Yang ada hanya
baju yang melekat di badan.
Berkaitan
dengan pailit, Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ
وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا
مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي
يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ
هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا
فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ
حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ
فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Artinya:
(MUSLIM - 4678) : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dan 'Ali
bin Hujr keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Isma'il yaitu Ibnu
Ja'far dari Al A'laa dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabat: "Tahukah
kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?" Para sahabat menjawab; 'Menurut
kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang
dan harta kekayaan.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
'Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang
dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan
harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain. Setelah itu,
pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga
pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi.
Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk
dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.'
(H.R. Muslim)
Saat
Rasul bertanya kepada para sahabat tentang seorang yang pailit (bangkrut), para
sahabat menjawab bahwa mereka adalah orang yang tidak punya uang dan harta.
Kenyataannya menurut kacamata kebanyakan orang memang orang yang bangkrut
adalah mereka yang tidak memiliki uang dan harta. Mereka tidak bisa mendapatkan
sesuatu yang mereka inginkan.
Di
dunia, uang dan harta dianggap sebagai hal penting, bahkan ada yang
menganggapnya sebagai hal terpenting diantara yang lainnya. Tidak heran bila
banyak dijumpai orang – orang yang lebih mementingkan kehidupan dunia, memenuhi
hidupnya dengan kerja, kerja dan kerja yang berujung pada penumpukan harta
benda. Berlomba – lomba dalam kepemilikan tanah, rumah, mobil, dan beragam
asset kekayaan yang lain. Bagi sebagian besar orang, mereka dianggap sebagai
orang yang beruntung.
Lain
halnya dengan mereka yang tidak mempunyai kepemilikan uang dan harta. Bagi
sebagian orang mereka adalah orang yang merugi, bangkrut dan pailit. Mengapa?
Karena mereka tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Mereka juga tidak
bisa memiliki sesuatu yang diinginkan. Orang tak berharta seringkali
dipinggirkan dalam komunitas sosial. Saat ada pertemuan, umumnya mereka juga
dipandang sebelah mata. Orang kaya senantiasa di puja sementara mereka yang
miskin dipinggirkan.
Ternyata
anggapan seperti itu juga pernah terjadi di masa Rasul. Saat para sahabat
ditanya tentang siapa sesungguhnya orang yang bangkrut itu. Cara pandang ini
kemudian diluruskan oleh Rasul SAW. melalui sabdanya. Orang yang bangkrut
adalah mereka yang datang di yaumul qiyamah dengan pahala amal perbuatan
mereka. Datang dengan membawa pahala shalat, zakat, puasa, haji dan beragam
amalan lainnya. Ibadah vertikal di tata dengan baik sehingga seolah – olah dia
adalah penghuni surga. Tetapi sayangnya hubungan horizontal, hubungannya dengan
sesama manusia tidak dijaga dengan baik. Ia seringkali menyakiti hati tetangga
baik dengan lisannya maupun dengan perilakunya. Akibatnya di akhirat ia
dituntut oleh orang – orang yang pernah disakitinya itu, hingga seluruh
pahalanya habis namun tuntutannya belum terpenuhi dan dia dilemparkan ke
neraka.
Sebaik
apapun ibadah vertikal, tidak dibenarkan bila seseorang lantas mengesampingkan
urusan kemanusiaan. Islam sangat menekankan kepada umatnya untuk selalu berbuat
baik kepada sesama manusia. Seorang muslim yang baik adalah mereka yang mampu
menyelamatkan musim lainnya dari bahaya tangan dan lisannya. Artinya janganlah
seorang muslim mengusik kenyamanan orang lainnya.
Selama
hidup di dunia, ada aturan – aturan yang harus dipatuhi dan ditaati oelh
seseorang. Ada aturan yang bersifat syar’i, adapula yang bersifat manusiawi.
Aturan yang bersifat syara’ pertanggung jawabannya adalah kepada Allah SWT.
Setiap individu akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dikerjakannya
selama di dunia. Tidak peduli apakah dia seorang yang berpangkat, kaya raya,
maupun seorang miskin dan papa. Tidak aka nada yang luput dari hisab-Nya. Bila
di dunia ia bisa luput dari hukum dunia, atau bisa membalikkan hukum dengan
harta yang dimilikinya, maka hal itu tidak berlaku untuknya saat dihadapkan
pada peradilan Tuhan.
Adapun
aturan yang bersifat manusiawi maka pertanggung jawabannya adalah kepada hukum
yang bersifat dunia. Melanggar aturan yang ada disuatu tempat, maka pertanggung
jawabannya adalah sesuai hukum dan aturan yang ada di tempat tersebut.
Tetapi
yang perlu dipahami, bahwa nilai – nilai kemanusiaan itu tidak sekedar bernilai
manusiawi yang berimplikasi pada hukum dunia. Agama sebagai kepanjangan tangan
dari hukum syara’ ukhrawi ikut terlibat di dalamnya. Karena itu ibadah tidak
hanya memiliki dimensi vertikal semata, melainkan ia juga memiliki dimensi
horizontal. Semua dimensi itu harus diperhatikan dan dipenuhi, bila tidak, maka
akan terjadi ketimpangan. Bahkan mereka yang tidak mau memperhatikan aspek
horizontal, mereka akan dimintai pertanggung jawaban. Mereka akan dituntut
orang yang belum diberikan haknya.
Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar