Sambutan Mudir Ma'had al-Jami'ah |
Selasa, 22 Agustus 2017, Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung kembali
punya gawe. Kali ini agendanya adalah pekan ta’aruf mahasantri baru tahun
akademik 2017-2018. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 330 mahasantri,
musyrifah, dewan asatidz, murabbi dan Mudir Ma’had al-Jami’ah, Dr. K.H.
Muhammad Teguh Ridlwan, M.Ag. Kegiatan ini merupakan agenda rutin yang digelar
ma’had setiap tahunnya pada masa penerimaan mahasantri baru.
Sebagai ketua pelaksana dalam kegiatan ini adalah ustadz Rahmad,
M.Pd.I. murabbi dan dosen muda IAIN Tulungagung. Dengan semangat dan jerih
payahnya agenda ini berjalan sukses dan lancar. Pada sambutannya beliau
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu suksesnya
acara yang digelar tadi malam. Beliau juga mohon maaf apabila ada hal – hal
yang kurang berkenan selama pelaksanaan kegiatan. Terakhir beliau berpesan agar
semua mahasantri bersungguh – sungguh dalam belajar dan menuntut ilmu di Ma’had
al-Jami’ah ini. Beliau menegaskan bahwa apa yang diraih oleh mahasantri akan
sesuai dengan ikhtiar yang dijalaninya.
Sementara itu mudir Ma’had al-Jami’ah IAIN Tulungagung, Dr. K.H. Muhammad
Teguh Ridlwan, M.Ag. memberikan banyak petuah dan wawasan kepada mahasantri
berkaitan dengan proses yang akan mereka jalani di ma’had setidaknya selama
setahun kedepan. Kesuksesan mereka selama menuntut ilmu di ma’had al-jami’ah
tergantung seberapa tingkat kesungguhannya dalam menjalani prosesnya.
Setidaknya ada lima pesan utama yang beliau sampaikan untuk para
mahasantri. Pertama, fastabiqul khairat, berlomba dalam kebaikan. Selama menjadi
mahasantri ma’had al-jami’ah beliau mengharap seluruh mahasantri agar saling
berlomba dalam hal kebaikan. Jangan sampai ada yang bermalas-malasan sehingga
sepulang mereka atau sekeluar mereka dari ma’had tidak ada perubahan kearah hal
positif yang menunjukkan perubahan yang lebih baik dari sebelumnya.
Mudir Ma'had, Murabbi, Dewan Asatidz dan Musyrifah |
Kedua, beliau berpesan agar semua mahasantri mengikuti semua
kegiatan yang diagendakan oleh pengelola. Hal ini penting agar mahasantri
mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan terkait dengan kema’hadan. Kegiatan ituu
juga akan menjadi bekal bagi para mahasantri untuk hidup di masyarakat
sekembalinya mereka ke daerah masing-masing.
Ketiga, apabila ada kegiatan ekstra yang mengharuskan mereka keluar
ma’had selama beberapa hari, hendaknya tidak perlu diikuti. Hal ini dimaksudkan
agar mereka lebih fokus untuk belajar di ma’had. Semua kegiatan ma’had harus lebih
diprioritaskan dibanding kegiatan luar.
Keempat, lakukan sebab tanpa berpikir akibat. Bukan berarti
melakukan sesuatu secara ngawur, tetapi yang dimaksudkan adalah agar mahasantri
lebih fakus pada ikhtiar dan usaha. Urusan hasil atau apa yang akan mereka
peroleh hendaknya itu tidak menjadi tujuan utama. Yang terpenting berusaha
untuk menjalankan kewajiban tanpa menuntut hak. Beliau menegaskan bahwa apa
yang kita peroleh selalu berbanding lurus dengan apa yang kita usahakan. Allah akan
memberikan hak kepada mereka yang punya hak. Allah tidak akan pernah mendzalimi
seseorangpun. Artinya akibat itu sesungguhnya sudah menjadi jaminan yang
ditetapkan Allah. Karenanya yang terpenting adalah melakukan sebab tanpa
berpikir akibat.
Kelima, beliau berharap bahwa seluruh mahasantri yang mukim di ma’had
al-jami’ah bisa berbaur dan menyatu antara yang satu dengan lain. Sebagaimana diketahui
bahwa mahasantri yang mukim di ma’had berasal dari berbagai daerah. Karenanya jangan
sampai perbedaan daerah itu menjadi penghalang bagi mahasantri untuk saling
mengenal antara satu dengan lainnya. Justru perbedaan itulah yang sesungguhnya
menjadikan semua terasa indah apabila disikapi dengan cara yang bijak.
Berbeda dari sebelumnya, bila pekan ta’aruf kali ini menghadirkan
pemateri yang juga pengasuh salah satu pesantren di Tulungagung, K.H. Muhsin
Ghazali. Dalam penyampaian materinya, beliau banyak memberikan wawasan kepada
mahasantri berkaitan dengan hal – hala yang berhubungan dengan ma’had. Kata ma’had
menurut beliau merupakan bentuk isim makan dari fi’il madli ‘ahida yang berarti
tempat perjanjian. Ma’had alah tempat perjanjian antara seorang guru dan murid.
Ia bagaikan kawah candradimuka yang digunakan untuk menggodok mahasantri agar
menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.
Menurut beliau ilmu itu bisa
diperoleh berdasarkan tujuan, objek dan waktu. Tuyjuan objek dan waktu
boleh jadi akan menghasilkan ilmu yang berbeda. Beliau banyak menjelaskan
tentang ayat yang pertama kali turun yakni iqra’. Perintah pertama bagi umat
Islam adalah perintah untuk membaca. Membaca menjadi hal penting bagi setiap
santri yang ingin mendapatkan pengetahuan. Kata iqra’ sendiri sesungguhnya
adalah bentuk fi’il muta’adi yang membutuhkan objek. Hanya saja pada siyaq
kalam pada ayat tersebut tidak disebutkan objeknya. Artinya bahwa menuntut ilmu
itu bisa apa saja. Bisa jadi ilmu agama, umum dan seterusnya. Tetapi yang mesti
diingat adalah semuanya mesti tetap bermuara pada kesadaran kepada Allah karena
ditegaskan dalam ayat tersebut dengan kata ‘bismirabbik’.
Kemudian beliau melanjutkan bahwa kelanjutan ayat tersebut berbunyi
‘khalaqa al-insana min al-‘alaq’. Bahwa manusia diciptakan dari ‘alaq, yang
diartikan segumpal daging. Kata ‘alaq pada dasarnya berasal dari ‘alaqa yang
artinya bergantung. Ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan penuh dengan
ketergantungan kepada yang lain. Ketergantungan paling utama yakni
ketergantungan kepada Allah SWT.
Selanjutnya kata iqra’ diulang sebanyak dua kali. Arti pertama
bahwa menuntut ilmu itu tidak mungkin dilakukan hanya sekali saja untuk
mendapatkan sebuah pengetahuan, melainkan harus berulang – ulang. Makna kedua
bahwa iqra yang pertama menunjuk pada diri sendiri yang mengandung maksud ta’allum
belajar dan yang kedua menunjuk pada orang lain. Artinya bahwa setelah memiliki
ilmu pengetahuan, jangan sampai disimpan sendiri, tetapi seyogyanya disampaikan
kepada orang lain. Tetapi yang juga perlu diingat, sebagai seorang mu’allim,
jangan berani menjadi mu’allim jika anda tidak mau ta’allum.
Beliau juga mengingatkan bahwa setelah memiliki ilmu, janganlah
menjadii orang yang sombong. Sombong akan menjadikan seseorang sebagai orang
yang lupa diri. Orang yang lupa diri justru akan menjadikan dirinya sebagai orang
yang terpuruk. Pertanyaan yang diajukan oleh seorang yang sombong juga akan
menjadi salah meskipun itu benar. Beliau menceritakan kisah tentang Nabi Musa
yang berguru pada Nabi Hidir. Semestisnya pertanyaan yang diajukannya benar
saat Hidir merusak kapal. Tetapi hal itu menjadi salah karena diawali
kesombongan. Artinya seorang murid harus berlaku tawadlu’ dihadapan gurunya,
jangan berlaku sombong. Sehebat apapun seorang murid ia tetaplah murid. Tidak dibenarkan
baginya berlaku sombong dihadapan gurunya.
Bagi seorang murid hendaknya memperbanyak membaca basmalah diawal
belajarnya dan shalawat. Basmalah dan shalawat akan memberikan daya tangkap
yang kuat bagi seorang murid dalam menerima materi dan menyimpannya dalam
memori otaknya. Karena itulah hal itu menjadi penting. Terutama niat. Hendaknya
seorang murid menancapkan niatnya dalam hati hingga ia bisa menjadi pondasi
yang mengantarkannya menuju kesuksesan.
Terakhir beliau mengatakan bahwa hidayah itu ada lima, hidayatul
ilham, hidayatul hawas, hidayatul aqli, hidayatud din dan hidayatut taufiq. Acara
berakhir pada sekitar pukul 21.00. Alhamdulillah semua berjalan lancar dan sukses.
Semoga semua mendapat barakah dan ridla Allah SWT. Amin.
Semoga bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar