Pengertian dan Bentuk – bentuk Hadits



Pembahasan mengenai hadits selalu saja menarik perhatian, terutama bagi mereka yang ingin mendapatkan pemahaman yang benar tentang ajaran agama yang dianutnya. Ya, hadits diakui sebagai salah satu sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an. Ia memiliki kedudukan penting bagi umat Islam. Siapa yang tetap berpegang teguh padanya, dijamin tidak akan tersesat selama – lamanya. Demikian sabda Rasul, Muhammad SAW.


Keyakinan umat Islam akan pentingnya hadits Nabi Muhammad SAW sebagai sumber ajaran agama, tentu tidak sembarangan. Paling tidak ada alasan kuat yang mendukung keyakinan itu. Al-Qur’an dalam Surat al-Hasyr (59); 7 menyebutkan:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7)

Artinya: Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Q.S. al-Hasyr (59); 7)


Terdapat juga ayat yang menjelaskan kewajiban untuk taat kepada Rasul yang menjadi dasar bagi kewajiban berpegang pada hadits. Termasuk diantaranya adalah firman Allah SWT:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)

Artinya: Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang – orang kafir.” (Q.S. Ali Imran (3); 32)

Sebenarnya masih banyak ayat yang menjelaskan tentang pentingnya berpegang pada hadits dengan menaati Rasul. Setidaknya dua ayat di atas cukup mewakili untuk menunjukkan betapa pentingnya mempelajari, memahami dan menjadikan hadits sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan beragama. Berpegang pada hadits sama artinya mengikuti Rasul. Barangsiapa yang mengikuti Rasul, maka Allah akan mencintainya dan kelak akan memasukkannya ke dalam surga. Tempat yang penuh dengan kenikmatan yang diharapkan oleh semua umat manusia di dunia ini. Lantas apa sebenarnya hadits itu?

Ibnu Mandzur mengatakan bahwa hadits berasal dari bahasa arab al-hadits artinya al-jadid (yang baru) dan al-khabar (kabar atau berita). Sementara M.M. Azami mengatakan hadits secara bahasa mengandung pengertian komunikasi, kisah, percakapan: religius atau sekular, historis atau kontemporer. Dengan demikian secara bahasa hadits bisa diartikan sebagai sesuatu yang baru, datang kemudian, kabar atau berita, komunikasi, kisah, dan percakapan.

Adapun pengertian hadits secara istilah adalah:

كُلُّ مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِيٍّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْصِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْ خُلُقِيَّةٍ.

Artinya: Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat – sifat maupun hal ihwal Nabi

Segala bentuk ucapan, perbuatan, taqrir, dan sifat – sifat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. disebut hadits. Semuanya merupakan sumber yang bisa dijadikan panutan bagi umat Islam untuk berperilaku dalam kesehariannya. Memang, ada ikhtilaf diantara para ulama mengenai keharusan mengikuti sunnah Rasul. Sebagian mengatakan bahwa yang wajib diikuti hanyalah hadits yang memiliki keterkaitan atau implikasi pada hukum syar’i, sementara yang lain, yang tidak berkaitan atau berimplikasi pada hukum syar’i tidak harus diikuti. Hal itu barangkali akan menjadi pembahasan pada kesempatan yang berbeda.

Ada beberapa istilah yang dianggap memiliki kedekatan dengan kata hadits, yaitu sunnah, khabar dan atsar. Istilah sunnah secara etimologi adalah:

اَلطَّرِيْقَةُ مَحْمُوْدَةً كَانَتْ أَوْمَذْمُوْمَةً.

Artinya: “Jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela”

Sedangkan dari sisi terminologi, sunnah memiliki pengertian:

مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ أَوْتَقْرِيْرٍ أَوْصِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْسِيْرَةٍسَوَاءٌ كَانَ قَبْلَ الْبِعْثَةِ أَوْ بَعْدَهَا.

Artinya: “Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat menjadi rasul atau sesudahnya.”

Adapun khabar secara bahasa adalah warta atau berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Secara terminologi, khabar memiliki pengertian sebagai:  

مَاأُضِيْفَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرِهِ.

Artinya: “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, atau kepada selain Nabi SAW.”

Atsar memiliki pengertian atsar berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu.  Menurut jumhur ulama, atsar mempunyai pengertian yang sama dengan khabar dan hadits, namun menurut sebagian ulama yang lain atsar cakupannya lebih umum dibanding khabar. Istilah – istilah tersebut memiliki kedekatan dengan istilah hadits. 

Adapun bentuk – bentuk hadits menurut para ulama bisa dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Hadits Qauli, yaitu hadits yang bersumber dari perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hadits jenis ini sering diawali dengan kata "قال رسول الله". Sebagai contoh adalah hadits berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)

Artinya: “Dari Abu Hurairah R.A., Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa sengaja berdusta atas diriku, hendaklah ia bersiap – siap menempati tempat tinggalnya di neraka.” (H.R. Muslim)

2.      Hadits Fi’li, yaitu segala bentuk perbuatan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. Bentuk hadits ini biasanya diawali dengan kata كان يكون رأيت رأينا  dan sejenisnya. Contoh:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  كَانَ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ: اللهُمَّ هَذِهِ قِسْمَتِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تُلْمِنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ (رواه أبو داود والترمذي والنسائ وابن ماجه)

Artinya: “Dari Aisyah, Rasul SAW membagi (nafkah dan gilirannya) antar istri – istrinya dengan adil. Beliau bersabda,” Ya Allah! Inilah pembagianku pada apa yang aku miliki , Janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang tidak aku miliki.” (H.R. Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah)

3.      Hadits Taqriri, yaitu hadits yang merupakan ketetapan Nabi Muhammad SAW. terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnya. Contoh:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِى بَنِيْ قُرَيْضَةَ (رواه البخاري)

Artinya: “Janganlah seorangpun shalat Ashar, kecuali nanti di Bani Quraidlah.” (H.R. Bukhori)

4.      Hadits Hammi, yaitu hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW yang belum terealisasikan.  Contoh:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ حِيْنَ صَامَ النَّبِيُّ ص.م.يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م.فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ التَّاسِعَ. (رواه أبو داود)

Artinya: “Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, Ketika Nabi SAW berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata,” Ya rasulallah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani’. Rasul SAW kemudian bersabda, Tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan’.” (H.R. Abu Dawud)

5.      Hadits Ahwali, hadits yang berupa hal ihwal Nabi SAW. Hadits yang masuk kategori ini adalah hadits – hadits yang menyangkut sifat – sifat dan kepribadian , serta keadaan fisik Nabi SAW.
 Contoh:

كَانَ النَّبِيُّ ص.م. أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا (متفق عليه)

Artinya: “Nabi SAW adalah orang yang paling baik akhlaqnya.” (H.R. Muttafaq Alaih)

Di samping bentuk – bentuk hadits di atas terdapat lagi satu hadits yang dikenal dengan hadits qudsi. Hadits Qudsi adalah hadits yang berasal dari wahyu Allah, namun redaksinya disusun oleh Nabi Muhammad SAW sendiri. Para ulama mengatakan bahwa hadits qudsi adalah:

مَا يُخْبِرُ اللهُ تَعَالَى بِهِ النَّبِيُّ ص.م. بِالإِلْهَامِ أَوْ بِالْمَنَامِ فَأَخْبَرَ النَّبِيُّ مِنْ ذَلِكَ الْمَعْنَى بِعِبَارَةِنَفْسِهِ
 
Artinya: “Sesuatu yang diberitakan Allah SWT kepada Nabi SAW dengan ilham atau mimpi, kemudian Nabi SAW menyampaikan berita itu dengan ungkapan – ungkapan sendiri.”

Hadits qudsi adalah wahyu yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi, tetapi bukan al-Qur’an. Keberadaannya sama dengan wahyu yang lain, hanya saja redaksi lafadznya adalah dari nabi sendiri. Diantara contoh hadits qudsi adalah:

عن أبي هريرة رضى الله عنه النبي صلى الله عليه وسلم قال: قال الله: ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة رجل أعطى بي ثم غدر ورجل باع حرا فأكل ثمنه ورجل استأجر أجيرا فاستوفى منه ولم يعط أجره. (رواه البخاري وابن ماجه وأحمد)

Artinya: Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Allah SWT berfirman, ‘ada tiga golongan yang Aku menjadi musuh mereka kelak di hari kiyamat. Siapa yang Aku menjadi musuhnya, maka Aku akan menjadi musuhnya. Sesorang yang memberikan (janji) kepada-Ku lalu mengingkari. Seseorang yang menjual orang merdeka, lalu memakan hasil penjualannya. Dan seseorang  yang memperkerjakan karyawan, lalu karyawan itu memenuhi tugasnya, tetapi orang itu tidak memenuhi upahnya’.” (H.R. Bukhari, Ibnu Majah, dan Ahmad) 

Hadits nabawi dan hadits qudsi, keduanya sama – sama bersumber dari Allah SWT. Karena segala sesuatu yang bersumber dari nabi, sumbernya adalah wahyu Allah. Hanya saja, hadits qudsi dinisbatkan kepada Allah, sementara hadits nabawi nisbatnya adalah kepada Nabi Muhammad SAW. 

Semoga bermanfaat...
Allahu a'lam....


Komentar