Membenarkan “Laa Ilaaha Illallah”
Setiap
muslim menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan dunia penting
sebagai penunjang ibadah untuk sampai pada kebahagiaan akhirat. Tidak
dibenarkan seseorang mengejar urusan ukhrawi dengan meninggalkan urusan
duniawi, pun pula sebaliknya mengejar dunia dan mengesampingkan urusan ukhrawi.
Tetapi, untuk menyeimbangkan kedua sisi yang seolah bertolak belakang ini,
bukanlah urusan mudah. Perlu perjuangan dan usaha yang berkelanjutan agar
sampai pada tujuan yang dikehendaki.
Dalam
satu kesempatan saat sekelompok kaum bersama dengan Rasul SAW, beliau pernah
mensabdakan sebuah hadits yang menyatakan tentang persaksian kepada Allah dan
konsekuensinya masuk surga. Rasul bersabda:
حَدَّثَنَا
مُؤَمَّلُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا أَبُو
عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَمَعِي نَفَرٌ مِنْ قَوْمِي فَقَالَ أَبْشِرُوا وَبَشِّرُوا مَنْ وَرَاءَكُمْ
إِنَّهُ مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ صَادِقًا بِهَا دَخَلَ
الْجَنَّةَ فَخَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نُبَشِّرُ النَّاسَ فَاسْتَقْبَلَنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَرَجَعَ بِنَا
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِذَنْ يَتَّكِلَ النَّاسُ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:
(AHMAD - 18772) : Telah menceritakan kepada kami Mu`ammal bin Isma'il Telah
menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah Telah menceritakan kepada kami Abu
Imran Al Jauni dari Abu Bakr bin Musa dari bapaknya ia berkata; Aku mendatangi
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersama beberapa orang dari kaumku, lalu
beliau bersabda: "Bergembiralah kalian, dan sampaikanlah berita gembira
orang-orang yang datang di belakang kalian. Barangsiapa yang bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dengan jujur, maka dia akan
masuk surga." Maka kami pun beranjak dari sisi Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dan memberikan kabar gembira tersebut kepada orang-orang. Kemudian
Umar bin Khattab menemui kami dan membawa kami kembali kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Umar berkata, "Wahai Rasulallah, kalau
begitu nantinya orang-orang pun akan berpangku tangan (tidak berusaha untuk
beramal)?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seketika itu
terdiam. (H.R. Ahmad)
Keterangan
hadits di atas memberi pemahaman bahwa saat sekelompok umat Islam berkumpul
bersama dengan Rasul, beliau mensabdakan bahwa siapa yang bersaksi bahwa tidak
ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan membenarkannya, niscaya ia
masuk surga. Setelah mereka keluar dari majlis, mereka mengabarkan kepada
sahabat lain yang kebetulan tidak hadir di majlis tersebut. Saat Umar bin
Khathab mendengar hal ihwal tersebut, maka beliau menemui dan mengajak mereka
untuk kembali menghadap Rasul. Ada kekhawatiran dalam diri Umar kalau – kalau
mereka hanya bergantung pada dhahir hadits tersebut.
Memang
secara sepintas kalau umat Islam hanya berpegang pada makna dhahirnya, dalam
arti mereka hanya mengucapkan dan meyakini “Laa Ilaaha Illallah”, tanpa
kemudian berperilaku sesuai dengan persaksian itu, boleh jadi banyak orang yang
terjebak hanya dengan mengucapkan lafadz tanpa memahami dan merealisasikannya
dalam bentuk perbuatan nyata. Tentu hal ini sangat berbahaya. Bisa jadi, mereka
beranggapan dengan mengucap kalimah tauhid tersebut tanpa beramal shalih mereka
akan masuk surga. Ini lah yang dikhawatirkan oleh Umar sehingga perlu untuk
melakukan klarifikasi kepada Rasul SAW.
Umar
memang dikenal sebagai seorang yang cerdas dan kritis. Tidak jarang dia
mengajukan pertanyaan kepada Rasul saat merasa apa yang dilakukan oleh Rasul
tidak sesuai dengan keyakinannya. Tetapi, yang perlu diingat bukan berarti Umar
berani menentang Rasul, ia hanya mengajukan klarifikasi sementara keputusan
akhir tetap juga ada pada Rasul yang bersumber pada wahyu Allah. Karena
kecerdasannya, Umar mendapat gelar “Abu Faiz”. Dia juga dikenal sebagai
tokoh sahabat yang menjadi pelopor “ijtihad”.
Saat
memahami hadits tersebut, seyogyanya juga diperhatikan kata “shadiqan biha”
yang merupakan hal dari “man”. Rangkain kalimat tersebut sesungguhnya
menuntut adanya konsekuensi dari persaksian. Tidak hanya sebatas ucapan lisan,
lebih dari itu diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati dan dibuktikan
dengan perbuatan. Dengan meyakininya sesungguhnya menimbulkan konsekuensi untuk
selalu berupaya beramal dengan amal shalih. Amal yang diridlai Allah dan
Rasul-Nya. Tidak mungkin seseorang bersaksi sementara lahirnya tidak
menunjukkan adanya persaksian tersebut. Karenanya sabda Rasul tersebut
sesungguhnya bila dipahami oleh orang yang berilmu tidak akan menimbulkan salah
pemahaman. Sebaliknya bila dipahami oleh orang yang kurang atau bahkan tidak
berilmu, pasti akan menimbulkan ketimpangan.
Sangat
diperlukan mempelajari bahasa Arab dengan semua kaidah – kaidah dan aturan yang
ada di dalamnya. Mengingat bahwa al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber
utama hukum Islam ditulis dengan bahasa Arab. Selain itu banyak disiplin ilmu
lain yang perlu dipelajari agar tidak terjadi kesalah pahaman di tengah –
tengah masyarakat. Karenanya sangat dianjurkan bagi seorang penuntut ilmu untuk
berguru kepada seorang guru, tidak sekadar belajar melalui buku, media masa,
maupun internet. Para ulama salaf mengatakan bahwa barangsiapa belajar tanpa
seorang guru, maka gurunya adalah syaithan.
Persaksian
akan ketuhanan Allah menuntut setiap individu untuk tunduk sepenuhnya kepada
Allah. Tunduk kepada-Nya dengan segala totalitas, bukan setengah – setengah.
Mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Berusaha
dengan sungguh – sungguh secara dhahir bathin untuk memahami dan membuktikan
persaksian ketuhanan Allah. Satu riwayat lain dari Utsman bin Affan
menyebutkan;
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ كِلَاهُمَا عَنْ
إِسْمَعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ
عَنْ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنِي الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ حُمْرَانَ عَنْ
عُثْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
أَبِي بَكْرٍ الْمُقَدَّمِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا
خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ الْوَلِيدِ أَبِي بِشْرٍ قَالَ سَمِعْتُ حُمْرَانَ
يَقُولُ سَمِعْتُ عُثْمَانَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مِثْلَهُ سَوَاءً
Artinya:
(MUSLIM - 38) : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan
Zuhair bin Harb keduanya dari Ismail bin Ibrahim, Abu Bakar berkata, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah dari Khalid dia berkata, telah
menceritakan kepada kami al-Walid bin Muslim dari Humran dari Utsman dia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa meningggal sedangkan dia mengetahui bahwa tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) selain Allah, niscaya dia masuk surga." Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Bakar al-Muqaddami telah menceritakan
kepada kami Bisyr bin al-Mufadldlal telah menceritakan kepada kami Khalid
al-Hadzdza' dari al-Walid Abu Bisyr dia berkata, aku mendengar Humran berkata,
aku mendengar Utsman berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda sama seperti itu." (H.R. Muslim)
Dalam
hadits di atas diterangkan bahwa siapa saja yang mati, sedang dia mengetahui
(meyakini) bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah, niscaya
dia masuk surga. Selalu ada kata yang bertalian dengan persaksian yaitu
meyakini (يعلم)
dalam hadits di atas dan membenarkan (صادقا) pada hadits sebelumnya. Ini
mengisyaratkan bahwa persaksian saja tanpa realisasi belumlah cukup menyelamatkan
dan memasukkan seseorang ke surga. Persaksiaan itu mesti dibuktikan dengan
melakukan amal shalih, meski sesungguhnya yang memasukkan seseorang ke surga
bukanlah amal shalih tersebut, melainkan fadlal dan rahmat dari Allah.
Sebaliknya
siapa saja yang mati sedang ia menyeru kepada selain Allah, niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam neraka. Tempat yang penuh dengan siksaan. Ia akan
dijadikan sebagai kayu bakarnya. Secara tegas, hadits riwayat Imam Bukhari
menyebutkan:
حَدَّثَنَا
عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ شَقِيقٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَلِمَةً وَقُلْتُ أُخْرَى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ وَقُلْتُ أَنَا مَنْ مَاتَ وَهْوَ لَا يَدْعُو
لِلَّهِ نِدًّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Artinya:
(BUKHARI - 4137) : Telah menceritakan kepada kami Abdan dari Abu Hamzah dari Al
A'masy dari Syaqiq dari Abdullah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda
beberapa kalimat yang aku tambahkan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barang siapa yang mati, sedangkan dia menyeru selain Allah
sebagai tandingannya maka dia masuk neraka." Sedangkan aku berkata;
'Barang siapa yang mati dan dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu maka
dia masuk surga.' (H.R. Bukhari)
Semoga Bermanfaat...
Allahu A'lam...
Komentar
Posting Komentar