‘Idul Fithri; Sekadar Refleksi di Hari Kemenangan
Catatan Silaturim di Dalem Mudir Ma’had Al-Jami’ah Dr. KH. Teguh,
M.Ag.
Setelah sebulan lamanya umat muslim di seluruh belahan dunia
menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, tiba saatnya mereka memasuki
hari fitri, hari yang ditunggu-tunggu, yakni ‘Idul Fithri. ‘Idul Fithri tahun
ini jatuh pada Senin, 2 Mei 2022 M, bertepatan dengan 1 Syawal 1443 H. Hari
dimana seluruh umat muslim di berbagai penjuru dunia merasakan kebahagiaan,
setelah sebulan lamanya mereka menahan diri dari lapar, dahaga dan segala
sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya
matahari.
Ditinjau dari sisi bahasa, ‘Idul Fithri berasal dari bahasa Arab, ‘Id artinya kembali dan Al-Fthri artinya suci. Sehingga dari sini bisa dipahami bahwa ‘Idul Fithri artinya adalah kembali kepada kesucian. Pemahaman ini didasarkan pada hadis Nabi saw., “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan (dasar) iman dan (semata) mengharap (Ridha Allah), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Seorang mukmin yang berpuasa dengan dasar iman dan semata mengharap
ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dengan diampuninya
dosa-dosa tersebut, otomatis ia kembali suci sebagaimana bayi yang dilahirkan
tanpa dosa.
Tibanya ‘Idul Fithri juga menunjukkan berakhirnya bulan Ramadhan
dan dimulainya bulan Syawal. Syawal memiliki arti peningkatan. Ini menunjukkan
bahwa semestinya setelah umat muslim sukses dalam menjalankan ibadah puasa,
dengan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya baik dalam keadaan
sendiri maupun bersama yang lainnya.
Judul artikel ini sebenarnya merupakan refleksi dari “petuah” Mudir
Ma’had Al-Jami’ah UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung saat penulis sowan,
silaturahim ke dalemnya. Kebetulan, saat itu bersamaan dengan para asatidz
Madin LP Ma’arif di bawah komando Ustadz kandidat Doktor Suminto, M.Pd.I.
Syawal berarti peningkatan. Sehingga semestinya di bulan ini,
setiap mukmin meningkatkan amal ibadahnya kepada Allah swt. Namun, realitanya
jika dilihat dan diteliti ternyata ibadah,-dalam arti vertical, ternyata ibadah
setiap mukmin justru mengalami “penurunan”. Di bulan Ramadhan, hampir setiap
muslim mengisi waktunya dengan tadarus, shalat tarawih, qiyam lail, puasa dan
berbagai ibadah lainnya, tetapi tidak di bulan Syawal ini.
Realitanya di bulan Syawal, setiap muslim justru semakin merosot
ibadah vertikalnya. Oleh karena itu, maka sebenarnya Syawal itu bukan untuk
menunjuk pada ibadah vertical, tetapi ibadah dalam arti horizontal. Artinya,
keshalihan yang dibentuk bukan lagi keshalihan secara individu, tetapi
keshalihan secara sosial.
Menurut beliau, intisari dari ibadah itu sebenarnya adalah
keshalihan sosial. Keshalihan individu, meskipun itu penting, tetapi hal itu
sebarnya sekadar awal dari keshalihan yang mesti terbentuk dalam pribadi setiap
muslim, yakni keshalihan sosial. Inilah kenapa Rasul bersabda; “Khairunnas
anfa’uhum linnas”, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya.
Pandangan ini tentu sangat beralasan. Di bulan Ramadhan semua umat
muslim digembleng untuk menahan dirinya dari berbagai godaan nafsu. Menahan
diri dari berbagai kepentingan-kepentingan duniawi yang tentunya, intisarinya
adalah untuk berburu “kepuasan pribadi”. Dengan berpuasa ini, mereka dipaksa
untuk merasakan nasib dari fakir miskin dan dhu’afa yang lebih sering menahan
lapar dan dahaga karena memang tidak ada yang bisa mereka gunakan untuk sekadar
“mengganjal” perutnya.
Ritual puasa ini kental sekali dengan nuansa “keshalihan sosial”
bukan individu. Buktinya, puncak dari puasa Ramadhan yang dijalankan adalah
dengan mengeluarkan zakat fithrah yang diwajibkan bagi mereka yang memiliki
keluasan rizki sejak terbenamnya matahari di akhir Ramadhan hingga naiknya
ditunaikannya shalat ‘id. Bahkan, mereka yang puasa sebulan penuh, namun
“enggan” mengeluarkan zakat fithrah, puasanya tidak berarti apa-apa. Lagi-lagi
hal ini menunjukkan bahwa puncak ibadah yang diharapkan sebenarnya adalah
keshalihan sosial bukan keshalihan individu.
Oleh karena itu, di ‘Idul Fithri, ibadah yang paling memungkinkan
meningkat adalah silaturahim. Yakni menyambung tali kasih sayang dengan saling
berkunjung ke rumah sanak saudara, family, kolega, dan siapa saja. Intinya
untuk memupuk kembali rasa persaudaraan yang karena “ego” masing-masing,
terbatasnya waktu dan kesempatan menghalangi seseorang untuk saling bertemu
satu dengan lainnya.
Petuah lain yang disampaikan adalah bahwa dalam kontekstualisasi
falsafah Jawa, Idul Fithri identic dengan istilah lebaran, laburan, luberan,
leburan dan liburan. Istilah-istilah tersebut tidak bisa dipungkiri telah menjadi
tradisi yang mendarah daging dalam diri setiap muslim di Jawa khususnya.
Pertama, tradisi lebaran. Kata ini berasal dari bahasa Jawa “Lebar”,
artinya luas. Ungkapan ini memiliki arti bahwa setelah menjalankan ibadah
puasa, hendaknya setiap muslim memiliki hati yang luas, lapang, bebas dari
belenggu nafsu, dosa dan kemaksiatan. Setelah sebulan lamanya umat muslim
melakukan “pendadaran” dalam kawah candradimuka, yakni puasa dengan menahan
segala seuatu yang membatalkannya, ditambah mengisi setiap waktunya dengan
memperbanyak amal shalih baik yang mahdhah maupun ghairu mahdhah, maka dihari
yang fithri, umat muslim diharapkan bersih hatinya, terbebas dari dosa dan
maksiat, serta dipenuhi dengan keimanan dan ketaqwaan. Pada akhirnya tidak ada
lagi rasa benci, iri, dengki, permusuhan, serta dendam karena saling memaafkan
di hari kemenangan.
Kedua, ‘idul fithri identic dengan tradisi laburan dimana akar
katanya adalah “labur”, artinya mengecat. ‘Idul fithri tidak bisa dilepaskan
dengan tradisi “melabur”, misalnya tembok rumah, pagar rumah dan sebagainya. Intinya
membersihkan lingkungan, menghiasnya agar terlihat indah, elok dan nyaman
dipandang serta ditempati. Setiap menjelang ‘Idul Fithri, kita banyak melihat
masyarakat yang menghiasi rumah mereka, dengan berbagai pernah-pernik supaya
setiap orang yang datang, silaturahim, juga para penghuni rumah khususnya
merasa nyaman dan senang di rumah tersebut. Selain itu, laburan memiliki
filosofi setelah melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh, hendaknya setiap
muslim mampu mendesain hati dan jiwanya yang terwujud dalam laku kesehariannya
yang jauh dari celah kebencian dalam hati, dengan membuang jauh-jauh suudzan
(prasangka buruk) pada sesama serta sifat-sifat tercela lainnya.
Ketiga, tradisi luberan, yang memiliki akar kata “luber”. Luberan bisa
diartikan dengan sikap luman, dermawan, suka berbagi, berempati, dan bersimpati
kepada sesame. Ini menunjukkan sikap keshalihan secara sosial, dimana
keshalihan ini merupakan puncak dari semua bentuk peribadatan seorang mukmin. Kepedulian
ini, juga nampak nyata dengan sikap setiap orang mukmin yang selalu berbagi di ‘Idul
Fithri, menyuguhkan berbagai kue dan makanan di rumah, serta memberikan “sangu”
kepada setiap anak yang datang ke rumah untuk menumbuhkan rasa cinta pada
setiap anak yang berkunjung ke rumahnya. Perwujudan “keluberan” bisa juga
diterjemahkan sebagai bentuk kepedulian kepada sesama manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah swt.
Keempat, tradisi “leburan” yang berakar dari kata “lebur” artinya “nyatu”
(menjadi satu). Dalam perspektif sufi, seorang yang telah digodok di kawah
candradimuko, berupa puasa Ramadhan, dengan mengekang nafsu dan syahwat
keduniawian diharapkan seseorang bisa mencapai puncak dari semua bentuk
peribadatan yakni mencapai penyatuan hamba dengan kekasih sejatinya, Allah swt.
Tetapi, bukan menyatu dalam Dzat-nya, karena ini mustahil, melainkan menyatu
dalam bentuk perwujudan pelaksanaan seluruh perintah dan menjauhi larangan-Nya,
yang dalam redaksi Al-Qur’an diungkapkan dengan “la’allakum tataquun”.
Terakhir yang identic dengan ‘Idul Fitrhri adalah liburan, yang
berasal dari kata “libur” artinya cuti, prei, uthlah, holiday. Di hari ‘Idul
Fithri masyarakat muslim di Nusantara mengisi hari-harinya dengan berlibur
dengan anjangsana, silaturahim ke sanak keluarga, orang tua, kakek-nenek,
kerabat, saudara, teman, tetangga, guru, kyai, kolega, mitra dan sebagainya. Liburan,
bukan sekadar bermakan tamasya, rekreasi ke pantai, atau tempat-tempat rekreasi
lainnya, namun liburan memiliki nilai spiritual dengan kembali membangun
jaringan serta simpul-simpul spiritualitas yang renggang akibat kesibukan
sehari-hari dalam mencari kebutuhan hidup.
Di Indonesia, tradisi-tradisi semacam ini telah mengakar kuat dalam
diri setiap muslim, tinggal bagaimana setiap orang memahaminya, tidak secara
lahir semata atau sekadar tradisi yang telah berjalan secara turun temurun,
tetapi lebih dari itu mereka bisa bisa memahami esensi dan substansinya
sehingga bisa tercapai tujuan yang sesungguhnya, menjadi seorang muslim dan
mukmin kamil mukammil. Sebagai hamba yang memiliki kewajiban sebagai khalifah
fi al-ardhi yang mesti memanfaatkan semua potensi yang dimilikinya dalam rangka
merealisasikan “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali agar
mereka semua menyembah-Ku.” Allahu A’lam.
alhamdulillah mendapat ilmu baru dari kisah inspiratif
BalasHapusAlhamdulillah, betul nduk. Terima kasih nduk sudah mampir di blog sederhana ini. Salam ke temen2 semua. Silahkan beri masukan, catatan, atau komentar yang bisa dijadikan bahan perbaikan, atau mungkin bahan menulis catatan selanjutnya!
Hapus