Keluasan Rahmat Allah
Islam datang sebagai rahmat bagi semua penghuni alam, yakni sesuatu
selain-Nya. Rahmat ini tentunya tidak terbatas pada makhluk bernama manusia. Lebih
dari itu, rahmat ini berlaku bagi semua makhluk, baik binatang, tumbuhan,
bangsa jin, manusia dan selainnya. Dari semua makhluk ciptaan tersebut, agaknya
“manusia” lah yang memiliki kedudukan paling istimewa, bahkan Al-Qur’an
menyebutnya sebagai, Ahsani Al-Taqwiim, sebaik-baiknya bentuk.
Sebagai makhluk terbaik, tentu manusia juga dibekali dengan “potensi” yang lebih dari yang lain. Dari sisi fisiknya, manusia memiliki rupa yang “elok”. Ia juga dibekali dengan akal, pikiran dan hati yang dengannya, manusia berpotensi menjadi “khalifah di bumi”. Meski dibekali dengan berbagai potensi yang istimewa, ada sebagian orang yang bersyukur, sehingga memanfaatkan semua potensi tersebut dengan baik, sesuai dengan kehendak-Nya, namun sebagian lainnya, justru menggunakan potensi tersebut sekadar memburu “kesenangan sesaat”. Akibatnya, ia terjerumus pada berbagai bentuk kemaksiatan yang menjerumuskannya pada lembah penyesalan.
Berbagai bentuk kemaksiatan itu, bisa jadi timbul oleh karena
memang seseorang belum bisa membedakan antara yang baik dan buruk, belum tahu
mana yang dihalalkan secara syar’i dan apa saja yang diharamkannya. Besar juga
kemungkinan karena “Islam dan Iman” belum ada dalam dirinya.
Meski “Islam dan Iman” belum ada dalam diri seseorang pada satu
masa, namun ini tidak bisa dijadikan “patokan” bahwa orang tersebut adalah para
calon penghuni neraka. Kemaksiatan dan kemungkaran yang dilakukan oleh
seseorang tidak serta merta, “menghalalkan” seorang yang secara dhahir “shalih”,
untuk melakukan “justifikasi” bahwa pelakunya sesat dan penghuni neraka. Tetapi,
kemaksiatan dan kemungkaran yang dilakukan seseorang yang tampak di mata
seorang shalih, sebenarnya merupakan bentuk “peringatan” bahwa ada “tugas berat”
yang diembannya, yakni menyeru, mengajak dan menunjukkan “jalan kebenaran”
kepada pelakunya, bukan mengecam dan melaknatinya.
Sikap inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw saat menjumpai
orang-orang yang berbuat maksiat. Bahkan, masyhur dalam sejarah seorang
pengemis buta Yahudi di ujung pasar Madinah, yang selalu mencemooh dan menghina
Rasul, selalu dirahmatinya. Beliau selalu menyuapinya dengan penuh kasih
sayang, tanpa memperkenalkan siapa “jati dirinya” hingga beliau wafat. Ini menunjukkan
betapa lembutnya hati nabi yang dipenuhi dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.
Begitu halnya dengan rahmat Allah. Rahmat itu sangat luas, bahkan
rahmat-Nya mendahului “ghadhab”-Nya. Dia masih tetap menerima taubat dari
hamba-Nya, manakala hamba tersebut mau menyesali dan memohon ampunan-Nya.
Bahkan keluasan rahmat-Nya, tergambar dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri,
bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
إذا
أسلم العبد فحسن إسلامه كتب الله له كل حسنة كان أزلفها، ومحيت عنه كل سيئة كان
أزلفها، ثم كان بعد ذلك القصاص، الحسنة بعشرة أمثالها إلى سبعمائة ضعف، والسيئة
بمثلها إلا أن يتجاوز الله عز وجل عنها.
Artinya: Apabila seorang hamba masuk Islam
dan bagus Islamnya, niscaya Allah menentukan baginya setiap kebaikan yang telah
dikerjakannya dan dihapus darinya setiap kejahatan yang telah dilakukannya. Kemudian
setelah itu qishash. Satu kebaikan (akan dibalas) dengan sepuluh kali lipat
hingga tujuh ratus kali lipat. Sedangkan satu keburukan akan dibalas dengan
semisalnya, kecuali Allah Azza wa Jalla mengampuninya.” (HR. Al-Bukhari dan
Al-Nasa’i).
Hadis ini memberi informasi bahwa ternyata
rahmat Allah begitu luasnya, bahkan ketika seseorang melakukan berbagai
kesalahan dan kemaksiatan di masa “Islam dan Iman” belum ada di hatinya, begitu
ia telah masuk Islam, semua kesalahan dan kemaksiatan tersebut terhapus,
sehingga ia kembali bagaikan orang yang baru terlahir tanpa noda dosa. Yang
lebih mengagumkan lagi, kebaikan yang pernah dikakukannya, dihitung sebagai
kebaikannya, manakalai keislamannya baik.
Setelah keislamannya, maka berlakulah qishash.
Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat sampai tujuhratus kali lipat. Sedangkan
keburukan akan dibalas sepadan dengannya, kecuali jika Allah mengampuninya. Intinya,
rahmat Allah begitu luas kepada hamba-Nya. Dalam hal kebaikan yang dilakukan
hamba-Nya, Dia melipatgandakan pahalanya, namun jika menemukan keburukan, ia
membalasnya sepadan dengan keburukan yang dilakukan. Bahkan, jika keburukan
tersebut masih bisa dimaafkan, Dia pun tidak enggan untuk memberi ampunan.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi
seseorang menutup hatinya dari “pengharapan” kepada-Nya. Berharap agar ia tetap
diakui sebagai hamba-Nya, meskipun dosa dan maksiat seolah memenuhi “jagat raya”.
Namun, bukan berarti pula seorang hamba tetap berjalan pada “kemaksiatan”
sembari mengharap ampunan dari-Nya, tanpa berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi
dan meninggalkannya.
Komentar
Posting Komentar