Al-Islaam Ya’luu Walaa Yu’laa
Agama Islam pertama kali datang di Makkah, setelah Rasulullah saw
resmi diangkat sebagai nabi dan Rasul. Hal ini ditandai dengan wahyu yang
diturunkan kepadanya sekaligus perintah Allah swt agar memberikan peringatan
dan menyeru penduduk Makkah untuk kembali pada jalan kebenaran, yakni kembali
mengesakan Allah swt sebagai satu-satunya Rab yang wajib disembah. Disamping itu,
risalah ini juga menuntut adanya kesetaraan antara sesama manusia baik di dalam
kehidupan sosial, hukum terlebih di hadapan Allah swt. Satu-satunya patokan
yang dijadikan sebagai “tolok ukur” kemuliaan adalah tingkat “ketaqwaan”.
Namun, kemunculan Islam sebagai agama yang dianggap sebagai “agama baru” oleh masyarakat Arab ditambah dengan semangat “kesetaraan” yang diusungnya, tentu membuat orang-orang yang telah menduduki titik “nyaman” dalam kehidupannya, baik secara adat, system, dan sebagainya merasa risih, bahkan menolak. Penolakan tersebut, tidak saja dalam bentuk “pemikiran”. Lebih dari itu, umat Islam periode awal, dicemooh, dikucilkan, bahkan mengalami penindasan baik secara psikis, maupun fisik. Bahkan sebagian diantaranya gugur sebagai “syahid” untuk mempertahankan “keyakinan” yang dimilikinya.
Tekanan ini memaksa Nabi beserta para pengikutnya untuk “hijrah”. Tercatat
dalam sejarah, umat Islam pernah hijrah ke Ethiopia (Habsyah) dua kali, ke
Thaif dan terakhir ke Madinah (Yatsrib sebelum hijrah Nabi). Di kota terakhir
inilah, Islam diterima dengan baik dan pada akhirnya bisa tersebar ke berbagai
daerah di wilayah Arab.
Puncak keberhasilan dakwah risalah Nabi adalah saat ditundukkannya
kota Makkah, dalam peristiwa yang dikenal dengan “Fathu Makkah”, penaklukan
kota Makkah. Pada peristiwa fathu Makkah ini, terdapat satu riwayat hadis dari
Aidz bin Amr, ia berkata:
أنه
جاء يوم الفتح مع أبي سفيان ابن حرب ورسو ل الله صلى الله عليه وسلم حوله أصحابه،
فقالوا: هذا أبو سفيان وعائذ ابن عمرو. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: هذا
عائذ ابن عمرو وأبو سفيان، الإسلام أعز من ذلك، الإسلام يعلو ولا يعلى. (رواه
الدار قطني)
Artinya: “Bahwa sesungguhnya dia datang
pada hari Fath (penaklukan kota Makkah) bersama dengan Abu Sufyan bin Harb dan
Rasulullah saw dikelilingi para sahabatnya, mereka berkata, ‘Ini Abu Sufyan dan
Aidz bin Amr.’ Maka beliau bersabda, ‘Inilah Aidz bin Amr dan Abu Sufyan. Islam
lebih mulia dari yang demikian, Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih
tinggi (darinya).’” (HR. Al-Daruquthni).
Hadis ini menjadi dasar bagi umat Islam, bahwa
jabatan, kedudukan, kehormatan dan semacamnya tidak bisa disepadankan dengan
Islam. Betapapun kemuliaan yang dimiliki seseorang, kepemilikannya terhadap
banyaknya harta, tingginya jabatan dan struktur sosial yang dimiliki seseorang
di tengah masyarakatnya, hal itu tidaklah sebanding jika disejajarkan dengan “Islam”,
sebagai agama mulia di sisi-Nya.
Melalui hadis ini pula, diperoleh informasi
bahwa “keislaman” seseorang menjadi patokan bagi kemuliaannya. Seberapa tingkat
keyakinan, kepatuhan, dan kesungguhannya dalam ber-“Islam”, akan menjadi
penentu baginya dalam status kemuliaan. Oleh sebab itu, umat Islam sudah
semestinya lebih mendahulukan yang “muslim” daripada “non muslim”, tentunya
dalam pemenuhan berbagai hak yang semestinya mereka dapatkan.
Hal ini, bukan berarti memarginalkan mereka
yang “non muslim”, akan tetapi dalam hal-hal tertentu, misalkan dalam hal
bersedekah, jika ada umat muslim yang membutuhkan, sebaiknya muslim dulu yang
diutamakan. Ini sebagai contoh sederhananya. Akan tetapi dalam kehidupan
bermasyarakat, tentunya prinsip “kesetaraan”, “keadilan”, tetap harus dijaga
dan dipertahankan, selama non muslim tidak mengibarkan bendera “permusuhan”. Ini
sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an, Surat Al-Mumtahanah (60); 8-9.
Namun tidak jarang, sebagian orang muslim
menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa Islam menjadi yang paling tinggi dan
tidak ada yang lebih tinggi darinya dalam semua aspek kehidupan. Islam sebagai
agama yang paling tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya, tentu sebagai
seorang muslim, kita meyakininya. Namun, dari sisi yang lain kita perlu untuk
melakukan “perenungan pula” sebagai bentuk introspeksi diri agar tidak
terjerembab dalam jurang “kehancuran”.
Sederhana saja, misalnya dalam hal teknologi
informasi. Mau tidak mau, suka maupun tidak suka, kita tetap harus mengakui
bahwa sebagain non muslim memiliki kemampuan lebih. Ini bukan berarti
merendahkan Islam sebagai agama tidak, tetapi kita menempatkan segala sesuatu
pada tempatnya secara proporsional. Dengan mau melihat kekurangan pada diri
masing-masing, bukan berarti merendahkan diri, justru dari situ kita bisa
mengambil sisi positifnya, mempelajarinya dengan baik, untuk kemudian dijadikan
sebagai piranti untuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitasnya. Bukankah
karakter dari ilmu itu tidak bisa lepas dari “tradisi kelisanan dan keaksaraan”
dari generasi ke generasi sebelumnya?
Sepakat. Kita harus objektif-proporsional.
BalasHapusBetul prof. terkadang ada beberapa orang yang saklek dalam memahami teks hadis ini, sehingga memaksakan pemahaman "tinggi" ini secara general dalam semua aspek. Terima kasih prof.
Hapus