Didalam al Qur’an Allah SWT berfirman, “Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang – orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(Q.S. al Nur;31). Ayat ini menyeru kepada semua umat muslim yang beriman
agar bertaubat kepada Allah SWT.
Kata taubat berasal dari Bahasa Arab Taaba Yatuubu yang artinya
kembali. Secara istilah, taubat berarti kembali dari sesuatu yang dicela oleh
agama kepada sesuatu yang terpuji. Kata taubat digunakan untuk orang yang
kembali dari jalan yang tidak diridlai oleh Allah kepada jalan yang
diridlaiNya.
Setiap anak cucu Adam pernah melakukan kesalahan, dan sebaik baik
yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau kembali kepada Allah SWT.
Berbuat kesalahan adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi oleh karena manusia
diciptakan dengan dibekali nafsu ddan akal. Nafsu cenderung mengajak kepada
sesuatu yang bersifat negative dan menyimpang. Disisi lain akal diciptakan
sebagai alat untuk mengendalikan nafsu agar tidak selalu berbuat hal yang
menyimpang. Oleh karenanya Allah memberi potensi kepada akal berupa kemampuan
untuk menyerap ilmu yang dengan ilmu tersebut manusia bisa membedakan antara
kebaikan dan keburukan, halal dan haram, perintah dan larangan. Akan tetapi
Allah juga memberikan sifat lupa pada manusia. Sifat lupa penting bagi manusia
agar memori – memori buruk bisa di lupakan dan tidak menjadi momok yang
menakutkan sehingga tidak menjadi trauma yang berkepanjangan. Semua hal
tersebut saling berkelindan dalam diri manusia sehingga terkadang seseorang
mampu menjadi orang yang taat dan patuh kepada Allah namun disisi lain ada
kemungkinan juga baginya untuk berbuat sesuatu yang melanggar dan keluar dari
syariat yang telah digariskan dan ditentukan oleh Allah SWT.
Oleh karena berbuat salah dan lalai adalah sesuatu yang bersifat
manusiawi, Allah memberikan kasih sayangNya kepada manusia dengan membuka pintu
taubat selebar – lebarnya bagi setiap orang yang melakukan kesalahan. Rahmat
Allah mendahului ghadzabNya. Pintu taubat akan selalu terbuka bagi siapa saja
yang mau bersungguh – sungguh mendekat dan bertaubat atas segala dosa dan
kesalahan yang dilakukan. Allah menjanjikan keberuntungan bagi mereka yang mau
bertaubat kepadaNya. Ia akan menerima setiap taubat hamba selama nyawa belum
sampai pada tenggorokan.
Akan tetapi taubat yang diterima oleh Allah hanyalah taubat yang
dilakukan secara sungguh – sungguh bukan taubat yang hanya sebatas lisan atau
penyesalan yang bersifat sementara belaka. Taubat yang murni danbersih dari
kotoran dan tidak tergantung pada sesuatu itu dalam istilah syara’ dikenal
dengan nama taubat nasuha.
Taubat nasuha yang dilakukan dengan sungguh – sungguh tanpa ada
tendensi dan keterpaksaan inilah yang nantinya akan mengantarkan pelakunya pada
keberuntungan. Allah akan memberikan surge beserta kenikmatan didalamnya bagi
mereka yang mau bertaubat dengan taubat nasuha.
Taubat dikatan sebagai taubat nasuha apabila memenuhi syarat –
syarat berikut: 1) Menyesali kealahan yang telah dilakukan, 2) Menjauhi dosa
dalam setiap saat dan keadaan, 3) Berjanji tidak akan mengulangi dosa dan
kesalahan yang telah lalu. Tiga syarat ini terdapat dalam kitab al Ghunyah
karya Syaikh Abdul Qadir al Jailani.
Pertama, menyesali
kesalahan yang telah dilakukan adalah syarat bagi seseorang yang bertaubat
kepada Allah. Seorang yang bertaubat tidak mungkin tidak menyesal terhadap
kesalahan yang dilakukan. Orang yang tidak pernah menyesal terhadap kesalahan
yang dilakukan berarti dia bukanlah orang yang bertaubat. Dalam hadis yang
diriwayatkan Ibnu Majah disebutkan; “Penyesalan itu taubat”. Tanda penyesalan
yang benar adalah hatinya lembut dan mudah meneteskan air mata karena khauf
kepada Allah SWT.
Kedua, menjauhi dosa
dalam setiap saat dan keadaan. Barangsiapa yang bertaubat dengan taubat nasuha,
maka ia akan meninggalkan dosa dalam setiap waktunya baik dalam keadaan luang
maupun terpaksa. Ia akan berusaha dalam setiap pagi, siang dan petang untuk
selalu meninggalkan dosa – dosa yang bisa menjauhkannya dari Allah SWT.
Ketiga, berjanji tidak
akan mengulangi kesalahan dan dosa yang telah lalu. Taubat nasuha menuntut
seseorang untuk berjanji tidak mengulang kesalahan dan dosa serupa. Mengulang
dosa serupa setelah berikrar untuk taubat darinya adalah sebuah kebodohan yang
besar. Oleh karena seorang yang bertaubat nasuha akan selalu berusaha
menghindarkan diri dari setiap dosa terlebih dosa yang pernah dilakukannya.
Penyesalan akan membentuk tekad, yaitu tekad auntuk tidak mengulangi kesalahan
yang telah lalu. Dia telah tahu bahwa kemaksiatan itu telah menghalangi antara
dia dengan Allah SWT. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Sesungguhnya seseorang
itu diharamkan dari rizki yang banyak disebabkan dosa yang dilakukannya.” (H.R.
Ahmad). Dalam hadis lain disebutkan pula, “Sesungguhnya perbuatan zina
itu menyebabkan kefakiran.” (H.R. Ibnu Adi).
Salah seorang ahli ma’rifat
berkata, “Jika kamu melihat ada perubahan, kesempitan, kesulitan
dalam rezeki, dan kekacauan, maka ketauhilah bahwa kamu telah meninggalkan
perintah Tuhanmu dan mengikuti hawa nafsumu. Ketauhilah jika ada pihak yang
menganiaya kamu dalam diri, harta, istri dan anak, maka tandanya kamu telah
melakukan sesuatu yang dilarang, kamu tidak memberikan hak orang lain,
melampaui batas, dan melakukan pelanggaran. Jika kamu dirundung kesedihan
dihati, ketauhilah bahwa kamu sedang menolak ketetapan Tuhanmu, kamu
berprasangka buruk kepadaNya, menyekutukanNya dengan makhluk dalam urusanNya.
Jika orang mengetahui hal ini dan menyadarinya, tentu dia akan bertaubat dan
menyesalinya.
Menyesal adalah merasa sedih hati setelah berpisah dengan kekasih.
Kesedihan dan tangisan itu menjadi panjang dan sulit diungkapkan dengan kata –
kata. Kekasih yang dimaksud dalam pertaubatan nasuha ini adalah Allah SWT dan
Rasulullah SAW yang senantiasa dirindukan oleh setiap hati orang yang beriman.
Semoga Allah memberkan hidayahNya kepada kita, memberikan kemampuan kepada kita
untuk bertaubat dengan taubatan nasuha. Semoga kita dipertemukan dengan baginda
agung Rasulullah Muhammad SAW, dikumpulkan bersama dengannya, para kekasihnya
di surga Allah SWT. Amin…
Komentar
Posting Komentar