"Ngempet"

 

"Ngempet"

 


“Lamun huwus kalah Nuswantara isun amukti palapa, Lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti palapa.

Sumpah Palapa yang sangat terkenal diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada ini, menjadi salah satu bagian terpenting dalam mencapai kejayaan Majapahit. Maka, bangsa yang besar adalah bangsa yang di dalamnya diisi oleh orang-orang yang rela mengabaikan duniawi, tapi mengagungkan spiritualitas.” Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. (Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

Indonesia sebagai sebuah bangsa, memiliki sisi historis yang tak akan pernah terlupakan dalam sejarah peradaban dunia. Bangsa dengan bentang alamnya yang indah, strategis, dikelilingi dengan perairan yang begitu luas. Alamnya yang kaya dengan hasil buminya, membuat Indonesia menjadi satu-satunya Negara yang paling diminati setiap orang di belahan dunia manapun untuk bisa tinggal menetap disana.

Dilihat dari sisi capaian yang pernah diukir dalam sejarah peradaban dunia, bangsa ini memiliki sejarah yang tidak bisa dianggap ‘remeh’ oleh siapapun. Di bumi nuswantara ini, pernah berdiri kerajaan besar yang kekuasaannya sampai ke manca Negara di era sekarang ini. Malaysia, Singapura, dan beberapa wilayah lain di Asia Tenggara. Kerajaan itu adalah Majapahit. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara dari Singasari yang digulingkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri.

Tokoh paling melegenda dibalik kejayaan Majapahit adalah Mahapatih Gajah Mada. Dialah sosok yang berhasil menyatukan bumi nuswantara ke dalam satu pemerintahan di bawah kerajaan Majapahit. Sumpahnya yang sangat terkenal adalah “Sumpah Palapa”.

Ramadhan ini, Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. kembali membuat “Quote Ramadhan”. Mengawali Quote Ramadhan tahun ini, beliau mengangkat “sumpah puasa”. Quote yang terilhami dari “sumpah palapa” yang diucapkan sekian ratus tahun yang silam.

Sisi paling penting yang perlu diungkap adalah bahwa sumpah tersebut merupakan wujud dari “puasa”, dimana makna harfiyahnya adalah menahan, atau dalam bahasa Jawa artinya “ngempet”. Tentu, jika ditelusuri hal ini sangat menarik untuk dibincangkan.

Secara harfiyah makna puasa adalah menahan. Sedang jika dikaitkan dengan istilah agama, puasa diartikan sebagai menahan diri segala sesuatu yang membatalkannya mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sebagaimana di bulan Ramadhan ini, umat muslim menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa, baik makan, minum, maupun yang lainnya sampai terbenamnya matahari, yakni saat tiba waktu Maghrib.

Saat puasa, seorang yang menjalankan puasa, seperti apapun rasa keinginannya pada sesuatu, namun ia tetap “menahan”-nya demi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Proses “menahan” ini, tidak akan bisa dilakukan kecuali jika di dalamnya terdapat dorongan kuat atas “komitmen” yang telah diucapkan. Dorongan kuat dari dalam inilah yang di era sekarang lebih populer dikenal dengan nama “spiritualitas”.

Kata kuncinya, spiritual itu, “ngempet”. Artinya, orang yang mengedepankan sisi spiritualnya, cenderung lebih banyak “ngempet”, menahan diri dari hiruk-pikuk dunia. Dalam arti tidak banyak terpengaruh dan berorientasi pada “kesenangan duniawi”, yang seringkali menyebabkan seseorang terjebak dalam kehidupan “glamor”, berhura-hura dan hanya menuruti keinginan nafsu dan syahwatnya.

Kejayaan Majapahit hingga mampu menundukkan wilayah yang begitu luas membentang, bukan saja Sabang sampai Merauke, bahkan sampai di manca nagari, bisa terwujud karena adanya sisi “spiritualitas” yang tinggi dari sosok Mahapatih “Gajah Mada”. Dimana seorang Mahapatih merupakan seorang yang menjadi “pengejawantahan” raja, sebagai orang kepercayaan yang dipercaya menangani urusan kerajaan.

Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. dalam hal ini, mengkaitkan sikap “spiritualitas” dengan capaian kinerja, yang berujung pada “kejayaan”. Bahwa, bangsa yang besar mesti diisi oleh orang-orang yang rela mengabaikan sisi “duniawi” dan lebih mengagungkan sisi “spiritualitas”. Artinya, jika sebuah Negara ingin menjadi bangsa maju dan jaya, diperlukan orang-orang yang rela mengorbankan kepentingan “pribadi” untuk melakukan kerja-kerja “besar” demi ketercapaian tujuan.

Jika orang-orang yang bekerja di Negara tersebut, hanya mengedepankan “ego” dan “kepentingan” diri, atau kelompoknya masing-masing. Saling berburu “keuntungan materi” untuk mengisi kantong dan perut masing-masing, maka otomatis, hal ini hanya berujung pada kehancuran Negara tersebut.

Orang yang hanya bekerja mementingkan keuntungan pribadi, tidak akan pernah berpikir tentang apa yang diberikannya untuk bangsa dan negaranya. Sebaliknya, pikirannya hanya mencari dan meraih keuntungan. Apa yang bisa diperolehnya dari Negara, bahkan kadang-kadang melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan (sebut saja, korupsi, kolusi, nepotisme dan sejenisnya) demi “keuntungan” dan “kepentingan”-nya.

Untuk menjadi bangsa yang besar, dibutuhkan orang-orang yang lebih mengedapankan “spiritualitas”-nya  dari pada berburu “kepentingan”. Siap berkorban dan bekerja keras untuk melaksanakan “tanggung jawab” yang diembannya, bukan sekadar melakukan ritual “kerja” semata.

Pesan Quote ini, sebenarnya juga berlaku pada siapapun yang ingin mencapai kesuksesan dalam hidupnya, bukan sekadar berlaku bagi Negara. Manusia sebagai individu, sejatinya adalah “jagad kecil” dan “miniature Negara” dimana komponennya adalah semua anggota tubuh. Kesuksesan seseorang bisa diperoleh manakala ia mampu mengendalikan dirinya, “ngempet” dari sesuatu yang bisa jadi merupakan “ujian hidup” dalam anak tangga kehidupannya.

Untuk menjadi “sukses”, seorang membutuhkan banyak pengorbanan dan menahan diri untuk bersenang-senang di tahap kehidupan awalnya. Seorang pelajar misalnya, jika ia ingin menyelesaikan studinya dan lulus tepat waktu, mestinya ia rela untuk mengorbankan sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengikuti semua aturan sekolah dengan baik, demikian halnya yang kuliah.

Kesenangan hidup di awal tangga kehidupan, sebisa mungkin untuk ditahan terlebih dahulu. Kesenangan ini, lebih banyak, layaknya orang “kesandung emas”. Tiba-tiba dapat rejeki banyak, namun belum buah atau hasil dari kerja keras yang dilakukan. Hasil kerja keras yang dilakukan umumnya ditemukan seseorang pada paruh akhir dari kehidupannya, sehingga jika tidak diwaspadai “kesenangan awal” ini, jika terus dituruti, bisa jadi merupakan awal dari “keterpurukan hidup” di masa kemudian.

Sekali lagi kuncinya adalah “spiritualitas”, kemauan diri untuk menaham diri, “ngempet” dari hal-hal duniawi, dengan mengedepankan sisi ukhrawi. Dengan begitu, In syaa Allah, kebahagiaan hakiki dalam kehidupan, baik di dunia, terlebih di akhirat akan bisa didapatkan. Allahu A’lam.

Komentar