Mawas Diri

 

Mawas Diri



Saring, Sarung, dan Sharing

Pada dasarnya manusia memiliki watak ingin tahu dan memberitahu. Keingintahuan itu terus menerus mendorong manusia berusaha mencari informasi terkait dengan data atau fakta. Setelah melalui pemilihan informasi yang berserakan (saring), akhirnya tersimpan dalam pengetahuannya (sarung), kemudian sebagai makhluk sosial manusia berusaha mentransformasikan kepada yang lain (sharing). Akan tetapi proses transformasi antara satu dengan yang lain sering menimbulkan reduksi-reduksi. Semakin panjang rantai transformasi itu, jauh dari data atau fakta sesungguhnya, bahkan dalam tingkat yang akut telah terjadi hoak. Maka setiap informasi apapun harus dirunut mulai faktanya, jangan ditelan mentah-mentah. (Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag.)

Salah satu diantara keistimewaan manusia adalah ia diciptakan dengan potensi nafsu dan akal yang ada pada dirinya. Dengan nafsu manusia memiliki keinginan-keinginan yang dengannya, ia memiliki sifat dinamis, mengetahui berbagai hal dan memiliki ambisi untuk memperoleh satu capaian.

Nafsu tidak bisa dihilangkan dari dalam diri manusia. Sepanjang seseorang hidup, nafsu ini tetap ada. Hanya saja setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengendalikan serta cara pensikapannya pun juga beragam. Ada sebagian orang yang selalu menuruti keinginan nafsunya, dan justru ini yang paling banyak menerpa umumnya orang. Sebagian lain memilih untuk mengendalikannya dengan maksud untuk meraih hal yang lebih dalam perspektif nilai yang diyakininya.

Sementara potensi akal diberikan kepada manusia agar dengannya, ia bisa mengambil keputusan-keputusan tepat, yang dengannya, ia bisa meraih “kemulian” hidup. Dengan potensi akalnya, manusia bisa membedakan mana yang baik dan buruk, antara yang penting dan tidak, bermanfaat maupun yang madharat.

Kedua potensi ini, sebenarnya merupakan perangkat yang harus dimanfaatkan oleh manusia secara maksimal. Nafsu memberi dorongan untuk terus berkembang, sementara akal menjadi kekuatan penyeimbangnya, agar manusia tidak semaunya bertindak untuk meraih tujuan yang diinginkannya. Akal menjadi “dewan pertimbangan” bagi nafsu agar dalam meraih tujuan serta keinginan tetap berada dalam “koridor yang benar”, tidak menyimpang.

Kedua potensi ini pula yang menjadi piranti bagi manusia untuk melakukan pemilahan pada berbagai informasi yang bertebaran di sekelilingnya. Berbagai informasi yang bertebaran tersebut menjadi “cikal bakal” dari pengetahuan, data, dan ilmu pengetahuan. Pemanfaatan dan pendayagunaan yang tepat dan maksimal akan mennghasilkan hasil yang maksimal pula. Sebaliknya, jika proses pemanfaatan dan pendayagunaannya tidak maksimal, tentu hasilnya pun kurang atau bahkan tidak maksimal. Terlebih jika ada “kepentingan-kepentingan” yang tidak dibenarkan.

Berbagai informasi, data, dan fakta yang diterima oleh seseorang, akan diproses sesuai dengan “kapasitas” kemampuan akalnya. Hal ini tentu akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda antara kepala satu dengan kepala lainnya. Karena “kapasitas kemampuan”-nya berbeda dalam mengolah berbagai informasi, data, dan fakta yang diperolehnya.

Perbedaan kesimpulan akhir setiap orang sebenarnya tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah manakala semua data tersebut lantas dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Ini, rentan pada adanya “hoaks”, berita yang bukan sebagaimana faktanya. Akibatnya, bisa berujung pada “kericuhan dan chaos” dalam kehidupan sosial.

Dalam mensikapi hal inilah, penting bagi setiap orang untuk selalu “mawas diri”. Melakukan “kroscek” pada setiap data dan informasi yang ditemui. Jangan menerima informasi mentah-mentah saja, tanpa melakukan klarifikasi untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari setiap informasi, data, dan fenomena yang terjadi. Proses inilah yang nantinya akan mendewasakan seseorang, sehingga ia menjadi seorang yang lebih arif, bijak, matang dan siap menghadapi “pertarungan” dalam kejamnya kehidupan.

Komentar