Mensikapi “Riuh Canda” Anak-anak di Tempat Ibadah

 

Mensikapi “Riuh Canda” Anak-anak di Tempat Ibadah



“Lagian, yang namanya anak kecil ya wajar bermain. Kalian itu kok gemarnya nyalahin orang lain apalagi anak-anak. Kamu gak khusyuk itu ya karena kualitasmu memang belum bisa salat khusyuk. Itu problem kalian. Lha kok yang disalahkan anak-anak. Kalau kalian memang punya kualitas khusyuk, mau anak-anak jungkir jempalik, ya tetap saja salat kalian khusyuk.” Gus Baha’

Pagi-pagi menemukan petuah berharga “kyai Baha’uddin Nur Salim”, yang akrab disapa “Gus Baha”. Kurang lebih sebagaimana tertulis di atas tersebut. Fenomena yang sering kita jumpai dalam kehidupan masyarakat.

Ya, acapkali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, saat kita berada di masjid, mushalla maupun kegiatan masyarakat lainnya, banyak anak-anak yang dianggap membuat “kegaduhan” dengan senda gurau dan bermain bersama dengan temannya yang lain. Umumnya orang, menganggap bahwa anak-anak ini menyebabkan ibadahnya terganggu sehingga tidak bisa “khusyu’”. Tentunya, ujungnya ibadah mereka “menurut mereka” tidak akan diterima.

Menyikapi hal itu, tidak jarang sebagian orang memperingatkan mereka supaya tidak ramai dan membuat gaduh. Sayangnya, sebagian orang melakukan cara-cara yang bisa menyebabkan anak-anak merasa “takut, terancam, bahkan trauma” dengan hal tersebut. Parahnya lagi, mereka takut ke “masjid, mushalla, madrasah, jam’iyyah” maupun tempat lain dimana mereka diperingatkan dengan cara-cara tersebut.

Anak-anak bukanlah “miniature orang dewasa”. Mereka memiliki dunia yang berbeda dengan dunia “orang dewasa”. Semestinya sebagai “orang dewasa”, kita bisa memahami mereka, bukan memaksakan mereka menjadi “kita”. Dunia anak-anak adalah bermain, karena itulah mereka dikatakan belum “baligh”, belum “mumayyiz”, yakni belum bisa membedakan mana yang baik dan buruk.

Jika demikian, maka sebenarnya sangat “wajar” jika kita menjumpai “anak-anak” yang bermain-main sesuka hatinya tanpa peduli dimana mereka berada. Yang ada dalam pikirannya adalah “main, main dan terus bermain”. Intinya, hatinya riang, senang, tanpa beban.

Cara belajar anak pun berbeda dengan orang dewasa. Jika orang dewasa mereka membutuhkan waktu khusus, “sunyi, tenang”, tanpa gangguan dari luar,-tergantung tipe belajarnya, tidak dengan anak-anak. Anak-anak membutuhkan banyak rangsangan dari luar untuk mengenali berbagai informasi yang mereka terima, pun pula untuk memberikan reaksi dan menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka temukan. Tidak jarang, mereka melakukan “reaksi” mempertahankan diri dengan mengambil langkah “sesuai seleranya” saat mereka merasa terancam. Bisa jadi dengan “marah, berteriak, menangis, takut, minder dan sebagainya.”

Nah, lantas muncul pertanyaan, “Apakah kita membiarkan mereka bebas, sebebas-bebasnya?”, tentu tidak jawabnya. Mendidik anak itu ibarat bermain “layang-layang”. Adakalanya kapan kita menarik benang, mengulurnya agar ia bisa terbang tinggi ke atas awan.

Dalam kasus di tempat ibadah misalnya, baik di masjid, mushalla, jam’iyyah dan sebagainya yang mesti kita lakukan adalah bagaimana caranya agar mereka merasa senang, nyaman, dan pada akhirnya merasa “kangen” dengan tempat-tempat ini. Oleh karena itu, sebisa mungkin saat mengingatkan mereka, kita melakukan cara-cara bijak dan penuh kasih sayang, sehingga mereka merasa tenang, nyaman dan tidak terancam.

Anak-anak adalah “aset” masa depan bagi kita semua, baik dalam melanjutkan kehidupan sebagai individu keluarga, lingkungan, bangsa, Negara maupun agama. Jika anak-anak merasa tidak nyaman berada di lingkungan ibadah misalnya, maka dipastikan, di masa mendatang masjid, mushalla, jam’iyyah akan sepi dari para jama’ah karena generasinya merasa lebih senang menghabiskan waktunya di tempat yang lain.

Anak-anak yang merasa terancam, tentu akan lebih memilih tempat di mana mereka merasa nyaman. Di pinggir jalan, pos ronda, perempatan atau tempat lainnya, yang umumnya tidak ada orang membentak, memarahi, dan menghardik mereka saat bermain dan membuat gaduh. Jika ini yang terjadi, bukankah “ngeri” sekali masa depan generasi ini?

Yang mesti dibenahi sebenarnya adalah pribadi kita. Kita yang semestinya sudah “baligh”, sudah bisa bersikap dengan bijak dan dewasa, mampu membedakan mana yang baik dan buruk, namun kita rishi dan terganggu dengan hal-hal yang semestinya “remeh” jika dibanding dengan aktivitas yang sedang kita kerjakan. Bukankah semestinya saat kita menyatakan “Allahu Akbar”, selain Allah kecil dan tak tampak, dibandingkan dengan-Nya?. Namun, mengapa “canda tawa, dan riuh tawa” pesta anak-anak di rumah-Nya, menjadi masalah bagi kita, padahal Dia merasa bahagia dengan kehadiran mereka? Agaknya pesan Gus Baha’ ini penting kita perhatikan, agar kita tidak menjadi “penghancur agama” berkedok “pejuang agama.”

Komentar

Posting Komentar