Mimpi

 

Mimpi



Setiap orang pernah bermimpi saat tidur. Sebagian orang menganggap mimpi sebagai bunga tidur semata, tanpa sedikitpun terbesit dalam dirinya, barangkali saja ada petunjuk darinya. Sebagian lain beranggapan bahwa mimpi memiliki rahasia, sebagai petunjuk yang harus dipecahkan.

Mimpi merupakan sesuatu yang nampak oleh seseorang saat ia sedang tidur. Mimpi bisa berupa hal-hal yang menakjubkan, menggembirakan, menyedihkan bahkan menakutkan. Beragam peristiwa dan gambaran bisa dilihat seseorang dalam mimpinya. Lantas bagaimana sebenarnya Islam memahami mimpi itu?

Berkenaan dengan mimpi, Rasulullah saw bersabda dalam satu hadisnya. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " الرُّؤْيَا ثَلَاثَةٌ: فَبُشْرَى مِنَ اللهِ، وَحَدِيثُ النَّفْسِ، وَتَخْوِيفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ رُؤْيَا تُعْجِبُهُ، فَلْيَقُصَّهَا إِنْ شَاءَ، وَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ، فَلَا يَقُصَّهُ عَلَى أَحَدٍ، وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ " (3)

Artinya: “Dari Abi Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: “Mimpi itu ada tiga macam: berita gembira (berasal) dari Allah, pembicaraan jiwa (diri sendiri), dan (berita)yang menakutkan (berasal) dari syaithan. Maka jika salah seorang diantara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan (dalam mimpinya), hendaknya ia menceritakannya jika ia ingin (menceritakan), dan jika ia melihat sesuatu yang dibencinya, maka janganlah ia menceritakannya kepada seorangpun, sebaiknya ia berdiri (bangun), kemudian hendaknya ia shalat.” (HR. Ahmad).

Melalui hadis ini, Rasulullah saw ,mengabarkan kepada umat Islam, bahwa mimpi itu terbagi menjadi tiga macam. Pertama, berita gembira yang berasal dari Allah swt. Mimpi yang baik terkadang merupakan informasi dan petunjuk bagi seorang mukmin yang diberikan oleh Allah swt agar ia mendapatkan kebaikan dan kemanfaatan dari mimpi tersebut.

Manusia merupakan makhluk dua dimensi. Di satu sisi manusia merupakan makhluk dhahir yang terbungkus dengan badan wadagnya. Memiliki kulit, tulang dan daging. Ia hidup di tengah-tengah masyarakatnya, berinteraksi dan saling membutuhkan satu dengan lainnya. Di sisi lain, ia merupakan makhluk ruhani, yang memiliki keterikatan dengan “Tuhan” sebagai “Yang Ghaib” yang mengatur kehidupannya. Manusia tidak sekadar menghabiskan hidupnya di dunia, namun kelak ia akan dikembalikan pada kehidupan ruhaninya, dimana ia akan menjalani persidangan di kehidupan “kekal”nya kelak di akhirat.

Badan wadag manusia ini lah yang menjadi penghalang antara dirinya dan dimensi batin dimana ruhaninya berada. Namun, terkadang dua dimensi ini dipertemukan oleh-Nya dan atas kehendak-Nya, melalui pintunya, yakni tidur. Saat tidur inilah terkadang manusia mendapat informasi dan berita-berita dari Tuhan melalui ilham, karena wahyu telah berhenti bersama dengan wafatnya Nabi Akhir Zaman, Nabi Muhammad saw. Informasi inilah “busyra” yang berasal dari Allah. Karena itu, dalam sebuah hadis Rasulullah saw pernah bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ»

Artinya: “Dari Ibn ‘Abbas, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Mimpi yang baik merupakan satu bagian diantara tujuhpuluh bagian dari kenabian.” (HR. Ahmad).

Hadis ini mengabarkan bahwa mimpi yang baik merupakan salah satu diantara cara para nabi dan rasul menerima wahyu dari Allah swt. Persoalannya, bahwa wahyu telah berhenti sehingga tidak mungkin lagi ada wahyu, yang ada hanyalah “ilham” bagi seorang mukmin. Oleh karena itu, di akhir zaman, tidak patut bagi seseorang meremehkan “mimpi baik” yang diceritakan oleh saudaranya yang mukmin.

Kedua, mimpi itu bisikan/pembicaraan jiwa pada dirinya sendiri. Mimpi seperti ini biasanya muncul dari aktifitas keseharian manusia. Diantara aktifitas tersebut, terkadang ada yang sangat berkesan dalam dirinya, sehingga hal tersebut terbawa olehnya di alam mimpi. Mimpi seperti ini, mungkin yang tepat disebut dengan “bunga tidur”.

Ketiga, mimpi menakutkan yang berasal dari syaithon. Salah satu diantara peran syaithon adalah menjadi musuh manusia yang menggoda, menjerumuskan dan menyesatkan manusia. Segala upaya akan dilakukan oleh syaithon agar manusia bisa tersesat di jalan yang buruk. Jalan yang mengantarkannya pada penyesalan selama-lamanya kelak di hari kiamat.

Mimpi yang terakhir ini, seringkali menyebabkan seseorang yang mengalaminya tidak tenang, merasa gelisah bahkan tidak jarang mengalami “gangguan kejiwaan”. Seringkali merasa “was-was” pada setiap tindakan yang dilakukan, merasa tidak percaya diri dalam mengambil keputusan. Mereka yang seringkali mengalami “mimpi buruk” seringkali dihantui pikiran-pikiran buruk.

Biasanya, orang-orang ini mempunyai angan-angan dan keinginan tinggi, yang mungkin saja “belum terealisasi”. Mereka kurang menyandarkan usaha yang dilakukannya untuk meraih harapan-harapan tersebut kepada Sang Pemiliki Skenario Kehidupan, Allah swt. Akibatnya, terjadi kegoncangan dalam diri dan jiwanya. Ini adalah pada tahap yang lebih serius dari sekedar mimpi buruk. Lantas bagaimana sebaiknya menyikapi mimpi itu?

Berkaitan dengan pensikapan terhadap “mimpi”, Rasulullah saw di penghujung hadis tersebut memberikan tips bagaimana cara mensikapinya. Cara pertama, jika mimpi itu adalah mimpi yang baik, yakni melihat sesuatu yang menakjubkan di “alam mimpinya”, jika ia menghendaki ia boleh saja menceritakan hal tersebut kepada orang lain. Tentunya dengan niatan yang baik, agar orang lain turut serta merasakan “keberkahan dan kemanfaatan” dari mimpinya tersebut. Apakah mungkin? Tentu sangat mungkin sekali.

Cara kedua adalah, jika mimpi tersebut merupakan mimpi buruk, maka dalam hadis tersebut Rasulullah saw memerintahkan supaya jangan menceritakan hal tersebut kepada siapapun. Ini menarik untuk dicermati, mengapa rasul melarangnya untuk menceritakan kepada orang lain.

Mimpi yang buruk, ketika diceritakan kepada orang lain bisa jadi justru akan menimbulkan keburukan berikutnya. Boleh jadi akan memunculkan “kegelisahan” baru, bukan hanya untuk dirinya, mungkin juga orang lain. Karena itu, solusinya adalah dengan mengambil air wudhu serta menjalankan shalat.

Solusi yang diberikan oleh rasulullah dalam hadis ini sangat jelas jika dihubungkan dengan kejiwaan seseorang. Umumnya orang yang mengalami keguncangan jiwa dipicu karena “terlalu menyandarkan segala sesuatu pada usaha yang dilakoninya, sehingga mengesampingkan Allah sebagai Penentu Tunggal Skenario Kehidupan”. Karena itu, tidak ada solusi lain dalam kasus terakhir ini, selain dari mendekat kepada-Nya, dengan sungguh-sungguh sehingga tercapai “ketenangan jiwa”. Bukankah shalat itu juga bermakna “dzikir”? Dan ingatlah bahwa, “Ingatlah, hanya dengan berdzikir (mengingat) Allah, hati akan menjadi tenang?”.

 

Komentar