Cahaya Cinta

 

Cahaya Cinta



“Akal pun, jika ia tidak diterangi oleh cahaya cinta, tidak dapat mencapai kapasitas idealnya”. (Mulla Shadra)

Salah satu diantara ilmuan muslim yang memiliki nama besar dalam sejarah pemikiran islam adalah Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, yang dikenal dengan nama Shadr Al-Din Syirazi atau Mulla Shadra. Seorang filosof muslim abad ke-16/17, pendiri aliran pemikiran filsafat islam yang disebut dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (Himah Transenden), yang biasa disebut dengan filsafat hikmah atau hikmah saja.

Melalui pemikirannya ini, Shadra meyakini bahwa daya tertinggi dalam menangkap pengetahuan adalah daya yang bersumber dari penggunaan intuisi (dzauq atau spiritual tasting). Keyakinan ini pula yang agaknya memposisikan Shadra sebagai salah satu diantara ilmuan muslim yang condong pada aliran mistisisme, yakni gerakan yang identic dengan sufisme.

Bagi Shadra pengetahuan bukanlah abstraksi dari materi, tetapi ia adalah fakta eksistensial (bersatunya wujud ‘subjek’ dengan ‘obyek’). Dengan demikian pengetahuan sejatinya bukan merupakan konsepsi dari apa yang diterima oleh indera, kemudian dibungkus dalam rumusan teori-teori yang dibakukan. Ia adalah realitas dari keberadaan ‘fakta’, ‘objek’ yang ada dalam bentuknya yang ‘wujud’. Pemahaman ini menafikan ‘ketidak hadiran’ objek dari pengetahuan. Karena pengetahuan itu, sejatinya adalah ‘kehadiran’ objek itu sendiri.

Pengetahuan yang berasal dari sesuatu yang berasal dari objek yang berasal dari eksternal, tidaklah cukup untuk mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebenaran dalam arti sebenarnya. Kebenaran sebenarnya hanya bisa diperoleh dengan pengenalan terhadap diri sendiri. Karena itu, dalam keyakinan kaum sufi, sangat populer ungkapan yang dijadikan sebagai dasar kebenaran tertinggi, yakni ‘Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya’.

Begitu hal nya dengan pengetahuan. Shadra beranggapan bahwa kebenaran tertinggi dari pengetahuan bisa dikenali dari cahaya yang dihadirkan dalam diri manusia. Oleh karena itu, jika seseorang ingin menemukan kebenaran yang sesungguhnya, maka semestinya ia mengenali ‘cahaya’ yang dilimpahkan dalam dirinya. Cahaya yang dengannya, kebodohan yang diibaratkan dengan ‘kegelapan’ menjadi lenyap dan hilang karenanya. Bukan, pemahaman yang justru menimbulkan keraguan baru dalam dirinya.

Indera, seperti apapun kemampuan yang dimilikinya, namun persepsi yang dibentuk olehnya, seringkali berbeda antara satu orang dengan yang lain. Ini menunjukkan bahwa ada titik, dimana indera satu denga lainnya, tidak memiliki ‘kesamaan’ dalam memahami serta mengkonsepsikan ‘obyek’ yang dilihat, didengar maupun ditangkapnya. Begitu halnya dengan akal.

‘Akal’ sebagai salah satu piranti penting bagi manusia, ternyata juga memiliki keterbatasan dalam memahami realitas objek yang dilihatnya. Sebagai buktinya, bahwa setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda tentang apa yang dikonsepsikannya. Karena itu, jamak kita temukan berbagai teori dan pandangan yang saling bertentangan, menimbulkan diskursus di tengah para intelektuan, bahkan tidak jarang bertolak belakang dan menimbulkan pertentangan.

Pengetahuan yang dihadirkan/hudhuri, sebagai pengetahuan yang didatangkan langsung dalam hati manusia, -yang bagi Shadra, dianggap sebagai pengetahuan tertinggi, datang secara langsung tanpa perantara, tanpa forma atau konsep mental apapun. Ia hadir begitu saja, bahkan saat keraguan datang, seseorang menyadari dengan pasti tentang ‘keraguan’ yang ada dalam dirinya.

Pada akhir kesimpulannya, Shadra menyatakan, “Akal pun, jika ia tidak diterangi oleh cahaya cinta, tidak dapat mencapai kapasitas idealnya”. Pernyataan ini sekaligus menjadi pamungkas pandangannya, tentang pentingnya memperoleh cahaya cinta. Tentu, cahaya cinta yang dimaksud bukan ‘cahaya cinta’ yang berasal dari makhluk, melainkan dari Tuhan, sebagai sumber dari semua pengetahuan.

Pengetahuan sejati hanya bisa diraih karena ‘cahaya cinta’ Tuhan telah tercurah pada diri seorang hamba. Cahaya ini pula yang menyebabkan ‘sekat-sekat’ yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Tuhan lenyap, sehingga ia melihat dan menyaksikan berbagai pengetahuan dan informasi sejati yang berasal dari-Nya. Inilah makna hadis qudsi: “Dan tiadalah hamba-Ku yang senantiasa mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sampai Aku mencintainya. Maka ketika Aku telah mencintainya, jadilah Aku penglihatannya, ketika ia melihat, pendengarannya ketika ia mendengar dan tangannya yang dengannya ia memukul.”

 

Komentar